Jenazah

(Ar.: al-jinazah atau al-janazah)

Secara kebahasaan, al-jinazah atau al-janazah, berarti “usungan” dan “mayat”. Dalam fikih Islam, istilah al-jinazah atau al-janazah berarti “upa­cara yang diadakan keluarga orang mati sejak kematiannya sampai dengan pemakamannya”. Arti ini biasa digunakan dalam­ fikih Islam dengan istilah tajhiz al-janazah (pengurusan mayat) karena menyangkut perkara ritual.

Apabila diketahui ada seorang muslim benar-benar telah meninggal dunia, maka diperintahkan/dianjurkan antara lain memejamkan kedua matanya, mengatupkan mulutnya­ dengan mengikat dagu dan kepalanya, membukakan­ pa­ kaiannya, menyelimutinya dengan kain ringan­ yang menutupi seluruh tubuhnya, menyelesaikan se­gala utangnya­ (kalau ada), dan mempercepat pengu­burannya­.

Selanjutnya ada empat perkara yang wajib di­lakukan orang mukalaf (orang dewasa­ yang wajib menjalankan hukum agama) terhadap orang mati, yaitu memandikan, mengafani­ (membungkus), menyalati, dan menguburkannya­. Kewajiban ini bersifat fardu kifayah (kewajiban­ kolektif). Artinya, apabila kewajiban itu telah dilaku­kan­ sebagian mukalaf, sebagian yang lain bebas­ dari kewajiban itu. Penjelasan atas keempat perkara­ tersebut adalah sebagai berikut­.

(1) Memandikan mayat. Yang wajib dimandikan­ adalah mayat seorang muslim yang kematiannya tidak dise­babkan oleh terbunuh dalam perang me­lawan orang kafir. Akan tetapi, sebagian fukaha (ahli fi­kih) membolehkannya. Ulama pengikut Imam Malik­ dan Imam Ahmad bin Hanbal ber-pendapat bahwa­ orang muslim tidak berkewajib­an­ memandikan, mengafani, dan menguburkan mayat kerabatnya­ yang kafir; jika ada kekhawatiran­ bahwa mayat itu akan terlantar, maka ia berkewajiban menguburkannya.

Dalam memandikannya,­ diwajibkan­ sekurang-kurang­ nya meratakan air sekali ke seluruh tubuh, meskipun mayat itu sedang dalam keadaan junub atau haid. Disunahkan dalam hal ini meletakkan mayat di atas tempat yang tinggi, kemudian­ menanggalkan pakaiannya, dan memberi tabir di atasnya untuk menutupi auratnya.

Selain orang yang ber­kepentingan untuk memandikan mayat, hendaknya­ tidak ada yang hadir dalam upacara pemandian. Orang yang memandikan mayat hendaknya se­orang yang dapat dipercaya dan saleh agar menyiarkan­ kebaikan yang dilihatnya dari mayat­ dan menyembunyikan keburukannya. Dalam riwayat­ *Ibnu Majah, Rasulullah SAW bersabda, “Hendaknya mayat kalian dimandikan oleh orang yang dapat dipercaya.”

Orang yang memandikan mayat diwajibkan­ memulai pekerjaannya dengan niat ka­rena dialah yang terkena perintah memandikan­. Kemudian ia memulainya dengan mengurut perut mayat­ untuk mengeluarkan kotoran yang mung­kin terdapat di dalamnya, lalu membersihkan na­jis dari badannya.

Dalam membersihkan tubuh ini ia hendaknya­ menggunakan robekan kain untuk membersihkan auratnya karena mengusap aurat adalah haram. Sesudah itu, ia mewudukannya, kemudian memandikan seluruh tubuhnya sebelah kanan dan akhirnya sebelah kiri.

Untuk kesempurnaannya, pemandian mayat hendaknya­ dilakukan tiga kali: yang pertama dengan air sabun, kemudian­ dengan air bersih, dan selanjutnya den-gan air yang dicampur kapur barus. Jika perlu, pemandian mayat boleh dilakukan lima atau tujuh kali. Jika mayat adalah seorang wanita, disunahkan­ menguraikan rambutnya.

Fukaha sependapat untuk membolehkan­ istri meman­ dikan mayat­ suaminya, tetapi berselisih pendapat tentang suami memandikan mayat istrinya. Jumhur ulama membo­lehkannya, sedangkan Mazhab Hanafi tidak membolehkan­ nya, kecuali tidak ada orang lain selain­ suami, dan itu pun menggantinya dengan tayamum.

Taya­mum­ boleh dilakukan terhadap mayat sebagai ganti memandikannya, jika tidak ada air, atau dikhawatirkan badan mayat akan rusak jika terkena air, dan/atau oleh sebab lainnya. Setelah mayat dimandikan, badannya dike­ringkan­ dengan kain yang bersih agar tidak membasahi kafannya;­ kemudian badan mayat diperciki minyak wangi.

(2) Mengafani mayat dengan kain pe­nu­tup, meskipun hanya sehelai kain, adalah fardu­ kifayah. Kain kafan disunahkan dalam keadaan:­ (a) baik, bersih, dan menutupi seluruh tubuh; (b) berwarna putih; (c) kering dan berminyak­ wangi; dan (d) tiga lapis bagi laki-laki dan lima lapis bagi wanita. Kain kafan hendaknya tidak berharga mahal. Meskipun demikian, wanita boleh­ dikafani dengan sutra. Apabila mayat meninggalkan­ harta, biaya pengafanannya diambil­ dari harta peninggalannya.

(3) Menyalati mayat. Para imam fikih berpendapat bahwa­ hukum menyalati mayat adalah fardu­ kifayah. Dalam hadis Nabi SAW terdapat ke­terang­­an bahwa menyalati mayat mempunyai keutama­an­ berupa pahala yang akan memberatkan­ timbangan kebaikan pelakunya pada Hari Penghi­tung­an­. Salat jenazah mempunyai syarat se­bagai­mana yang terdapat dalam salat wajib, seperti suci dari hadas, menghadap­ kiblat, dan menutup aurat.

Adapun rukunnya ada­lah sebagai berikut: (a) ada niat, (b) berdiri bagi orang yang mampu, (c) takbir empat kali, (d) membaca al-Fatihah, membaca selawat atas Rasul SAW, (e) berdoa, dan (f) mengucapkan salam­.

Setelah menyempurnakan segala persyarat­an salat, orang yang akan melaku­kan salat jenazah memulainya dengan niat salat atas mayat yang hadir (lawannya adalah mayat gaib) sambil melakukan takbiratulihram,­ kemudian meletakkan­ tangan kanan di atas tangan kiri dan segera­ membaca al-Fatihah. Kemudian bertakbir yang kedua dan membaca selawat atas Nabi SAW, lalu bertakbir yang ketiga dan berdoa untuk mayat, selanjutnya bertakbir yang keempat­ dan berdoa, dan terakhir mengucapkan­ salam.

Disunahkan imam berdiri setentang dengan kepala mayat jika mayat laki-laki dan setentang dengan perut jika mayat wa­nita. Jika terdapat banyak mayat dan terdiri atas laki-laki dan wanita, mayat itu dibariskan­ sejajar­ antara imam dan kiblat dan disa­ lati semua dengan satu salat. Orang yang akan mengerjakan salat jenazah disunahkan membentuk­ tiga saf (deret) dan meluruskannya.

(4) Menguburkan mayat. Hukumnya adalah fardu­ kifayah. Jumhur ulama berpendapat bahwa pengu­buran pada malam hari sama dengan penguburan­ pada waktu siang. Dibolehkan pengu­buran­ pada malam hari jika memang dapat dipastikan bahwa hak mayat tidak ada yang tertinggal. Akan tetapi, jika ada yang tertinggal, asy-Syari‘ (Tuhan) melarang dan memakruhkan penguburan­ itu. Ulama sepakat bahwa

hukum­ bagi penguburan mayat pada tiga waktu berikut,­ yaitu waktu matahari terbit, waktu matahari berada di tengah (tepat di atas kepala), dan waktu matahari terbenam, adalah makruh. Akan tetapi, jika mayat dikhawatirkan akan berubah (membusuk), penguburan pada waktu tersebut tidak makruh.

Menurut pendapat jumhur ulama, meskipun tidak ada kekhawatiran seperti itu, pengu­buran­ pada waktu tersebut dibolehkan asalkan tidak ada kesenga­jaan­ terhadapnya.

Penguburan mayat­ dimaksudkan untuk menutupi bau busuknya­ serta mencegahnya agar tidak dimakan binatang buas dan burung. Oleh sebab itu, disunahkan menggali kuburan dalam-dalam dan membuat liang lahat di sisi arah kiblat.

Disunahkan pula memasukkan­ mayat ke dalam kubur dengan mendahulukan­ kakinya; tetapi jika hal itu sulit dilaku­­kan, menurut Ibnu Hazm (w. 1063), ahli fikih dan teologi dari Andalusia, mayat boleh dimasukkan ke dalam kubur dengan cara bagaimana pun: boleh­ melalui arah depan kiblat, boleh juga melalui­ belakangnya,­ boleh dengan mendahulukan ke­ pala­nya,­ dan boleh dengan mendahulukan ke­dua kakinya,­ karena tidak ada nas tentang ini.

Di dalam kubur, mayat dibaringkan pada sisi tubuhnya se­ belah kanan dan mukanya dihadapkan ke arah kiblat. Setelah penguburan selesai, disunahkan bagi orang yang hadir untuk menaburkan ta­nah seba­nyak tiga kali pada arah kepala mayat; kemudian disunahkan pula memohonkan­ ampunan­ dan ke­ tabahan bagi mayat karena ketika itu ia sedang menghadapi pertanyaan dari malaikat.

Di samping empat perkara pokok yang merupa­kan­ kewa-jiban kifayah orang yang hidup terhadap orang yang mati, terdapat beberapa masalah­ lain terhadap jenazah.

(1) Disunahkan memberitahu keluarga, kerabat, dan teman orang yang meninggal tentang kematiannya agar mereka mempunyai pahala dari mengurus, mendoakan dan menyalatinya.

(2) Dibolehkan menangis karena kematian­ seseorang asal-kan tidak berlebihan,­ seperti berte­riak-teriak dan merobek-robek pakaian.

(3) Disunahkan melakukan takziah (melayat)­ kepada orang yang ditinggal mati oleh salah seorang anggota ke­luarganya, dengan maksud menunjukkan rasa turut berduka cita dan memberi nasihat atau menghibur agar mereka bersabar.

(4) Tidak dibolehkan melukai­ mayat sebagaimana­ tidak dibolehkan melukai orang yang masih hidup, kecuali dalam keadaan terpaksa seperti dalam rahim mayat terdapat bayi yang mempunyai harapan untuk hidup.

(5) Tidak baik mencela orang yang sudah mati.

(6) Disunahkan mengiringi jenazah sampai ke kuburan. Jika seseorang sedang berjalan atau duduk kemu­dian meli­ hat jenazah yang akan dikubur, disunahkan baginya untuk berhenti dan berdiri sebentar sampai jenazah itu berlalu.

(7) Jika ada anak lahir prematur yang kejadiannya belum sempurna dan mati, tidak diwajibkan atas orang yang hidup untuk memeliharanya sebagai mayat. Jika ada anak kecil yang dilahirkan tidak menangis, tidak bergerak, dan mati tetapi kejadi­annya­ telah sempurna, mayatnya hanya wajib dimandikan, dikafani, dan dikubur, tanpa disalati.

Jika anak ketika di­lahirkan telah dapat bersuara dan bergerak,­ dan umurnya di dalam kandungan tidak kurang dari 4 bulan, kemudian­ mati, maka mayatnya wajiblah dipelihara­ sebagai­ mana mayat orang dewasa, yakni dimandikan,­ dikafani,­ disalati, dan dikuburkan.

(8) Orang yang mati syahid karena terbunuh di medan perang melawan­ orang kafir cukup dikubur­ dengan pakaian yang ada padanya tanpa dimandikan, tanpa di­ka­fani, dan tanpa disalati. Hikmah dari tidak disa­latinya orang yang mati syahid ini adalah karena salat dilakukan atas mayat,­ sedangkan syahid tetap hidup.

(9) Jika ada orang muslim yang mati di suatu tempat, orang muslim yang berada di tempat lain dibenarkan mela­kukan salat gaib atas mayat tersebut.

(10) Orang yang ketinggalan di dalam salat jenazah atau masbØq tidak perlu mengqada’ (membayar)­ takbir yang telah tertinggal dan cukup mengikuti­ imam sampai salam, karena takbir itu adalah berturut-turut. Akan tetapi, ada pula ulama yang membolehkan kada dalam hal ini.

Daftar Pustaka

Ibnu Hazm. al-Muhalla. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Cairo: Matba‘ah al-Istiqamah, t.t.
Rifai, Moh. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap). Semarang: CV. Toha Putra, t.t.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Hery Noer Aly