Jamiat Kheir

(Ar.: Jam‘iyyah Khair)

Perkumpulan masya­rakat­ Islam Indonesia keturunan Arab atau dikenal dengan nama Jamiat Kheir adalah organisasi keagamaan­ pertama di Indonesia yang menyebarkan­ ide dan pembaruan pemikiran Islam. Jamiat Kheir merupakan bentuk organisasi pertama modern yang bergerak­ di bi­dang dakwah dan pendidikan Islam di Indonesia.

Organisasi Jamiat Kheir bertujuan untuk membina dan membimbing masyarakat ke arah takwa kepada Allah SWT dengan jalan mengembangkan, memperdalam, serta meningkatkan pengamalan ajaran­ serta kebudayaan Islam dan pengajaran bahasa Arab untuk kepentingan syiar Islam melalui kegiatan dakwah dan pendidikan yang dikelola secara­ modern. Walaupun mayoritas­ anggotanya keturunan­ Arab, organisasi ini terbuka bagi setiap muslim Indonesia.

Pembentukan Jamiat Kheir telah dirintis sejak 1901 oleh Sayid Ali bin Ahmad bin Syahab, Sayid­ Muhammad bin Abdul­lah bin Syahab, Sayid Muhammad al-Fachir bin Abdurrahman­ al-Masyhur, Sayid Idrus bin Ahmad bin Syahab, dan Said bin Ahmad Basandiet. Permohonan izin berdirinya­ kepada pe­ merintah­ baru diajukan pada 1903. Izin resmi baru keluar pada 1905, dengan syarat bahwa Jamiat Kheir tidak boleh mendirikan cabang­ di luar Jakarta.

Kegiatan Jamiat Kheir yang menonjol di bidang­ pendi­dikan adalah pendirian dan pembinaan­ sekolah­ tingkat dasar serta pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan pela­jar­an­. Tetapi, hal ini segera terhenti karena kekurang­an­ dana dan kemunduran Kerajaan Usmani. Sekolah dasar Jamiat Kheir didirikan pada 1905.

Di samping pelajaran agama, Jamiat Kheir juga mengajarkan pelajaran umum, seperti berhitung, sejarah,­ ilmu bumi, dan bahasa Arab. Bahasa Belanda­ tidak diajarkan, seba­gai gantinya diajarkan­ bahasa Inggris sebagai pelajaran­ wajib. Muridnya­ terorganisasi ber­ kelas-kelas dan terdiri dari anak-anak keturunan Arab serta Indonesia dari berbagai daerah.

Gurunya didatangkan dari daerah dan luar negeri. Haji Muhammad Mansur dari Pa­dang mengajar­ bahasa Melayu di sekolah tersebut pada 1907. Guru dari luar ne­geri tercatat antara lain al-Hasyimi (Tunisia) yang pernah memberontak kepada­ Perancis­. Ia datang­ ke Indonesia pada 1911, mem­perke­nalkan­ kepanduan dan olahraga di lingkungan Jamiat Kheir.

Ia dikenal sebagai orang pertama yang mendirikan­ gerakan kepanduan di kalangan orang Islam. Pada Oktober 1911 datang pula tiga guru, yaitu Syekh Ahmad Soorkati (Sudan), Syekh Muhammad­ Thaib (Maroko), dan Syekh Muhammad Abdul Hamid (Mekah)­. Ahmad Soorkati sangat aktif menyebarkan ide baru di lingkungan masyarakat­ Islam Indonesia, dan merupakan guru­ yang paling menonjol di Jamiat Kheir.

Pada Oktober 1913 datang pula­ guru lain, yaitu Muhammad Abul Fadl al-Ansari­ (saudara­ Soorkati) serta Muhammad Noor al-Ansari dan Hasan Hamid al-Ansari (keduanya sa­ha­bat Soorkati)­. Muhammad Noor pernah belajar di Universitas al-Azhar di Cairo langsung dengan Muhammad Abduh.

Guru lain juga mengenal­ karya Abduh dan mengang­gap­ diri se­bagai pengikutnya­. Se­bagaimana­ Abduh, da­lam mengajar mereka juga sangat memen­ting­kan­ pelajaran­ ilmu alat (ilmu bantu untuk belajar tauhid), bahasa Arab (untuk memahami sumber ajaran­ Islam), dan usaha pengembang­an jalan pikiran para murid melalui penekan­an pada pe­ngertian­ serta daya kritik, bukan melalui hafalan. Mereka juga mem­perjuangkan persamaan sesama muslim dan pe­mikiran kembali Al-Qur’an dan hadis.

Ide baru yang dikembangkan Ahmad Soorkati dan kawan-kawannya di Jamiat Kheir menimbulkan­ perpecahan­ antara keturunan­ Arab golongan sayid dan bukan sayid. Go­longan sayid merasa lebih tinggi (derajatnya)­ daripada­ golongan bukan sayid dan orang Islam Indonesia. Golong­an sayid selama ini mendapat penghormatan­ tinggi di masyarakat sebagaimana di negeri asal mereka, Hadramaut­.

Golongan bukan sayid yang sudah mencapai­ kemajuan­ hidup dan pendidikan menginginkan­ adanya persamaan antarsesama muslim sebagaimana diajarkan Islam. Perpecahan­ itu ditandai dengan keluarnya Ahmad Soorkati dan kawan-kawannya yang bu­kan sayid dari Jamiat Kheir. Pada 1913 mereka mendirikan al-Irsyad yang meneruskan pembaruan di lingkungan masyarakat­ keturunan Arab.

Sampai 1915 Jamiat Kheir tetap merupakan­ organisasi kecil dengan 1.000 anggota dan mengalami kemunduran sehingga kalah bersaing dengan al-Irsyad.

Kedudukan penting Jamiat Kheir bagi masyarakat­ Islam Indonesia saat itu terletak pada kenyataan­ bahwa organi­ sasinya modern, yaitu memakai anggaran dasar, memiliki daftar anggota, dan mengadakan rapat berkala. Mereka juga­ mendirikan­ sekolah yang dikelola secara modern. Cara yang dilakukan Jamiat Kheir ini tersebar juga ke kota lain. Usaha lain yang dilakukan­ organisasi­ ini adalah mendirikan perpus-takaan dan percetakan­ ba­hasa Arab, meng­urus rumah yatim, dan menerbitkan surat kabar Utusan Hindia (31 Maret 1913).

Jamiat Kheir juga mendirikan Akademi Bahasa Arab (ABA, 1979). Pada 1980, ABA ditingkatkan menjadi Perguruan­ Ting-gi Agama Islam Jamiat Kheir de­ngan­ satu fakultas (Fakultas Adab); dan pada 1982, ditingkatkan lagi menjadi Institut Agama Islam (IAI) dengan dua fakultas ( Fakultas Adab dan Fakultas­ Tarbiyah). Pada 1987, IAI menambah satu fakultas, Fakultas Syariah.

Kemudian, IAI dileng­kapi beberapa lembaga: Pusat Pene­litian dan Pe­ngembangan­ Ilmu Pengetahuan Agama­ Islam; Pusat Pengabdian Masyarakat;­ Bahasa Arab dan Bahasa Inggris; Penerbitan Karya Ilmiah; Pu­sat Konsultan Psikologi; dan Konsorsium Pendidikan Agama Islam, Bahasa, dan Hukum Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Chadidjah. Aliran-Aliran Islam Modern di Indonesia. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Ilmiah Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 1970.
Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement in Indonesia, atau Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942, terj. Jakarta: LP3ES, 1980.
Pijper, G.F. Studien Over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia 1900–1950, atau Sejarah Islam di Indonesia 1900–1950, terj. Tudjimah dan Yessy Augustin. Jakarta: UI Press, 1985.
Stoddard, Lothrop. Dunia Baru Islam, terj. H M. Muljadi Djojomartono, dkk. Jakarta: Panitia Penerbit, 1966.

J. Suyuti Pulungan