Kesultanan Jambi terletak di Sumatera, kira-kira di Propinsi Jambi sekarang ini. Sebelumnya, Jambi merupakan bandar internasional Kerajaan Malaka serta tempat berlabuh pedagang India dan Cina. Karena letaknya strategis, bandar ini ramai dikunjungi, baik dari kerajaan di Nusantara maupun mancanegara. Islam pertama kali masuk melalui pedagang muslim.
Riwayat berdirinya Kesultanan Jambi, menurut tambo rakyat Jambi, bermula dari datangnya sebuah kapal dagang Turki yang terlebih dahulu singgah di Kerajaan Samudera Pasai (Aceh) dan Kerajaan Malaka. Kapal ini dinakhodai seorang berkebangsaan Turki yang bernama Ahmad Salim.
Setelah menetap di Jambi, Ahmad Salim kemudian diangkat rakyat menjadi syahbandar, penguasa lautan, dengan gelar Datuk Paduko Berhalo. Ia kemudian kawin dengan Putri Selaras Pinang Masak, seorang ratu negeri Jambi, yang menguasai daerah Seberang Sungai Batang Hari.
Perkawinan ini menjadi momentum islamisasi negara. Dari perkawinan itu, ia mem-peroleh empat orang putra. Tiga di antaranya secara berturut-turut menjadi penguasa negeri itu, yaitu Rangkayo Pingai (memerintah 1480–1490), Rangkayo Pedataran (1490–1500), dan Rangkayo Hitam (1500–1515).
Dengan berdirinya kerajaan, proses islamisasi menjadi lebih cepat. Di setiap desa diangkat seorang kepala desa (depati) yang dibantu tiga orang pegawai yang dikenal dengan julukan “pegawai syarak nanbatigo”, yaitu imam, khatib, dan bilal. Mereka bertugas menyelenggarakan pengurusan masjid, upacara keagamaan, perkawinan, dan kematian. Sejak itulah secara persuasif ajaran agama Islam mewarnai kehidupan rakyat Jambi.
Namun, baru pada masa kekuasaan Rangkayo Hitam kerajaan ini resmi menjadi kerajaan Islam. Rangkayo Hitam terkenal sebagai seorang sakti, mempunyai sebilah keris yang konon direbutnya dari Majapahit.
Keris yang kemudian dinamakan keris Siginjai ini dijadikan lambang kerajaan. Dialah yang memproklamasikan Kerajaan Jambi menjadi kerajaan Islam, dan menjadi cikal bakal raja Jambi selanjutnya. Ibukota Kerajaan Jambi ditetapkannya di Tanah Pilih, Jambi. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Jambi bertambah maju.
Selain itu, Jambi juga dikenal sebagai penghasil lada yang besar serta hasil hutan lainnya. Kemajuan itu berkaitan dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511). Banyak pedagang kemudian mencari pelabuhan baru dalam upaya menghindari kekuasaan Portugis di Malaka. Sebelumnya Malaka merupakan bandar paling ramai.
Setelah Rangkayo Hitam meninggal pada 1515, Kera-jaan Jambi secara berturut-turut dipimpin Panembahan Rantau Kapas, Panembahan Rengas Pondah, Panembahan Bawak Sawo, dan Panembahan Kota Baru. Keempat raja ini memerintah Jambi sampai 1615, tetapi kurang diketahui kapan peralihan kekuasaan dari yang satu kepada yang lain. Pada 1615 Pangeran Kedah dinobatkan menjadi raja Jambi.
Berbeda dari raja sebelumnya, Pangeran Kedah mulai menggunakan gelar sultan, dan menyebut dirinya Abdul Kahar (1615–1643). Oleh karena itu, 1615 dianggap sebagai tahun berdirinya Kesultanan Jambi. Dalam menjalankan pemerintahan sultan dibantu seorang pangeran ratu (perdana menteri) yang biasanya dijabat oleh putra mahkota.
Pada masa pemerintahan Abdul Kahar, Belanda mulai datang ke Jambi (1615). Pada 1616 Sultan memberi izin kepada Belanda untuk mendirikan kantor dagang (loji) di Muara Kumpeh, di tepi Sungai Batang Hari.
Oleh Belanda kantor dagang itu difungsikan juga sebagai benteng pertahanan. Setelah Sultan Abdul Kahar wafat pada 1643, ia diganti kan putranya yang bernama Pangeran Depati Anom yang bergelar Sultan Agung Abdul Jalil (1643–1665).
Pada masa pemerintahannya, Belanda semakin kukuh bercokol di daerah ini dan terus berusaha memonopoli perdagangan. Pada masa ini, perjanjian antara Kesultanan Jambi dan Belanda diadakan. Kejadian ini merupakan awal penetrasi politik Belanda ke dalam pemerintahan Kesultanan Jambi.
Sultan Agung Abdul Jalil digantikan oleh putranya, Raden Penulis, yang bergelar Sultan Seri Ingologo (1665–1690). Pada masa pemerintahannya, peperangan antara Kesultanan Jambi dan Kesultanan Johor terjadi.
Atas bantuan Belanda, Kesultanan Jambi keluar sebagai pemenang. Akan tetapi, kemenangan itu harus dibayar mahal, karena ia harus memberikan sebagian daerah kekuasaannya kepada Belanda. Penetrasi politik Belanda semakin kuat.
Keadaan ini kemudian menimbulkan beberapa kali perlawanan rakyat. Selain karena Belanda memonopoli perdagangan, perlawanan rakyat semakin diperkeras dengan adanya perbedaan agama antara rakyat Jambi yang beragama Islam dan Belanda yang kafir. Pada 1690 rakyat mengamuk di Muara Kumpeh, tempat berdirinya loji Belanda. Loji itu dibakar rakyat dan kepala kantor dagang Belanda beserta pegawainya terbunuh.
Namun, setelah peristiwa itu Sultan Seri Ingologo ditangkap Belanda dan diasingkan ke Pulau Banda (Kepulauan Maluku). Sultan dituduh terlibat dalam pembunuhan Sijbrant Swart, kepala kantor dagang Belanda di Muara Kumpeh.
Untuk menggantikan Sultan Seri Ingologo, pemerintah Belanda kemudian mengangkat anak sultan yang bernama Pangeran Cakranegara yang bergelar Sultan Ki Geboh Walando (atau Sultan Gede). Belanda dalam hal ini bermaksud menerapkan politik divide et impera (pecah belah dan kuasai), politik yang sering dilakukannya.
Sultan Gede berkuasa sampai 1696. Oleh karena bersikap pro-Belanda, Sultan Gede tidak diakui oleh Pangeran Julat dan Kiai Senopati, saudaranya. Pangeran Julat kemudian mendirikan pemerintahan tandingan yang berkedudukan di Mangunjayo, Muara Tebo. Ia memakai gelar Seri Maharaja Batu.
Menjelang Sultan Gede wafat, Kiai Senopati kembali ke Jambi dengan maksud merebut kekuasaannya. Akan tetapi usaha ini gagal. Ia lalu ditangkap Belanda dan kemudian dibuang ke Batavia (sekarang Jakarta).
Setelah Sultan Ki Geboh Walando wafat, ia digantikan putranya yang bernama Sultan Muhammad Syah (1696– 1740). Berbeda dengan ayahnya, Sultan Muhammad tidak begitu senang kepada Belanda.
Di awal pemerintahannya, ia menutup kantor dagang Belanda di Muara Kumpeh. Namun pada 1707 kantor itu dibuka kembali karena desakan Belanda yang demikian kuat. Sultan berikutnya, Sultan Istra Ingologo (1740–1770), sama dengan ayah dan pendahulunya, bersikap menentang kekuasaan Belanda di Jambi. Ia berhasil mengusir Belanda dari Muara Kumpeh pada 1742.
Sikap anti-Belanda terlihat juga pada sultan berikutnya, Sultan Anom Seri Ingologo (1770–1790), Mas’ud Badaruddin bergelar Sultan Ratu Seri Ingologo (1790–1812), dan Raden Danting Sultan Muhammad Muhiddin yang bergelar Sultan Agung Seri Ingologo (1812–1826). Sultan Agung Seri Ingologo bahkan memberikan bantuan kepada sultan Palembang ketika melawan Belanda.
Seharusnya Sultan Agung Seri Ingologo, setelah wafat 1826, digantikan oleh putranya yang bernama Muhammad Fakhruddin, seorang yang alim. Karena putranya yang tawaduk ini menolak jabatan sultan, pemerintahan dipegang Putri Ayu (1826–1833), anak sultan Palembang yang dikawini oleh Sultan Agung Seri Ingologo.
Pada masa pemerintahannya, kesultanan mengalami kemunduran. Belanda berhasil merebut kembali Muara Kumpeh. Peperangan kemudian tak terelakkan lagi. Dalam peperangan itu, Muhammad Fakhruddin memimpin bala tentara menyerang pos-pos Belanda, sementara Putri Ayu mencoba bertahan di keraton.
Namun, serangan Belanda tak tertahankan lagi. Belanda berhasil mengalahkan bala tentara Putri Ayu dan menghancurkan keraton. Putri Ayu sendiri gugur dalam peperangan itu.
Setelah itu Muhammad Fakhruddin naik takhta dengan gelar Sultan Muhammad Fakhruddin. Ia terus berusaha memimpin bala tentara memerangi kekuatan Belanda. Akan tetapi, semua perlawanan yang dipimpinnya dapat dipatahkan Belanda yang mempunyai peralatan perang lebih canggih.
Akhirnya pada 14 November 1833, Sultan Muhammad Fakhruddin terpaksa menandatangani perjanjian dengan Letnan Kolonel Michels, pemimpin tentara Belanda. Perjanjian itu dikenal dengan sebutan “Perjanjian Sungai Baung”. Isi perjanjian itu antara lain adalah: (1) negeri Jambi dikuasai dan dilindungi Belanda dan (2) Belanda berhak mendirikan kekuatan militer di daerah Jambi.
Sejak itu Belanda dapat secara langsung mencampuri urusan pemerintahan Kesultanan Jambi. Bahkan 2 tahun kemudian, Belanda berhasil memaksa Sultan untuk menandatangani perjanjian baru yang antara lain berisi:
(1) pemerintah Belanda memungut cukai atas pemasukan/pengeluaran barang,
(2) pemerintah Belanda mempunyai hak monopoli atas penjualan garam, dan
(3) sultan dan pangeran ratu (perdana menteri) menerima uang tahunan sebesar f8.000.
Karena terpaksa, akhirnya Sultan Muhammad Fakhruddin menandatangani dua perjanjian itu. Sebenarnya, ia dan para pembesar istana tetap menaruh dendam kepada Belanda. Demikian juga dengan penggantinya, seperti Sultan Abdul Rahman Nazaruddin (1841–1855) dan Sultan Thaha Saifuddin, sultan terakhir Kesultanan Jambi (1858–1904).
Pada waktu Sultan Thaha Saifuddin naik takhta, perla wanan rakyat Jambi terhadap Belanda sedang berlangsung dengan sengit. Ketika itu ia menyatakan sikapnya terhadap Belanda, yaitu: (1) tidak mengakui kekuasaan Belanda, (2) tidak akan mengakui dan menaati segala isi perjanjian antara sultan Jambi sebelumnya dan Belanda, dan (3) tidak akan membuat perjanjian baru dengan Belanda.
Melihat sikap Sultan Thaha ini, Belanda kemudian membuat sebuah komisi guna mengadakan perundingan. Tetapi usaha perundingan itu gagal. Akibatnya, Belanda menyusun kekuatan dari Batavia untuk menyerang Jambi.
Pada 1857 Belanda mengeluarkan ultimatum yang berisi:
(1) pasukan Belanda akan dikirim ke Jambi,
(2) Sultan Thaha diberi kesempatan berpikir selama 2 kali 24 jam untuk membuat perjanjian baru,
(3) jika tidak berkehendak menyetujui perjanjian itu, sultan akan diturunkan dari takhta kerajaan dan akan di gantikan dengan seorang sultan yang bersedia menyetujui perjanjian itu,
(4) Sultan Thaha akan diasingkan ke Batavia, dan
(5) sultan Jambi diwajibkan mengirim utusan ke Batavia untuk memberikan tanda kehormatan kepada gubernur jenderal di Batavia.
Sultan Thaha sama sekali tidak menggubris ultimatum itu dan bertekad akan berjuang sampai tetes darah penghabisan. Oleh karena itu, pada September 1858 Belanda segera mengirimkan bala tentara ke Jambi dan mengumumkan bahwa Sultan Thaha Saifuddin diturunkan dari takhta.
Perang pun segera berkobar antara Jambi dan Belanda. Awalnya pihak Jambi berhasil menghancurkan bala tentara Belanda. Akan tetapi, karena kekuatan Belanda melebihi kekuatan rakyat, keraton dengan cepat dapat dikuasai Belanda.
Sultan Thaha kemudian mengubah siasat perang dari perang terbuka menjadi perang gerilya dengan bermarkas di Muara Tembesi. Sementara itu pada 22 Desember 1858 Belanda berhasil membujuk paman Sultan Thaha yang bernama Panembahan Prabu untuk dijadikan sultan Jambi.
Sultan boneka Belanda ini bergelar Sultan Ratu Ahmad Nazaruddin. Dengan demikian, Kesultanan Jambi kembali terpecah menjadi dua bagian: Kesultanan Jambi Ilir dikuasai oleh Sultan Ratu Ahmad Nazaruddin dan Kesultanan Jambi Ulu dikuasai oleh Sultan Thaha Saifuddin. Rakyat Jambi sendiri sebenarnya berpihak kepada Sultan Thaha.
Pada 1881 Sultan Ratu Ahmad Nazaruddin meninggal dunia dan digantikan Pangeran Martaningrat yang bergelar Sultan Muhilluddin. Sultan boneka kedua ini meninggal dunia pada 1885 dan baru digantikan oleh Sultan Ahmad Zainuddin pada 1886.
Setelah sultan terakhir ini mengundurkan diri, tidak ada lagi sultan boneka yang ditunjuk Belanda karena tidak ada seorang pun yang dapat dipercaya Belanda. Setelah itu, daerah Jambi diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda.
Sementara itu, Sultan Thaha masih tetap dalam pendiriannya, tidak mau tunduk kepada Belanda. Banyak usaha yang dilakukannya untuk mengusir Belanda dari daerah Jambi. Penyerangan terhadap Belanda terus dilakukan.
Pihak Belanda juga mengadakan serangan balasan, di samping berusaha membujuk Sultan Thaha. Namun dalam waktu yang panjang, Belanda sedikit demi sedikit berhasil menduduki benteng rakyat, yaitu dengan cara politik adu domba, sehingga beberapa panglima perang berhasil dibujuknya. Pada 1903 pangeran ratu (perdana menteri) Kesultanan Jambi Ulu menyerah kepada Belanda.
KESULTANAN JAMBI
NAMA SULTAN | MASA PEMERINTAHAN | ||
1. | Datuk Paduko Berhalo | ||
(Ahmad Salim) | tidak diketahui | ||
2. | Rangkayo Pingai | 1480–1490 | |
3. | Rangkayo Pedataran | 1490–1500 | |
4. | Rangkayo Hitam | 1500–1515 | |
5. | Panembahan Rantau Kapas | tidak diketahui | |
6. | Panembahan Rangas Pondoh | tidak diketahui | |
7. | Panembahan Bawak Sawo | tidak diketahui | |
8. | Panembahan Kota Baru | –1615 | |
9. | Sultan Abdul Kahar (Pangeran Kedah) | 1615–1643 | |
10. | Sultan Agung Abdul Jalil | 1643–1665 | |
(Pangeran Dipati Anom) | |||
11. | Sultan Seri Ingologo (Raden Penulis) | 1665–1690 | |
12. | Sultan Ki Geboh Walando/Sultan Gede | 1690–1696 | |
(Pangeran Cakranegara) | |||
13. | Sultan Muhammad Syah | 1696–1740 | |
14. | Sultan Istra Ingologo | 1740–1770 | |
15. | Sultan Anom Seri Ingologo | 1770–1790 | |
16. | Sultan Ratu Seri Ingologo | 1790–1812 | |
(Mas’ud Badaruddin) | |||
17. | Sultan Agung Seri Ingologo | 1812–1826 | |
(Raden Danting Sultan Muhammad | |||
Muhiddin) | |||
18. | Puteri Ayu | 1826–1833 | |
19. | Sultan Muhammad Fakhruddin | 1833–1841 | |
(Muhammad Fakhruddin) | |||
20. | Sultan Abdul Rahman Nazaruddin | 1841–1855 | |
21. | Sultan Thaha Saifuddin | 1858–1904 |
Setelah itu satu demi satu benteng pertahanan Sultan Thaha berhasil diduduki. Akhirnya pihak Belanda melakukan serangan ke jantung pertahanan Sultan Thaha. Pada April 1904 Belanda berhasil mengepung Sultan Thaha. Dalam pertempuran 26 April 1904 Sultan Thaha gugur sebagai pahlawan dan dimakamkan di Muara Tebo.
Perlawanan rakyat belum berakhir dengan wafatnya Sultan Thaha. Komando perlawanan diambil alih oleh Raden Mat Tahir bersama beberapa orang panglima perang. Pada 10 September 1907 Raden Mat Tahir diberondong dengan tembakan oleh Belanda setelah usaha membujuknya tidak berhasil.
Gugurnya Raden Mat Tahir ini merupakan akhir dari riwayat Kesultanan Jambi. Belanda kemudian menyatukan Jambi dan Kerinci menjadi satu keresidenan di bawah pemerintahan Hindia Belanda.
Tampaknya, pengaruh Jawa dapat dikatakan sangat kuat di Kesultanan Jambi. Pengaruh itu terjadi karena Kesultanan Jambi secara politis pernah dimasuki pengaruh Kesultanan Demak dan kemudian Kerajaan Mataram.
Status di bawah pengaruh Demak dan Mataram itu rupanya dapat berfungsi sebagai perisai terhadap ekspansi Kesultanan Banten yang sangat berpengaruh di Palembang, dan juga dari kerajaan tetangga lainnya. Di samping itu, Jambi memang secara ekonomis tergantung kepada Jawa karena ia termasuk negara pengimpor beras dan garam dari Jawa.
Puncak pengaruh itu terjadi terutama pada masa Sultan Agung, raja ketiga Kerajaan Mataram yang memerintah tahun 1613–1645 dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta. Para pembesar Kesultanan Jambi waktu itu berorientasi ke Mataram. Pada masa ini pengaruh Kerajaan Mataram atas Kesultanan Jambi pada bidang politik dan budaya sangat kuat.
Di keraton Kesultanan Jambi banyak orang menggunakan bahasa Jawa dan bahkan berpakaian cara Jawa. Pengaruh itu juga terlihat dari gelar para rajanya. Pengaruh Jawa mulai berkurang setelah Sultan Agung dari Mataram meninggal dunia.
Di lain pihak, pengaruh Belanda menjadi semakin kuat. Namun, semangat perlawanan Sultan Agung terhadap Belanda terus mengilhami sultan Jambi secara turun-temurun.
Dalam Kesultanan Jambi, hukum syarak atau syariat Islam berjalan dengan baik berdampingan dengan hukum adat, yang sebagian sudah terislamkan. Hukum syarak adalah hukum yang tersurat di dalam Al-Qur’an, sedangkan hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis di dalam Al-Qur’an. Dalam pasal 32 Oendang-Oendang Atoeran Radja-Radja disebutkan:
“Adapun martabat yang tiada sunyi kepada umat Mu-hammad SAW itu ada dua, salah satunya adalah syarak yang lazim dan yang kedua adat yang kuat. Adat merupakan penghulu dalam negeri, artinya apabila terjadi perbantahan di antara manusia, maka mereka harus kembali kepada hukum adat dalam negerinya. Setiap negeri berdiri dengan adatnya masing-masing.”
Sementara itu hukum syarak atau syariat Islam juga diterima dan dianut dengan kuat oleh rakyat dan penguasa Kesultanan Jambi. Dalam hal ini, pengaruh Aceh sangat kuat. Biasanya, orang yang ingin mendalami pengetahuan agama pergi ke Aceh dan belajar dari ulama di sana. Di samping itu, banyak pula ulama yang datang dari Hadramaut ke Jambi, seperti Habib Husein Baragbah yang datang sekitar tahun 1615.
Daftar Pustaka
Djaja, Tamar. Pusaka Indonesia: Riwayat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air. Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
de Graaf, H.J. dan Th. G. Pigeud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Jakarta: Grafiti Pers, 1985.
HAMKA. Sejarah Ummat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Hardi, M.R. Menarik Pelajaran dari Sejarah. Jakarta: Haji Masagung, 1981.
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500–1900. Jakarta: Gramedia, 1992.
Rachman, Lukman, ed. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Koloni-alisme di Daerah Jambi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983/1984.
Reid, Anthony. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450–1680. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992.
Soekmono, R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Penerbit Nasional Trikarya, 1959.
Tjandrasasmita, Uka, ed. Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975.
Badri Yatim