Jama’ah Tabligh

(Ar.: Jama‘ah at-Tablig; Urdu: Jamaati Tabligh)

Jama‘ah Tabligh adalah sebuah gerakan Islam internasional yang muncul pertama kali di India, didirikan oleh Syekh Maulana Ilyas (1887–1948), dan kini berpusat di Nizamuddin, India.

Syekh Maulana Ilyas adalah seorang ulama ke­lahiran desa Kendahlah,­ Saharnapur, India. Ia belajar­ pertama kali pada kakeknya sendiri, Syekh Muhammad Yahya, seorang guru madrasah di kota kelahirannya. Kakeknya ini adalah seorang penganut­ Mazhab Hanafi dan teman dari seorang ulama­ dan penulis Islam terkenal, Syekh Abu al-Hasan Ali al-Hasani an-Nadavi, direktur Dar al-‘Ulum di Lucknow, India.

Maulana Ilyas pertama kali terdorong untuk mendirikan­ gerakan Jama‘ah Tabligh setelah melihat­ adanya “kerusakan”­ mental umat Islam. Menurut­ penilaiannya, mental umat Islam sudah bobrok dan banyak masjid yang kosong. Ibadah wajib­ sudah banyak ditinggalkan oleh umat Islam.

Ba­nyak orang yang mengaku beriman Islam, tetapi sebenarnya­ mereka telah terjatuh ke lembah kemusyr­ikan­. Maulana berpendapat, tidak ada jalan untuk memperbaikinya­ kecuali dengan kembali kepada­ ajaran Rasulullah SAW. Cara inilah yang dapat menyembuhkan “orang sakit” itu.

Maka Syekh Ilyas kemudian mulai memimpin gerakan Jama‘ah Tabligh. Setelah ia meninggal dunia­ pada 1948, kepemimpinan Jama‘ah Tabligh diteruskan oleh anaknya, Syekh Muhammad Yusuf Kandahlawi (1917–1965).

Sebagai gerakan internasional, kini aktivitas dakwah­ gerakan ini sudah menjangkau hampir se­luruh dunia. Pengikut terbesar terdapat di India, Pakistan, dan Bangla­desh. Sejak awal 1980-an, gerak­an­ ini mulai marak melakukan dakwah di Timur Tengah (termasuk Mekah dan Madinah), Asia Tenggara, Eropa, Australia, dan bahkan sampai ke Amerika Latin.

Ajaran. Gerakan Jama‘ah Tabligh bercorak conversion(pertobatan). Perhatiannya ditujukan terutama kepada perbaikan moral individu. Ia berharap, keadaan akan menjadi baik apabila moral individu berhasil­ diperbaiki.

Kegiatan utama gerakan ini, sesuai dengan na­manya, adalah berdakwah­ untuk “menobatkan” orang luar. Dakwah adalah kegiatan yang paling menonjol di antara kegiatan gerakan ini. Para pendengar dakwah mereka pertama sekali diajak mengikuti salat berjemaah di masjid. Me­nurut gerakan ini, hanya dengan menggunakan­ metode­ yang digunakan Nabi SAW dalam berdakwah akan dicapai hasil yang baik.

Penggunaan Kisah-Kisah Para Sahabat (karya Maulana Muhammad Zakaria, seorang ahli hadis dan kemenakan Syekh Maulana Ilyas, dalam 2 jilid) sebagai buku pegangan bukan sekadar untuk mengenal seja­rah Nabi SAW dan para sahabat, tetapi juga untuk mengambil iktibar­ darinya, dan lebih penting lagi untuk memberi motivasi serta meningkatkan semangat­ berdakwah,­ rela berkorban, dan menderita dalam menjalankan kewajiban dakwah Islam.

Berbeda dari pengertian umum yang memahami dakwah secara salah sebagai tugas para alim ulama semata, gerakan ini berpendapat bahwa amar makruf­ nahi mungkar adalah kewajiban setiap muslim; dakwah bukan hanya kewajiban alim ulama, melainkan juga kewajiban muslim yang awam. Oleh karena itu, gerakan ini kurang bersim­pati dengan kegiatan dakwah seperti tabligh akbar, apalagi hal itu disatukan dengan acara kesenian tertentu.

Dakwah Islam yang mereka lakukan sesuai de­ngan metode Nabi SAW adalah dakwah dengan cara khuruj, yaitu keluar dari rumah ke rumah dan dari masjid ke masjid, biasanya dengan berjalan kaki. Dalam menjalankan khuruj mereka tidak jarang­ pergi ke luar kota, bahkan sampai ke luar negeri. Biaya dakwah itu menjadi tanggung jawab anggota sendiri.

Selama khuruj, anggota jemaah yang sedang melakukan­ dakwah dipimpin oleh seorang amir (pemimpin)­ dan tinggal­ di masjid yang dituju. Setiap kali tiba di suatu daerah, mere-ka pertama-tama akan melakukan jaulah khususi, yaitu mengun­jungi­ para ulama setempat; baru kemudian me­reka mengadakan jaulah ‘umumi, yaitu mengun­jungi­ rumah penduduk­ dan mengajak mereka­ ke masjid­ setempat.

Kegiatan ini biasanya dilakukan­ selama 3 hari dalam seminggu, atau seming­gu­ dalam sebulan, atau sebulan dalam se­tahun,­ dan 40 hari dalam seumur hidup. Di masjid tempat mereka menetap sementara, setelah me­nunaikan salat, mereka melakukan bayan (penjelasan), semacam pengajian atau ceramah agama yang diberikan­ oleh salah seorang anggota jemaah.

Ada beberapa prinsip yang selalu harus diingat oleh anggota jemaah dalam menjalankan­ dakwah (tabligh) atau selama khuruj, antara lain:

(1) dakwah­ harus dijalankan­ dengan ikhlas dan hanya mengharapkan­ keridaan Ilahi;

(2) anggota jemaah harus menghor-mati orang Islam yang lain, terutama­ para ulama;

(3) selama menjalankan dakwah, anggota jemaah diharuskan­ mempelajari ajaran gerakan­ dan selalu berusaha menjalankan ajaran itu;

(4) anggota harus menjauhi perbuatan­ yang sia-sia dan sebaliknya memperbanyak ibadah seperti salat nawafil (salat sunah);

(5) dalam memberi bayÎn, anggota diha­rapkan menggunakan kata-kata yang tepat, memberikan penjelasan yang menen­­ teramkan jiwa, dan karena itu dilarang berbi­cara mengenai politik dan khilafiah, menggunjing­kan­ aib masyarakat, dan menghina pemerintah, golong­an atau perseorangan;

(6) penekanan bayan terletak pada masalah kebesaran Allah SWT, keper­cayaan­ tentang hari akhir, kewajiban salat berje­maah,­ dan kewajiban berdakwah;

(7) anggota harus bersabar apabila mendapat sambutan yang tidak simpatik, seba­gaimana Nabi SAW dan para saha­bat dulu juga disambut dengan sikap yang menyakitkan;

(8) kalau usaha dakwah gagal, kegagal­­ an itu dianggap­ tidak terletak pada mereka melain­kan­ pada pendengar yang masih enggan menerima­ kebenar­an;­ dan

(9) anggota mengadakan evaluasi­ setiap selesai melakukan satu tindakan dakwah­.

Gerakan Jama‘ah Tabligh mengajarkan bahwa hukum atas taklid­ pada mazhab tertentu­ adalah wajib. De­ngan demikian, gerakan ini berpendapat bahwa pintu­ ijtihad telah tertutup, karena sekarang ini tak ada ulama yang mampu melaksanakan ijtihad sehingga digelari mujtahid.

Para anggota gerakan, terutama anggota lama, harus bergamis panjang dan memanjangkan jenggotnya­. Mereka menggosok gigi setiap akan menunaikan­ salat dengan menggunakan siwak, se­bagaimana yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Apa­bila sedang berkumpul di antara sesama mereka, biasanya mereka makan dari nampan secara ber­kelompok, sekitar lima orang setiap nampan.

Mereka­ makan dengan menggunakan tangan, sedapat mungkin dengan tiga jari. Ketika makan, mereka menekukkan kaki kanan, dan pantat bersentuhan­ dengan tapak kaki kiri. Semua itu mereka yakini sebagai sunah Nabi SAW.

Bagi gerakan ini, dakwah merupa­kan­ kewajiban, tetapi dakwah yang dilaksanakan itu hanya sebuah permulaan. Tujuan gerakan ini yang sebenarnya adalah mengajarkan agama Islam yang sejati, seperti yang diajarkan Nabi SAW.

Ajaran gerakan ini dapat dilihat pada buku yang dijadikan pegangan jemaah. Buku itu sebagian besar sudah diterjemah­kan, terutama ke dalam bahasa Melayu (Malaysia),­ diterbitkan di Pulau Penang, Malaysia, oleh Penerbit Dewan Pakistan.

Syekh Muhammad Yusuf Kandahlawi menulis dua buku pegangan­ bagi jemaah, yaitu hayah asahabah (Kehidupan Para Sahabat) dan Amani Akhbar (sebuah kitab tentang hadis), yang kedua­ nya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.

Buku pegangan lainnya antara lain Fadhilah Zikr (Keutamaan Zikir), Fadhilah salah (Keutamaan Salat),­ Fadhilah Qur’an (Keutamaan Al-Qur’an), Fadhilah Tablig (Keutamaan Tabligh), Kisah-Kisah Para Sahabat, Fadhilah Ramadhan (Keutamaan Rama­dan), dan Fadha’il sadaqah (Keutamaan­ Sedekah), semuanya karya Maulana Muhammad Zakaria.

Enam Prinsip Tabligh, karya Maulana Ashiq Elahi, seorang ulama jemaah, juga menjadi pegangan je­maah. Di luar karya ulama Jama‘ah Tabligh, Riyadh as-salihin (Taman Orang Saleh), karya Imam Nawawi, juga menjadi pegangan jemaah.

Gerakan ini setiap tahun mengadakan ijtima‘ (pertemuan)­ di pusat gerakan. Ijtima‘ ini dihadiri oleh anggota jemaah dari seluruh­ dunia. Konon, hanya ibadah haji di Mekah yang melebihi ramainya­ orang berkumpul di pusat gerakan ini ketika ijtima‘ tahunan ini dilaksanakan. Bahkan, di pusat gerakan ini, anggota jemaah dari seluruh penjuru dunia hilir mudik setiap hari guna mendapat pengarahan­ lebih jauh.

Di Indonesia. Cabang Jama‘ah Tabligh di Indonesia­ pada 1993/1994 dipimpin oleh Letkol CPM (purn) Ahmad Zulfakar. Menurut Zulfakar, Jama‘ah Tabligh ini mulai masuk ke Indonesia pada 1952, tetapi baru mulai berkembang­ pada 1974 di Masjid Jami Kebon Jeruk, Jakarta Pusat.

Pada saat ini, gerakan dakwah tersebut sudah tersebar di propinsi-propinsi di Indonesia. Dakwah­ dilakukan hingga ke kawasan trans­migrasi dan ke penjara. Banyak kalangan intelektual Indonesia yang bergabung dalam gerakan ini.

Sebagaimana di pusatnya, di Indonesia juga se­tiap tahun dilaksanakan­ ijtima‘ (pertemuan akbar antarjemaah se-Indonesia, semacam muktamar). Ijtima‘ ini biasanya­ berlangsung­ di kawasan Ancol, Jakarta Utara, yaitu di sebidang­ tanah yang sangat luas, milik salah seorang anggota jemaah.

Pertemuan­ ini dihadiri pula oleh ulama jemaah dari berba­gai­ negara, terutama India, Pakistan, Bangladesh, dan Timur Tengah. Dalam kesempatan ini para ulama itu memberikan bayan.

Selain itu Jamaah Tabligh juga terlibat dalam kerjasama yang erat dengan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama; kegiatannya berfokus pada pengubahan kaum muslim abangan (sinkretis) menjadi kaum muslim santri (muslim asli). Dengan demikian, Jamaah Tabligh di Indonesia telah dikaitkan dengan kaum ulama maupun kaum muda muslim berpendidikan modern yang berbasis perkotaan.

Daftar Pustaka

“Beragama Jalan Menempuh Dunia,” Tempo, V, 3 April 1993.

Van Bruinessen, Martin. “Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia,” Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 1, 1992.

Elahi, Maulana Ashiq. Enam Prinsip Tabligh. Pulau Pinang: Dewan Pakistan, 1979.

Zakaria, Maulana Muhammad. Fadhilah Qur’an. Pulau Pinang: Dewan Pakistan, 1978.

–––––––. Fadhilah Ramadhan. Pulau Pinang: Dewan Pakistan, 1978.

–––––––. Fadha’il sadaqah. Trenggano: Pustaka Timur, 1990.

–––––––. Fadhalah salah. Pulau Pinang: Dewan Pakistan, t.t.

–––––––. Fadhilah Tablig. Pulau Pinang: Dewan Pakistan, t.t.

–––––––. Fadhilah Áikr. Pulau Pinang: Dewan Pakistan, t.t.

–––––––. Kisah-Kisah Para Sahabat. Pulau Pinang: Dewan Pakistan, 1979.

Badri Yatim