Jabal Uhud adalah sebuah gunung yang berjarak sekitar 3 mil dari kota Madinah. Tempat ini terkenal sebagai medan peperangan antara umat Islam dan golongan kafir Quraisy pada 15 Syawal 3 (Maret 625). Peristiwa ini kemudian disebut Perang Uhud.
Gunung Uhud merupakan bagian dari dataran tinggi yang membentang dari utara ke selatan dan menyebar ke timur dan kemudian membentuk bukit tersendiri. Bukit itu hampir tidak memiliki puncak karena merupakan dataran tinggi berbentuk persegi panjang.
Daerah di sekitar dataran ini gersang dan tandus, ditutupi bebatuan dan pasir. Hanya di bagian selatan terdapat ladang gandum dan tanah per kebunan yang dialiri selokan kecil. Akan tetapi, daerah itu terkadang dilanda banjir dari curahan hujan lebat.
Perang Uhud terjadi karena golongan kafir Quraisy mencoba membalas kekalahan mereka dalam Perang Badar, lalu memancing amarah penduduk Madinah dengan menduduki ladang gandum di Jabal Uhud.
Dalam perang itu, pasukan Islam, sesuai dengan strategi Nabi SAW, mengambil posisi di atas Jabal Uhud. Tetapi ketika mereka hampir menang, pasukan pemanah terpancing oleh ‘rampasan perang’ dan turun dari bukit dengan melawan instruksi Nabi SAW. Maka pasukan Quraisy segera merebut posisi di atas bukit dan dari situ menyerang pasukan Islam sampai menewaskan 70 syuhada.
Seusai perang, Nabi SAW dan para sahabatnya melakukan salat jenazah. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan sahabat tentang pemakaman syuhada Uhud ini; sebagian mengusulkan agar syuhada itu dimakamkam di Jabal Uhud dan sebagian lagi mengusulkan agar dimakamkan di Madinah.
Karena itu, Nabi SAW memutuskan agar syuhada itu dikuburkan di tempat mereka menemui ajalnya, Jabal Uhud. Wanita-wanita Ansar, setelah mendengar berita kematian keluarganya yang pergi ke medan perang, menangis dan meratapinya. Namun demikian, tak seorang pun menangisi Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi SAW yang sangat dicintainya.
Ketika mereka melihat Nabi SAW begitu terpukul dan bersedih karena kehilangan pamannya, mereka pun menangisi Hamzah. Pada saat itulah Nabi SAW memberi izin untuk menangisi orang mati, namun bukan untuk meratapi (dengan mencabik-cabik pakaian atau melukai muka dan badan) sebagaimana dilakukan orang Jahiliah.
Kecintaan Nabi SAW kepada para syuhada Uhud, terutama Hamzah, mendorong beliau melakukan ziarah ke Jabal Uhud hampir setiap tahun. Jejak Nabi SAW ini diikuti pula oleh beberapa khalifah sesudahnya. Dengan demikian Jabal Uhud menjadi salah satu tempat penting yang sering diziarahi, khususnya jemaah haji.
Pada perkembangan berikutnya, di daerah sekitar Jabal Uhud dibangun sebuah masjid dan beberapa rumah penduduk. Masjid itu merupakan bangunan kecil tetapi kokoh. Ketika Wahabi melakukan gerakan penghancuran kuburan-kuburan dan tempat yang dianggap keramat, kubah masjid itu juga sempat dihancurkan.
Hal ini dilakukan, kemungkinan besar, karena masjid ini mengitari kuburan Hamzah–masjid itu kemudian disebut Masjid Hamzah dan beberapa sahabat penting, seperti Mus‘ab bin Umair, Ja‘far bin Syams, dan Ab-dullah bin Jahsy.
Pekuburan itu merupakan area terbuka yang tidak terlalu luas dan hanya ditandai oleh batu-batu di sekelilingnya. Di sekitar itu terdapat pula lubang, tempat Nabi SAW terjerembab dan tertimpa batu ketika terjadi perang, dan gua tempat peristirahatannya seusai perang tersebut.
Pada perkembangan terakhir, Jabal Uhud merupakan tem-pat ziarah penting. Namun, karena tempat ini sering dijadikan tempat melakukan upacara yang tidak dibenarkan syariat (bid’ah dan khurafat), pemerintah Wahabi yang berkuasa memerintahkan beberapa petugas untuk mengawasi praktek-praktek atau acara yang dilakukan jemaah haji di situ, di samping tempat suci dan bersejarah lainnya.
Daftar Pustaka
Haekal, Muhammad Husain. hayah Muhammad. Cairo: Matba‘ah as-Sunnah al-Muhammadiyah, 1968.
Ibnu Hisyam, Abdul Malik bin Hisyam al-Himyari. as-Sirah an-Nabawiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halami, 1355 H/1936 M.
Ma’luf, Louis. al-Munjid fi al-Lugah wa al-‘Alam. Beirut: Dar al-Masyriq, 1986.
Agus Halimi