Secara kebahasaan, ittihad berarti “bergabung menjadi satu, menyatu, atau bersatu”. Dalam istilah tasawuf, ittihad berarti “bersatunya seorang sufi sedemikian rupa dengan Allah SWT setelah terlebih dahulu melalui penghancuran diri (fana) dari kesadaran jasmani dan kesadaran rohani untuk kemudian berada dalam keadaan baka (tetap/bersatu dengan Allah SWT)”.
Paham ittihad pertama kali dikemukakan oleh seorang sufi yaitu Abu Yazid al-Bustami. Sejak kecil Abu Yazid telah mempelajari Al-Qur’an. Diceritakan, ketika sampai pada surah Luqman (31) ayat 14, ia segera minta izin kepada gurunya untuk pulang menemui ibunya.
Lalu ia berkata kepada ibunya, “Wahai Ibu, aku telah sampai kepada ayat Al-Qur’an yang memerintahkan aku untuk melayani Allah dan Ibu. Bagiku hanya ada satu pilihan, Allah atau Ibu. Jika aku harus melayani Ibu, mintalah aku dari Allah agar sepenuhnya aku ini milik Ibu, atau lepaskan aku untuk Allah agar aku bisa tinggal selama-lamanya bersama Allah.”
Ibunya menjawab, “Pergilah Nak, dan jadilah engkau milik Allah. Engkau sepenuhnya kuserahkan menjadi milik Allah.” Setelah itu al-Bustami pergi mengembara untuk berguru dan menjalani kehidupan sufi. Ia mengunjungi lebih kurang 113 guru dalam masa 30 tahun. Pada tahun ke-12 ia sampai di Mekah untuk menjalankan ibadah haji. Kemudian ia mengembara lagi dan kembali ke Mekah untuk kedua kalinya. Lalu ia pergi ke Madinah dan kembali ke Bistam, Iran, sampai akhir hayatnya.
Pada suatu waktu dalam pengembaraannya, setelah salat subuh Yazid al-Bustami berkata kepada orang yang mengikutinya, “Inni ana Allah la ilaha illa ana fa‘buduni” (“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tiada Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku”). Mendengar kata-kata itu, orang yang menyertainya mengatakan bahwa al-Bustami telah gila.
Menurut pandangan para sufi, ketika mengucapkan kata-kata itu, al-Bustami sedang berada dalam keadaan ittihad, suatu maqam (tingkatan) tertinggi dalam paham tasawuf. Untuk dapat mencapai tingkatan tasawuf seperti itu, seorang sufi terlebih dahulu harus meniti maqam sebelumnya, yaitu dimulai dari maqam tobat, zuhud, sabar, tawakal, *rida, cinta, makrifat, sampai maqam fana dan baka.
Dalam paham ittihad, maqam fana dan baka merupakan pintu gerbang menuju ittihad. Fana, baka, dan ittihad sering disebut sebagai tiga maqam kembar. Fana berarti “hancur atau penghancuran” dan baka berarti “tetap atau terus hidup”.
Seorang sufi mula-mula fana dari yang buruk dan ketika itu ia baka (tetap) pada keadaan yang baik. Kemudian ia fana dalam kehidupan jasmani dan pada saat itu ia baka (tetap) dalam kehidupan rohani. Lalu ia fana dari kesadaran rohani dan ketika itu ia baka (tetap) pada kesadaran Ilahi.
Ketika berada pada kesadaran Ilahi itulah seorang sufi berada dalam keadaan ittihad, bersatu dengan Allah SWT. Fana dan baka dapat dipahami dari kata-kata al-Bustami: “A‘rifuhu bi hatta fanaitu tsumma ‘araftuhu bihi fa hayaitu” (“Aku tahu kepada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup”).
Kata-kata Abu Yazid lainnya adalah sebagai berikut: “Jannani bi fa muttu tsumma jannani bihi fa hayaitu fa qultu al-jununu bi fana’ wa al-jununu bika baqa’” (“Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan aku pun hidup, Aku berkata, gila pada diriku adalah kehancuran, gila pada-Mu adalah kehidupan”).
Dalam keadaan ittihad, seorang sufi sering mengucapkan kata-kata yang aneh, seakan-akan ia mengaku sebagai Tuhan, seperti yang diucapkan al-Bustami di atas (Sesungguhnya aku ini Allah, tiada Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku).
Al-Bustami juga pernah mengucapkan kata-kata: “subhani subhani, ma a‘zama sya‘ni” (“Maha Suci aku, Maha Suci aku, alangkah Maha Agungnya aku”) dan “laisa fi al-jubbah illa Allah” (“tidak ada di dalam jubah ini, kecuali Allah”).
Kata-kata seperti itu disebut syathahat (perkataan yang keluar dari mulut seorang sufi ketika ittihad). Dalam pandangan sufi, kata-kata itu bukan keluar dari seorang sufi tetapi kata-kata Allah SWT melalui lisan seorang sufi yang sedang dalam keadaan ittihad. Bukan Zat Allah SWT yang berbicara, tetapi aspek Allah SWT yang ada pada diri sufi itulah yang sedang berbicara.
Tingkatan maqam tertinggi dalam dunia tasawuf selain ittihad adalah hulul (Tuhan mengambil tempat pada diri sufi) yang dikemukakan Husein bin Mansur al-Hallaj (858–922) dan wahdatul wujud (kesatuan wujud, wujud alam ini tergantung pada wujud Tuhan) yang dikemukakan Muhyiddin Ibnu Arabi (1165–1240).
Paham ittihad, hulul ataupun wahdatul wujud ini dipandang sesat dan menyesatkan oleh ulama syariat. Oleh sebab itu, penulis tentang sufi atau tasawuf pada abad ke-3 dan ke-4 H (masa subur dan berkembangnya paham tasawuf), seperti Abu Bakar al-Kalabazi (w. 380 H/990 M) dan Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi (w. 465 H/1074 M), enggan menulis masalah tersebut.
Uraian mengenai hal ini dapat dijumpai dalam tulisan kaum Orientalis. Kemudian penulis Islam pun tergerak kembali hasratnya untuk mengungkapkan khazanah lama miliknya itu.
Daftar Pustaka
Attar, Fariduddin. Tadzkirat al-Auliya’, atau Muslim Saints and Mystics, terj. A.J. Arbery. London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1979.
al-Kalabazi, Abu Bakar Muhammad. at-Ta‘arruf li Madzhab Ahl at-Tasawwuf. Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1969.
Mahmud, Abdul Qadir. al-Falsafah as-sufiyyah fi al-Islam. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1967.
Nicholson, Reynold A. Fi at‑Tasawwuf al‑Islami wa Tarikhih, terj. Abu al‑Ala Af-fifi. Cairo: Lajnah at‑Ta‘lif wa at‑Tarjamah wa an‑Nasyr, 1969.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Muhammad ‘Ali Subaih, 1966.
at-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ganimi. Madkhal ila at-Tasawwuf al-Islami. Cairo: Dar as-Saqafah li at-Tauzi’ wa an-Nasyr, 1983.
at-Tusi, Abu Nasr as-Sarraj. al-Luma‘. Cairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1961.
Atjeng Achmad Kusaeri