Secara etimologis, al-istitha’ah berarti “kemampuan dan kesanggupan melakukan sesuatu”. Akar katanya adalah Tha‘a-Yathu‘u-Thau‘an yang berarti “tunduk, patuh, dan taat”. Dalam terminologi Islam, istilah “istitaah” digunakan dalam dua pengertian: (1) kemampuan untuk menunaikan ibadah haji dan (2) kemampuan untuk melaksanakan pernikahan.
Kata “istitaah” sangat populer digunakan dalam kitab sumber hukum Islam seperti Al-Qur’an, hadis, dan fikih, misalnya pada ayat yang berarti: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS.3:97). Para ulama fikih berbeda pendapat ketika berbicara tentang batas dan aspek kemampuan itu.
Mazhab Hanafi menyatakan bahwa istitaah terbagi atas tiga macam, yaitu:
(1) istitha‘ah maliyyah (kemampuan biaya), (2) istitha‘ah badaniyyah (kemampuan kesehatan), dan (3) istitha‘ah amniyyah (kemampuan keamanan dalam perjalanan).
Seseorang yang memenuhi ketiga kemampuan ini wajib melaksanakan haji. Kemampuan pertama mencakup kemampuan kesehatan badan. Maka, orang sakit, tertimpa musibah, lumpuh, buta, dan berusia lanjut yang tidak mungkin berjalan sendiri, tidak wajib melaksanakan ibadah haji.
Kemampuan kedua mencakup kemampuan menyiapkan biaya pergi-pulang untuk dirinya, biaya untuk keluarga yang ditinggalkan, dan biaya selama berada di tanah suci. Kemampuan ketiga mencakup keselamatan dan keamanan selama dalam perjalanan dan menunaikan ibadah haji.
Termasuk dalam kemampuan ketiga ini adalah adanya seorang mahram yang balig, berakal, dan tidak fasik untuk menemani wanita selama melaksanakan haji.
Menurut Mazhab Maliki, istitaah adalah kemampuan untuk pergi dan sampai di Mekah baik dengan berjalan kaki atau menaiki kendaraan. Kemampuan untuk kembali lagi ke negerinya tidak dipandang sebagai istitaah kecuali apabila ia mungkin tinggal di Mekah atau daerah sekitarnya.
Golongan ini membagi istitaah kepada tiga macam pula, yaitu: (1) kemampuan kesehatan jasmani, (2) kemampuan biaya, dan (3) tersedianya jalan untuk sampai di Mekah.
Menurut Mazhab Syafi‘i, ada tujuh syarat istitaah yang harus dipenuhi orang yang akan menunaikan ibadah haji atau umrah:
(1) kemampuan dan kesehatan jasmani, diukur dengan kemampuan untuk duduk di atas kendaraan tanpa menimbulkan kesulitan yang berarti;
(2) kemampuan biaya untuk pergi-pulang;
(3) adanya kendaraan angkutan;
(4) tersedianya bekal di tempat pelaksanaan haji;
(5) adanya keamanan, baik dalam perjalanan maupun selama berada di tanah suci;
(6) wanita harus ditemani suami atau mahramnya; dan
(7) kemampuan untuk sampai di tempat tujuan pada batas waktu yang ditentukan, yaitu sejak bulan Syawal sampai dengan 10 Zulhijah.
Mazhab Hanbali mensyaratkan dua kemampuan, yaitu kemampuan menyiapkan bekal dan (ongkos) kendaraan.
Hal ini berdasarkan hadis riwayat Daruqutni dari Jabir, Ibnu Umar, Ibnu Amr, Anas bin Malik, dan Aisyah yang menyatakan bahwa pernah seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW untuk menanyakan tentang sesuatu yang mewajibkan haji. Rasulullah SAW menjawab bahwa yang mewajibkan haji itu adalah adanya bekal dan kendaraan.
Kata “istitaah” juga digunakan dalam membicarakan perkawinan. Misalnya hadis yang berarti:
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kamu telah mampu mengadakan hubungan kelamin (bersetubuh), kawinlah. Karena hal itu akan dapat mencegah matamu dari melihat yang haram dan menyelamatkan farajmu. Barangsiapa yang tidak sanggup maka puasalah. Karena hal itu menjadi penekan nafsu syahwatmu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis di atas terdapat kata “istitaah” yang dikaitkan dengan kata al-ba’ah. Terdapat perbedaan pendapat di antara sebagian ulama tentang makna kata al-ba’ah, tetapi pada umumnya ulama memahami bahwa kata itu berarti al-jima‘ (bersetubuh).
Kata al-ba’ah dipahami tidak hanya sebagai kemampuan untuk bersetubuh tetapi juga kemampuan untuk membiayai hidup berumah tangga dengan memiliki penghasilan yang tetap.
Pemahaman seperti ini didasarkan pada pengertian bahwa untuk menikah tidak cukup hanya mampu memberikan kebutuhan biologis kepada istri, tetapi juga harus mampu memberikan kebutuhan materiil. Dari sini dipahami bahwa istitaah dalam hadis itu adalah kemampuan biologis dan materiil bagi pihak laki-laki.
Daftar Pustaka
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
as-San‘ani, Muhammad bin Ismail al-Kahlani. Subul as-Salam. Bandung: Maktabah Dahlan, t.t.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
A. Thib Raya