Istisna‘

Secara kebahasaan, Istisna’ berarti “minta dibuatkan” atau “ditempah”. Dalam istilah fikih, Istisna’ berarti “akad yang mengandung tuntutan agar produsen (sani‘) membuat suatu barang sesuai dengan permintaan konsumen”. Istilah Istisna’ merupakan salah satu bentuk transaksi dalam fikih sebagai sarana saling bantu antara produsen dan konsumen dalam pembuatan barang sesuai dengan kehendak pemesan.

Dalam akad Istisna’, bahan dan kerja berasal dari produsen, sedangkan konsumen hanya memesan sesuai dengan kehendaknya. Secara sepintas, akad ini termasuk ke dalam kategori akad yang fasid (rusak), karena objek transaksi belum ada secara nyata, tetapi akan siap sesuai dengan kesepakatan antara konsumen dan produsen.

Oleh sebab itu, menurut ulama, transaksi ini mirip dengan jual beli salam (pesanan), yaitu jual beli pesanan dengan pembayaran di muka.

Ulama Mazhab Syafi‘i melarang akad Istisna’, karena bertentangan dengan kaidah umum yang berlaku, yaitu bahwa objek yang ditransaksikan itu harus nyata. Adapun dalam akad Istisna’ objeknya tidak langsung bisa dilihat.

Menurut mereka, akad Istisna’ termasuk ke dalam bai‘ al-ma‘dum (jual beli terhadap sesuatu yang tidak ada) yang dilarang syarak. Akan tetapi, ulama Mazhab Hanafi membolehkan akad ini karena adanya kebutuhan orang banyak akibat barang yang dibutuhkan konsumen tidak semuanya sesuai dengan kebutuhan konsumen.

Mereka juga membolehkan akad seperti ini dalam rangka saling tolong-menolong antara produsen dan konsumen. Menurut Ahmad al-Hajji al-Kurdi, pakar fikih Universitas Damascus, Suriah, pandangan ulama Mazhab Hanafi yang membolehkan akad Istisna’ sangat relevan, karena hasil komoditi diproduksi sesuai dengan pesanan, baik itu berskala lokal, nasional, regional, maupun internasional.

Jika akad ini dianggap tidak sah, sementara dunia modern dengan kemajuan teknologinya memberlakukan akad seperti ini, akan timbul kesulitan dan kemudaratan bagi manusia secara umum; sedangkan syarak bertujuan untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.

Oleh sebab itu, menurut al-Kurdi, sejalan dengan tuntutan masyarakat, keberadaan akad ini sulit untuk ditolak, sesuai dengan kaidah yang mengatakan al-‘Adah muhakkamah (adat kebiasaan dapat dijadikan landasan hukum).

Menurut ulama Mazhab Hanafi, akad Istisna’ baru dianggap sah apabila memenuhi ketiga syarat berikut ini:

(1) Objek akad adalah barang yang akan dibuat, bukan pekerjaan dari produsen. Jika pekerjaannya yang dijadikan objek akad, akad ini tidak dinamakan jual beli lagi, tetapi akad ijarah (sewa-menyewa).

(2) Jenis, ukuran, jumlah, dan sifat barang yang dipesan harus dijelaskan dalam akad. Hal ini penting agar unsur jahalah (sulit diidentifikasi) bisa dihilangkan.

(3) Akad tidak mempunyai jangka waktu pesanan, karena menurut Imam Hanafi, jika salah seorang yang berakad menentukan waktu, akadnya batal. Akan tetapi Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, keduanya sahabat Imam Hanafi, menyatakan bahwa penentuan waktu selesainya barang tersebut di waktu akad berlangsung tidak akan merusak akad tersebut.

Menurut ulama Mazhab Hanafi, akad Istisna’ bersifat tidak mengikat. Pihak produsen atau konsumen dapat membatalkan akad ini secara sepihak sebelum barang pesanan dilihat oleh pemesan. Misalnya, pihak produsen menjual barang pesanan kepada orang lain, sebelum barang tersebut dilihat pemesannya.

Dalam kasus seperti ini, menurut mereka, pihak pemesan tidak bisa menuntut produsen, karena sifat akad yang tidak mengikat itu. Akan tetapi, Imam Abu Yusuf dan Ibnu al-Abidin, ulama fikih Mazhab Hanafi, menyatakan bahwa akad Istisna’ tersebut bersifat mengikat. Oleh sebab itu, masing-masing pihak tidak dapat membatalkan akad itu secara sepihak.

Jika pesanan itu sesuai dengan syarat yang diminta, pihak pemesan tidak bisa membatalkan transaksi. Di sisi lain, pihak produsen berkewajiban menyelesaikan pesanan tersebut sesuai dengan permintaan konsumen.

Daftar Pustaka

al-Buga, Mustafa. Fiqh al-Mu‘awadah. Damascus: Dar al-Mustaqbal li at-Tiba‘ah, 1981.

az-Zarqa, Ahmad Mustafa. Madkhal ila al-Fiqh al-‘amm: al-Fiqh al-Islami fi tsaubihi al-Jadid. Beirut: Dar al Fikr, 1967.

az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.

Nasrun haroen