Istishab berarti “mengharuskan bahwa suatu hukum yang sudah ada di masa lalu tetap berlaku karena tidak ada hukum baru sesudahnya”. Istishab merupakan istilah baku dalam ilmu usul fikih, khususnya ketika membicarakan dalil hukum Imam Syafi‘i. Ulama Mazhab Syafi‘i, Maliki, Hanbali, dan Syiah, menggunakan Istishab sebagai suatu dalil syarak, sedangkan Mazhab Hanafi tidak mau menerima Istishab dalam berhujah.
Istishab dapat dibagi dalam beberapa bentuk:
(1) Istishab bara’ah asliyyah, yakni terlepas dari tanggungan. Artinya, pada dasarnya suatu kewajiban itu tidak ada sampai ada dalil yang menyebutkan ketentuannya. Sejalan dengan pemikiran ini, terdapat kaidah umum yang menyebutkan bahwa sesuatu itu pada dasarnya bebas dari tanggungan. Oleh sebab itu, seseorang pada dasarnya tidak boleh dipaksa melakukan suatu tindakan hukum kecuali apabila ada dasar hukumnya.
(2) Istishab umum. Ini berarti bahwa suatu ketentuan hukum yang bersifat umum harus diberlakukan secara umum sebagaimana adanya, tidak secara khusus kecuali ada dalil yang mengkhususkannya.
(3) Istishab yang menyatakan bahwa aturan nas harus diberlakukan menurut ketentuan nas. Ini berarti bahwa suatu ketetapan yang telah ditentukan nas diberlakukan sebagaimana adanya sampai ada nasakh (Nasikh dan Mansukh) dari nas yang lain.
(4) Istishab sifat, yaitu tetap berlakunya suatu sifat yang wujudnya disebutkan pada masa lalu sebagaimana semula sampai ada perubahan yang menyebutkan lain dari sifat tersebut.
(5) Istishab maqlub (yang berbalik). Ini berarti bahwa apa yang sudah tetap (wujud atau tidak wujud) pada waktu lalu tetap berlaku sampai masa kini dan masa seterusnya sampai ada dalil yang menunjukkan kebalikannya.
Berdasarkan beberapa pembagian di atas maka timbul empat kaidah umum, yaitu:
(1) pada prinsipnya, suatu hukum yang telah ada tetap ada dan berlaku sampai ada ketentuan lain yang mengubahnya;
(2) pada dasarnya, hukum pokok terhadap segala rupa benda adalah boleh atau mubah;
(3) apa yang sudah ada karena diyakini atau merupakan keyakinan tetap akan berlaku dan tidak dapat dihilangkan karena keraguan; dan
(4) hukum pokok terhadap tanggungan manusia adalah bebas dari tuntutan.
Berdasarkan Istishab ini, apabila ditanyakan mengenai hukum kontrak dan pemeliharaan yang tidak ditemui nas-Nya dalam Al-Qur’an dan sunah yang mutlak ketentuannya, mujtahid (ahli ijtihad) akan menetapkan bahwa hukumnya adalah mubah (didasarkan pada kaidah bahwa segala sesuatu adalah boleh/mubah).
Oleh sebab itu, jika tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya perubahan, hukum kontrak dan pemeliharaan itu tetap mubah sesuai dengan sifat kebolehan pada asalnya. Demikian pula jika dihadapkan kepadanya tentang hukum binatang dan benda yang tidak ada ketentuan hukumnya, hukum asalnya adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang menunjukkan ketidakbolehannya.
Hukum asal bahwa segala sesuatu itu boleh didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 29 yang berarti: “Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi ini untukmu….”
Istishab merupakan dalil syarak terakhir yang digunakan oleh mujtahid sebagai dalil untuk mengetahui hukum suatu kejadian yang dihadapkan kepadanya. Ulama usul fikih mengatakan bahwa pada dasarnya Istishab merupakan tempat berputarnya fatwa yang terakhir untuk mengetahui sesuatu berdasarkan hukum yang telah ada atau ditetapkan selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya.
Istishab dapat pula dikatakan sebagai salah satu metode pengambilan dalil yang diberlakukan terhadap kebiasaan dan transaksi yang telah diadatkan oleh manusia.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
al-Hudari, Syekh Muhammad. Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Khalaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
__________. Masadir at-Tasyri‘ al-Islami Fima la Nassa Fih. Kuwait: Dar al-Qalam, 1973.
Mahmasani, Subhi. Falsafah at-Tasyri‘ fi al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr, 1974.
Salih, Muhammad Adib. Masadir at-Tasyri‘ al-Islami wa Manahij al-Istinbath. Damascus: al-Maktabah at-Ta‘awuniyah, 1981.
asy-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari‘ah. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1975.
Helmi Karim