Istiqra’

Secara kebahasaan, istiqra’ berarti “pengikutsertaan, terus-menerus (at-tatabbu’)”. Dalam istilah populer, istiqra’ disebut induksi. Misalnya, kata salah (salat) dalam Al-Qur’an umumnya menunjuk kepada ibadah yang terdiri atas ucapan dan perbuatan yang diawali takbiratulihram dan diakhiri salam dengan syarat tertentu. Dapat disimpulkan bahwa seluruh kata “salat”, seperti salat tarawih dan salat witir, menunjuk kepada ibadah seperti yang dimaksud di atas.

Menurut ahli mantik, istiqra’ berarti “menarik kesimpulan umum berdasarkan karakteristik satuannya”. Menurut al-Khawarizmi (780–850), ahli matematika dan geografi terkemuka, istiqra’ adalah suatu kesatuan berdasarkan karakteristik keseluruhannya.

Ibnu Sina (w. 428 H/1037 M) mengemukakan definisi yang sama dengan menambahkan, jika kesimpulan itu didasarkan atas kesamaan karakteristik semua satuannya disebut istiqra’ tamm (induksi sempurna), dan jika didasarkan atas kesamaan karakteristik mayoritas satuannya disebut istiqra’ masyhur atau istiqra’ naqis (induksi tidak sempurna).

Istiqra’ tamm biasanya ditemukan dalam penelitian ilmu kealaman yang meliputi mikrokosmos dan makrokosmos, karena karakteristik objek yang diteliti biasanya konstan. Penelitian tersebut menghasilkan, antara lain, hukum gravitasi serta rumus kimia, fisika, dan biologi.

Istiqra’ masyhur ditemukan dalam kajian ilmu sosial, termasuk ilmu agama. Kajian ilmu sosial meliputi tingkah laku dan pranata sosial; kajian ini menghasilkan patokan teoretis sosiologi. Dalam ilmu agama, objek penelitiannya adalah ayat Al-Qur’an, hadis, dan pendapat ulama yang memiliki otoritas. Adanya istilah ini dalam kajian ilmu sosial disebabkan karakteristik tingkah laku manusia dan pranata sosial tidak konstan.

Demikian pula makna (dilalah) ayat Al-Qur’an dan hadis riwayat yang mendukungnya jarang disepakati dalam hal kepastian maknanya. Karena itu, hanya dapat dilakukan istiqra’ masyhur yang menghasilkan kesimpulan zanni (kemungkinan besar benar).

Di kalangan ahli usul fikih, metode induksi (manhaj istiqra’iyyah) digunakan, antara lain, dalam menetapkan suatu kaidah umum untuk membahas persoalan hukum atau menetapkan hukum fikih ‘amali (praktis): apakah perbuatan itu wajib, sunah, mubah, makruh, haram, halal, sah, batal, atau fasid.

Hukum dari kesimpulan yang dihasilkan istiqra’ tamm adalah qath‘i (pasti, tidak bisa dibantah) dan hukum dari kesimpulan yang dihasilkan istiqra’ masyhur adalah zanni. Hukum yang terdapat pada kitab fikih pada umumnya dihasilkan dari istiqra’ masyhur.

Cara kerja istiqra’ merupakan bagian dari kerja epistemologi. Cara kerjanya harus melalui prosedur yang benar. Premis yang menyatakan karakteristik satuannya harus dibangun dengan pernyataan yang benar pula. Apabila ada pernyataan: “Benda padat (seperti besi, batu, dan kayu) memuai apabila kena panas”, kebenaran pernyataan itu harus benar-benar teruji. Dengan demikian, kesimpulan bahwa “semua benda padat memuai jika kena panas” betul-betul meyakinkan.

Menurut asy-Syatibi (w. 790 H/1388 M), ahli usul fikih Mazhab Maliki, prosedur ideal yang harus dilalui agar diperoleh pernyataan yang meyakinkan dan dapat ditarik kesimpulan yang valid harus memperhatikan sepuluh variabel (al-ihtimalat al-‘asyarah):

(1) pendapat yang berkenaan dengan kebahasaan, (2) pendapat yang berkaitan dengan gramatika (tata bahasa), (3) pendapat yang berkaitan dengan perubahan bentuk kata (tasrif), (4) redaksi yang dimaksud bukan kalimat bermakna ganda, (5) redaksi yang dimaksud bukan kata metaforis, (6) tidak mengandung pengalihan makna,

(7) penempatan sisipan (dhamir) yang tepat, (8) pendahuluan dan penutup yang tepat (taqdim wa ta’khir), (9) penelitian terhadap pembatalan (nasakh), dan (10) tidak mengandung penolakan yang logis.

Dikatakan oleh asy-Syatibi, jarang sekali bahkan boleh dikatakan tidak ada suatu pernyataan (ayat atau hadis) yang secara meyakinkan dinyatakan benar berdasarkan seluruh variabel tersebut di atas. Karena itu, para ahli usul fikih hanya mengambil kesimpulan dari dugaan yang cenderung ke arah kebenaran.

Sebagai contoh, cara dan tempat penerapan sepuluh variabel di atas dirumuskan oleh para ahli usul fikih dalam salah satu kaidah istinbath hukum dengan pernyataan: “Pada prinsipnya kalimat perintah yang terdapat dalam teks wahyu menunjukkan wajib”.

Kesimpulan ini didasarkan pada hasil penelitian istiqra’ terhadap satuan pernyataan berupa:

(1) pernyataan ayat dalam jumlah banyak yang menunjukkan bahwa Allah SWT mencela orang atau pihak yang tidak mengindahkan apa yang diperintahkan, seperti pada surah al-A‘raf (7) ayat 12;

(2) pernyataan ayat dalam jumlah banyak yang menunjukkan bahwa Allah SWT mengancam orang yang tidak melaksanakan perintah, seperti pada surah an-Nur (24) ayat 63;

(3) pernyataan Rasulullah SAW berupa perintah atau tindakan memberi contoh yang dipahami para sahabatnya sebagai suatu yang wajib dilaksanakan dan anggapan mereka dibenarkan Rasulullah SAW sendiri; dan

(4) pernyataan berupa riwayat kebahasaan menunjukkan bahwa fi‘l amr (kalimat perintah) menunjukkan wajib kecuali ada indikasi yang menunjukkan makna lain. Pernyataan tersebut di atas merupakan premis, dan itu harus diteliti dan dilihat dahulu dengan perspektif 10 variabel.

Menurut para ahli usul fikih, karena kebanyakan premis itu mengisyaratkan bahwa amr menunjukkan wajib, mereka menarik kesimpulan umum bahwa pada prinsipnya amr dipergunakan untuk wajibnya sesuatu yang diperintahkan. Kesimpulan umum ini dihasilkan oleh istiqra’ masyhur karena tidak semua premis menunjukkan karakteristik makna yang sama.

Contoh lain pada hukum fikih ‘amali adalah “salat lima waktu adalah wajib (hukumnya)”. Kesimpulan ini bukan hanya didasarkan pada satu penggalan ayat, karena itu belum cukup untuk menentukan suatu kesimpulan hukum. Hukum wajib salat didasarkan pada hasil penelitian istiqra’i:

(1) banyak ayat yang mengandung amr untuk melaksanakan salat;

(2) pujian kepada orang yang melaksanakan salat;

(3) celaan dan ancaman bagi yang meninggalkan salat;

(4) perintah kepada mukalaf untuk melaksanakan salat dalam keadaan apa pun, baik sehat atau sakit, di rumah atau di perjalanan, dalam keadaan damai atau perang, dengan cara berdiri atau jika dalam keadaan uzur boleh dengan duduk, berbaring atau isyarat; dan

(5) riwayat secara turun-temurun dari Nabi Muhammad SAW hingga kini yang menunjukkan bahwa umat Islam memelihara pelaksanaan salat.

Kebenaran pernyataan 1–5 tersebut sudah diuji melalui perspektif 10 variabel di atas. Ternyata kebanyakan presmis itu menunjukkan bahwa salat itu wajib (hukumnya). Oleh karena tidak semua premis secara persis menunjukkan kesamaan makna, kesimpulan itu ditarik berdasarkan istiqra’ masyhur.

Karena menyangkut persoalan agama, kesimpulan yang diperoleh dari istiqra’ naqis dengan mutu zanni harus meyakinkan. Karena itu, para ahli usul fikih memperkuatnya dengan ijmak umat. Bentuk yang paling nyata dari ijmak adalah tidak diketahui adanya bantahan terhadap suatu masalah, misalnya tidak ada bantahan dari umat Islam tentang wajibnya salat lima waktu.

Daftar Pustaka

Saliba, Jamil. al-Mu‘jam al-Falsafi. Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1401 H/1981 M.

Soekadijo. Logika Dasar: Tradisional, Simbolik, dan Induktif. Jakarta: Gramedia, 1985.

asy-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari‘ah. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, t.t.

az-Zuhaili, Wahbah. al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami. Damascus: Matba‘ah Dar al-Kitab, 1978.

Atjeng Achmad Kusaeri