Istinja’ secara kebahasaan berarti “menghilangkan kotoran yang keluar dari perut (buang air besar atau kecil)”. Dalam fikih, istinja berarti “menghilangkan najis dari tempat keluarnya yang mengotori tubuh manusia dengan air atau benda lain”. Kotoran dari tubuh yang harus dihilangkan bisa berbentuk tinja, air kencing, mazi (lendir dari kemaluan tatkala seseorang bergairah), dan wadi (lendir yang keluar setelah buang air kecil).
Ada perbedaan pendapat ulama tentang hukum menghilangkan najis tersebut. Kalangan Mazhab Hanafi mengatakan bahwa istinja tersebut dalam keadaan biasa (tidak keluar sesuatu pun dari kedua jalan pembuangan tersebut), adalah sunah mu’akkad (sunah yang dipentingkan).
Tetapi jika ada di antara benda yang disebutkan di atas keluar dari tubuh kita, istinja wajib dilakukan dengan air atau benda cair lainnya yang bersih. Adapun jumhur (mayoritas) ulama, selain Mazhab Hanafi, mengatakan bahwa istinja tersebut wajib pada setiap yang keluar dari dua jalur pembuangan manusia (seperti buang air kecil, mazi atau tinja) dan istinja dilakukan dengan air.
Istinja juga dapat dilakukan dengan batu atau benda keras/kesat lainnya. Ulama menyebut istilah ini dengan al-istijmar. Batu atau benda keras lainnya itu digunakan sebagai pengganti air. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang berarti:
“Jika seseorang dari kamu pergi ke kamar kecil, maka pembersihannya dapat dilakukan dengan tiga buah batu” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Daruqutni dari Aisyah RA).
Dalam hadis lain yang diriwayatkan Imam Muslim dikatakan: “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang kami untuk melakukan istinja, kecuali dengan tiga buah batu.”
Dalam istinja yang mempergunakan batu, kertas, dan benda keras lainnya yang bersih, ulama memberikan beberapa syarat, antara lain adalah:
(1) najis yang keluar itu belum kering, (2) ketika membersihkannya najis tidak melebar ke tempat (anggota badan) lain, (3) yang keluar adalah sesuatu yang biasa keluar dari dua jalan pembuangan, dan (4) benda yang dipergunakan untuk istinja tersebut tidak dikenai sesuatu yang membuatnya basah atau lembab.
Yang paling baik dalam beristinja adalah dengan mempergunakan kedua alat pembersih tersebut, yaitu air dan benda keras. Dengan demikian sisa yang mungkin tidak terbuang oleh air dapat dikikis dengan benda keras tersebut, kemudian barulah disiram dengan air.
Menurut Mazhab Maliki, kertas atau benda lainnya, seperti batu, tidak dapat digunakan untuk menghilangkan atau menghapus bekas darah haid, nifas, atau mani. Untuk membersihkan najis tersebut harus digunakan air.
Mengenai jumlah batu dalam penggunaan batu atau benda keras lainnya (apakah harus dilakukan dengan tiga buah batu atau cukup satu), di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat. Kalangan Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa mempergunakan batu atau benda keras lainnya sampai tiga buah hanya disunahkan saja.
Menurut prinsip mereka, jika dengan hanya satu buah batu najis telah dapat dihilangkan, tidak perlu lagi batu yang kedua dan ketiga. Yang penting adalah keyakinan akan kebersihan tempat yang dibersihkan dengan batu atau benda keras lainnya itu.
Pendapat mereka ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang berarti: “Siapa yang beristijmar (membersihkan najis yang melekat pada tempat pembuangan dengan batu dan benda keras lainnya), maka lakukanlah dengan hitungan ganjil. Siapa yang melakukan demikian itulah yang paling baik, dan jika tidak demikian maka juga tidak ada salahnya” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Baihaki, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).
Kalangan Mazhab Syafi‘i dan Hanbali mengatakan bahwa penggunaan tiga buah batu atau benda keras lainnya adalah wajib. Bahkan jika najis itu belum juga terbuang maka batu yang dipakai wajib 4, 5, dan seterusnya sampai najis yang melekat tersebut hilang.
Alasan mereka adalah sabda Rasulullah SAW yang mengatakan, “Rasul melarang kami melakukan istinja kurang dari tiga buah batu” (HR. Muslim dari Salman).
Jika istinja tersebut dilakukan dengan air, kadar air dan bilangannya diserahkan sepenuhnya kepada yang melakukan istinja tersebut, dengan prinsip bahwa ia yakin telah bersih dari najis tersebut. Keyakinan itu diketahui melalui apakah bau busuk najis itu telah hilang atau belum.
Berkaitan dengan hal istinja ini dikatakan bahwa jika yang keluar dari tubuh manusia adalah angin (kentut), yang bersangkutan tidak diwajibkan istinja. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan at-Tabrani dari Zaid bin Aslam yang berarti:
“Siapa yang beristinja dari buang angin bukanlah termasuk dari (cara) kami.”
Alasan tidak adanya kewajiban melakukan istinja ketika angin keluar dari dubur adalah karena pada dasarnya istinja dilakukan dalam rangka menghilangkan atau menanggalkan najis yang melekat pada tubuh, khususnya pada dua jalan pembuangan.
Adapun pada orang yang buang angin tidak terdapat bekas najis yang menempel di tempat keluarnya. Oleh sebab itu tidak perlu dilakukan istinja. Jika ingin menunaikan salat, seseorang cukup melakukan wudu saja, tanpa istinja.
Namun kalangan Mazhab Hanbali dan satu pendapat di kalangan Mazhab Syafi‘i mengatakan bahwa istinja disunahkan bagi mereka yang baru mengeluarkan angin dari duburnya.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. Nazariyyah al-‘Aqd fi al-Islam. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1978.
Badawi, Abdurrahman. Madzahib al-Islamiyyin. Beirut: Darul Ilmi li al-Malayin, t.t.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
al-Maqdusi, Ibnu Qudamah. al-Mugni. Cairo: al-Manar, t.t.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
az-Zarqa, Ahmad Mustafa. Madkhal ila al-Fiqh al-‘Amm: al-Fiqh al-Islami fi tsaubihi al-Jadid. Beirut: Dar al Fikr, 1967.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al‑Fikr, 1989.
Nasrun Haroen