Secara kebahasaan, istinbath berarti “mengeluarkan atau menarik”. Dalam terminologi fikih, istinbath berarti “upaya mengeluarkan (menetapkan kesimpulan) hukum dari dalil (nas)”. Untuk ini perlu usaha sungguh-sungguh. Istinbat juga diartikan sebagai “ijtihad”, yang berarti “mengerahkan segenap upaya secara sungguhsungguh untuk mengeluarkan atau menetapkan kesimpulan hukum dari dalilnya”.
Orang yang melakukan istinbath disebut mujtahid mustanbith, yakni orang yang berijtihad untuk menetapkan kesimpulan hukum dari dalilnya (Al-Qur’an dan hadis). Ada juga mujtahid muthabbiq, yaitu orang yang melakukan ijtihad (upaya) untuk menerapkan hukum hasil istinbath.
Karena untuk dapat melakukan istinbath seseorang harus mengerti dan memahami ilmu usul fikih, istinbath juga berarti “proses dan upaya mengambil hukum dari dalil tertentu dengan menggunakan metodologi istinbath yang telah dirumuskan dalam ilmu usul fikih”.
Orang yang melakukan istinbath harus memenuhi syarat sebagai berikut:
(1) mengetahui hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an (al-Ghazali menyebutnya ayat ahkam atau hukum);
(2) mengetahui hukum yang terkandung dalam sunah (hadis ahkam);
(3) mengetahui mazhab mujtahid yang telah lalu dan metode istinbathnya;
(4) mengetahui hakikat kias dan rukun serta syaratnya; dan
(5) bersikap adil dan memiliki akhlak serta kepribadian yang baik.
Dengan memperhatikan kriteria mujtahid mustanbith yang begitu ketat, ada sebagian ulama, seperti Muhammad Abu Zahrah (ahli fikih dan usul fikih) dan Yusuf Qardawi (ahli fikih), yang mengelompokkan mujtahid pada mujtahid mustaqill (mandiri), mujtahid madzhab, dan mujtahid murajjih (yang menguatkan suatu hukum).
Dari segi jumlah pelaku istinbath, mujtahid dikelompokkan menjadi mujtahid fardi (perseorangan) dan mujtahid jama‘i (kolektif).
Dalam metode istinbath yang telah dikembangkan para ahli usul masih terdapat perbedaan pendapat di antara mereka dalam memberikan penekanan dan kekuatannya sebagai metode istinbath. Metode tersebut adalah kias, istihsan, istislah, dan istishab.
Kias (analogi) adalah menyamakan suatu masalah atau kejadian yang tidak ada nasnya dengan masalah yang sudah ada nas hukumnya, karena ada persamaan ilat (sebab) antara kedua masalah tersebut.
Ada empat hal yang harus dipenuhi dalam kias, yaitu :
(1) kejadian dalam nas yang diambil sebagai tempat analogi,
(2) kejadian baru yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam nas (yang dianalogikan),
(3) hukum asal yang dijelaskan secara konkret dalam nas, dan
(4) ilat hukum, yaitu sesuatu yang dimaksud Syari‘ (pembuat hukum syariat, yakni Allah SWT) dalam menghukumi suatu kejadian. Kehujahan kias sebagai metode istinbath hukum diterima oleh jumhur (sebagian besar) ulama.
Istihsan adalah berpindah dari qiyas jali (jelas) ke qiyas khafi (samar). Pendapat lain menyebut istihsan sebagai memilih satu dari dua dalil yang lebih kuat. Perpindahan tadi disebabkan beberapa hal, yakni kepentingan pengecualian hukum,‘urf (kesepakatan, adat istiadat), dan maslahat atau karena untuk menghindarkan kesulitan (raf‘ al-haraj).
Tentang kegunaan istihsan sebagai metode istinbath hukum, ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi menggunakannya sebagai dalil syar‘i (yang berdasarkan syarak). Ini diambil secara induktif dari sejumlah dalil, bukan karena tuntutan keinginan dan nafsu.
Menurut ulama Mazhab Syafi‘i, orang yang beristinbath dengan istihsan berarti membuat syariat sendiri. Hal itu dianggap sebagai perbuatan yang didasarkan pada keinginan dan hawa nafsu.
Istislah atau al-maslahah al-mursalah yaitu maslahat yang tidak jelas-jelas dinyatakan nas, baik sahnya atau batalnya, tetapi jenisnya sesuai dengan tindakan syarak (hukum Islam). Karena itu menurut ulama Mazhab Maliki, kehujahannya bersifat qath‘i (pasti).
Begitu juga menurut asy-Syatibi (ahli usul fikih) dan al-Ghazali. Selain itu ada maslahah mu‘tabarah yang jelas ada ketentuannya dalam nas, dan ada juga maslahah mulgah yang bertentangan dengan ketentuan nas.
Istishab adalah membiarkan berlangsungnya suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa yang lampau dan masih diperlukan ketentuannya sampai sekarang (di saat hukum itu dibutuhkan). Misalnya sabda Rasulullah SAW dari Anas bin Malik:
“Jihad itu telah ada sejak aku diutus dan tidak berakhir…” (HR. Abu Dawud).
Nas tersebut menunjukkan adanya kewajiban melakukan jihad sampai hari kiamat. Ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Hanbali menganggap Istishab sebagai metode istinbath hukum syar‘i.
Menurut asy-Syatibi, pada dasarnya metode istinbath adalah hukum yang diambil secara induktif. Meskipun tidak ada ketentuan tertentu dalam nas, kekuatannya sebagai dalil bersifat qath‘i.
Walaupun demikian penerapannya bersifat zanni (tidak pasti; lawan qath‘i). Karena itu dalam penerapan hukum dikenal istilah nazariyat i‘tibar al-maal (teori penerapan hukum yang melihat pada dampaknya), seperti hilah (menghindari hukum yang lebih berat menuju hukum yang lebih ringan) dan sadd adz-dzari‘ah (menghindari jalan yang akan membawa pada mafsadat atau kerusakan).
Daftar Pustaka
Bek, Muhammad Khudari. Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Hasan, Husain Hamid. Nazariyyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami. Cairo: Dar an-Nahdah al-‘Arabiyah, 1971.
Khalaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
_________. Masadir at-Tasyri‘ al-Islami Fima la Nassa Fih. Kuwait: Dar al-Qalam, 1973.
ar-Rabi’ah, Abdul Aziz bin Abdur Rahman bin Ali. Adillah at-Tasyri‘ al-Mukhtalaf fi al-Ihtijaji Biha. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1982.
asy-Syafi‘i, Abi Abdillah Muhammad bin Idris. ar-Risalah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
asy-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari‘ah. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1975.
Ahmad Rofiq