Secara kebahasaan, al-istihsan berarti “menganggap atau meyakini bahwa sesuatu itu baik”. Secara terminologis, al-istihsan berarti “meninggalkan qiyas jali (analogi jelas) dan mengamalkan qiyas khafi (analogi samar) atau meninggalkan hukum umum (kulli) dan mengamalkan hukum khusus (juz’i) karena ada dalil yang lebih kuat dalam mewujudkan tujuan hukum”.
Di kalangan ulama Mazhab Maliki ada beberapa pendapat tentang arti istihsan. Ibnu Arabi mengatakan bahwa istihsan adalah mengamalkan dalil yang terkuat dari dua dalil, yaitu suatu pengecualian atau dispensasi (rukhsah) hukum karena ada alasan sebagai berikut:
(1) kebiasaan (‘urf), (2) kesepakatan ulama (ijmak), (3) menghindarkan hukum yang memberatkan dan mengambil yang memberi kelapangan, dan (4) ada maslahat yang tidak ada ketentuannya dalam syarak (hukum Islam) tapi sejalan dengan tindakan syarak (al-maslahah al-mursalah).
Ibnu Rusyd menjelaskan, apabila mengamalkan kias akan mendatangkan kesempitan (kesulitan), perlu dilakukan istihsan. Menurut Imam asy-Syatibi (ahli usul fikih), istihsan adalah mengamalkan maslahat juz’i (khusus) ketika berhadapan dengan qiyas kulli, karena ada pengaruh yang lebih besar dalam mewujudkan tujuan hukum.
Menurut Mazhab Maliki, istihsan adalah salah satu metode istinbath (menyimpulkan) hukum yang diakui, diambil secara induktif (istiqra’i) dari sejumlah dalil secara keseluruhan (jumlah). Dengan demikian orang yang menggunakan istihsan tidak berarti hanya menggunakan perasaan dan keinginan subjektif, tetapi mendasarkannya pada tujuan (maqasid) syarak.
Bila kias yang diamalkan, maka tujuan syarak dalam menurunkan hukum tidak akan tercapai, misalnya salat kasar bagi musafir dan membuka aurat untuk pengobatan dalam mencari penyembuhan penyakit. Salat kasar tidak boleh dikerjakan karena akan menimbulkan masyaqqah (kesulitan).
Kemudian, apabila aurat tidak boleh dibuka untuk keperluan pengobatan, upaya penyembuhan tidak bisa dilakukan, dan ini berarti menimbulkan kesulitan.
Imam Hanafi tercatat paling banyak menggunakan istihsan dalam beberapa fatwanya. Meskipun Imam Hanafi tidak merumuskan sendiri pengertian istihsan sebagai dalil istinbath hukum, para muridnya menegaskan bahwa pengamalan istihsan adalah mengamalkan dalil syar‘i (yang berdasarkan syarak), bukan berdasarkan hawa nafsu dan subjektivitas, sebagaimana ulama lain menuduh Imam Hanafi telah meninggalkan nas dan menyia-nyiakan dalil.
Menurut ulama Mazhab Hanafi, dalam istihsan ada dua kias: (1) qiyas jali (kias yang jelas) tetapi pengaruhnya lemah, dan (2) qiyas khafi (kias yang samar) tetapi pengaruhnya lebih besar (kuat) dalam mewujudkan tujuan hukum. Yang kedua inilah yang diamalkan.
Dalam kitab al-Mabsuth (Yang Meluas/Melebar) karangan Imam as-Sarakhsi (ahli usul fikih) dijelaskan bahwa istihsan pada prakteknya adalah meninggalkan kias dan mengamalkan kias yang lebih cocok bagi manusia untuk mencari kemudahan dalam penerapan hukum, karena pada dasarnya agama adalah mendatangkan kemudahan, bukan kesulitan.
Dalil yang digunakan adalah firman Allah SWT yang berarti: “…Allah menghendaki kemudahan bagimu sekalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS.2:185) dan sabda Nabi SAW: “Sebaik-baik agamamu adalah yang mudah” (HR. Imam Ahmad).
Imam Sa’aduddin at-Taftazani (ahli usul fikih) dalam Syarah at-Taudih (buku yang berisi ulasan terhadap kitab at-Taudih) menjelaskan bahwa istihsan adalah dalil yang telah disepakati, terjadi ketika berhadapan dengan qiyas jali dan mengamalkan qiyas khafi yang lebih kuat pengaruhnya, adakalanya dengan atsar (hadis), ijmak, dan darurat.
Jadi, istihsan adalah meninggalkan qiyas jali dan mengamalkan qiyas khafi karena memang ada dalil syarak yang mengharuskannya. Dalam hadis riwayat Imam Ahmad dari Ibnu Mas’ud dikatakan: “Apa yang menurut kaum muslim baik, adalah baik menurut Allah.”
Mazhab Hanafi membagi istihsan atas empat jenis.
(1) Istihsan dengan nas. Contohnya, hadis tentang sahnya puasa akibat makan dan minum karena lupa. Jika kias diterapkan dalam hal ini, puasa menjadi batal karena ada sesuatu yang masuk ke dalam perut. Istihsan ini didasarkan pada nas hadis yang berarti: “Berpuasalah atas puasamu, karena sesungguhnya Allah-lah yang memberi makan dan minum kepadamu” (HR. Ahmad).
(2) Istihsan atas dasar ijmak. Contohnya, mandi di kamar mandi umum yang disewakan tanpa ada tarif tertentu dan juga tidak ada ketentuan berapa lama di dalamnya. Karena ini termasuk transaksi sewa, seharusnya ada ketentuan yang jelas. Tetapi berdasarkan kebiasaan yang disepakati, ketentuan yang jelas tadi tidak perlu ada.
(3) Istihsan karena keadaan darurat atau karena ada pertentangan antara dua kias. Contohnya, Allah SWT mengharamkan bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan nama selain Allah SWT. Apabila hukum ini diterapkan pada seseorang yang dalam keadaan darurat, akan datang bahaya yang lebih besar, yaitu kematian. Untuk menghindarkan kematian, ia dibenarkan memakan makanan yang diharamkan dalam ayat tersebut.
(4) Istihsan dengan qiyas khafi. Contohnya, seorang penjual dan pembeli bertengkar mengenai harga barang yang belum diterima si pembeli. Pembeli merasa bahwa harganya telah ditentukan, misalnya Rp90.000,00.
Si penjual menuntut tambahan harga hingga menjadi Rp100.000,00 sebab ia merasa belum menentukan harga Rp90.000,00. Karena kedua pihak sama-sama menuntut, menurut qiyas jali si penjual harus mengemukakan bukti (bayyinah) bahwa ia tidak menentukan harga Rp90.000,00 dan pembeli mengucapkan sumpah untuk menerima barang dengan harga Rp90.000,00.
Tetapi jika si penjual tidak bisa membuktikan dan tidak bisa menahan barangnya karena si pembeli dengan sumpahnya merasa yakin bahwa harga sebesar Rp90.000,00 itu telah ditentukan, maka menurut qiyas khafi, si penjual juga mengucapkan sumpah.
Menurut ulama Mazhab Hanbali, antara lain Imam at-Tufi, istihsan adalah meninggalkan hukum suatu masalah pada hukum lain karena ada dalil syarak tertentu. Ibnu Qudamah (ahli hukum Islam) menjelaskan bahwa istihsan mempunyai tiga arti, yaitu:
(1) meninggalkan hukum suatu masalah secara teoretis karena ada dalil tertentu dari Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW, (2) apa yang dianggap baik menurut akal oleh seorang mujtahid (ahli ijtihad), dan (3) meninggalkan dalil yang dipandang cacat oleh seorang mujtahid dan mengambil dalil lain yang lebih tepat.
Dengan demikian istihsan adalah dalil atau metode istinbath yang disepakati ulama Mazhab Maliki, Hanafi, dan Hanbali, yang diambil secara induktif (istiqra’i) dari sejumlah dalil syarak dengan tidak mendasarkannya pada keinginan dan subjektivitas.
Imam Syafi‘i menolak menggunakan istihsan sebagai metode istinbath hukum karena berarti membuat syarak dengan tidak mendasarkannya pada nas dan tidak pula pada kias dan ijmak.
Menurut Imam Syafi‘i, melakukan ijtihad terhadap suatu masalah hukum tidak dapat dilakukan kecuali ada dalilnya, dan dalil itu adalah kias. Imam Syafi‘i tercatat banyak menggunakan metode kias (analogi) dengan prinsip ‘ain qa’imah atau, prinsip tasybih ‘ain qa’imah (nilai yang menjadi sandaran analogi).
Karena itu, istihsan menurut Imam Syafi‘i adalah membuat hukum dengan dasar kesenangan (taladzdzudz) dan mengada-ada (ta’assuf) menurut keinginan hawa nafsu.
Dalil yang dikemukakan Imam Syafi‘i, baik dalam kitab ar-Risalah maupun al-’Umm, adalah sebagai berikut:
(1) Firman Allah SWT dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 3 yang berarti:
“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu menjadi agama bagimu”
dan surah al-Qiyamah (75) ayat 36 yang berarti:
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS.75:36). Dalil lainnya adalah firman Allah SWT dalam surah an-Nahl (16) ayat 44 dan 89 serta surah al-An‘am (6) ayat 38.
(2) Sabda Nabi SAW yang berarti: “Aku tidak meninggalkan sesuatu pun dari sesuatu yang Allah memerintahkannya kecuali aku telah memerintahkannya (dan juga tidak meninggalkan) sesuatu yang Allah melarangnya kecuali aku telah melarangnya” (HR. Ahmad).
(3) Allah SWT memerintahkan kepada Nabi SAW untuk mengikuti wahyu yang diberikan-Nya. Selain itu Allah SWT melarang menentukan hukum berdasarkan hawa nafsu (QS.5:49, QS.42:15, QS.38:26, dan QS.4:134).
(4) Nabi SAW dalam menentukan hukum tidak mendasarkannya pada tuntutan hawa nafsu dan tidak melewatkan sesuatu dari urusan agama, tetapi mengikuti wahyu Allah SWT. Kalau tidak ada wahyu, Nabi SAW menunggu.
Dengan demikian Rasulullah SAW pun tidak diperkenankan menentukan hukum kecuali mengikuti kabar (hadis) atau kias. Karena itu yang utama bagi orang selain Nabi SAW adalah tidak menentukan hukum agama kecuali terdapat dalam kabar, dan menggunakan kias jika tidak ada kabar.
(5) Apabila diterima pendapat atau ijtihad seorang mujtahid tentang syarak tanpa berdasar pada nas Al-Qur’an, sunah (hadis), ijmak, dan kias, maka orang yang mempunyai kemampuan akal yang tinggi pun boleh juga melakukan istihsan. Padahal bisa terjadi ia tidak mempunyai pengetahuan tentang syariat.
Sementara itu ijmak ulama secara tegas menyatakan bahwa ijtihad tidak boleh dilakukan kecuali oleh orang yang memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an, sunah, ijmak, dan kias.
(6) Jika seorang hakim boleh memutuskan hukum berdasarkan istihsan, maka hal ini tentu boleh juga dilakukan oleh hakim lain. Akibatnya, akan lahir keputusan hukum yang berbeda dalam satu kasus hukum yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Husain Hamid. Nazariyyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami. Beirut: Dar an-Nahdah, 1971.
Khalaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
_________. Masadir at-Tasyri‘ al-Islami Fima la Nassa Fih. Kuwait: Dar al-Qalam, 1973.
ar-Rabi’ah, Abdul Aziz bin Abdur Rahman bin Ali. Adillah at-Tasyri‘ al-Mukhtalaf fi al-Ihtijaji Biha. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1982.
asy-Syafi‘i, Abi Abdillah Muhammad bin Idris. ar-Risalah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
_________. al-’Umm. Beirut: Dar al-Fikr, 1973.
asy-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari‘ah. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1975.
Ahmad Rofiq