Darah yang keluar dari rahim perempuan di luar waktu haid dan nifas disebut istihadah. Darah di luar waktu haid termasuk darah yang keluar melebihi batas maksimal masa haid atau kurang dari batas minimal masa haid atau bahkan yang keluar sebelum masa haid.
Untuk dapat mengetahui apakah darah yang keluar itu darah istihadah atau bukan, seseorang perlu mengetahui hari-hari kebiasaan haid itu datang, dan berapa hari yang lazim, maksimal dan minimalnya. Selain itu juga perlu diketahui warna darah yang keluar, terutama bagi yang pertama kali mengeluarkannya (mubtadi’ah).
Demikian ulama Mazhab Syafi‘i menegaskan. Jika darah yang keluar itu kental dan berwarna kehitaman, itu adalah darah haid. Jika darah itu berwarna agak kekuning-kuningan dan kotor, itu adalah darah istihadah.
Hadis riwayat Abu Dawud dari Fatimah binti Hubaisy yang mengalami haid menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda kepadanya yang berarti: “Sesungguhnya darah haid itu adalah hitam yang dapat dikenali, apabila darah itu demikian maka diamlah (berhentilah) kamu untuk salat. Apabila ternyata lain, maka berwudulah dan salatlah karena sesungguhnya itu adalah peluh (keringat).”
Hadis ini sahih menurut Abu Muhammad bin Hazm. Sementara itu, menurut Abi Yahya Zakariya al-Ansari dalam kitab Fath al-Wahhab yang dimaksud istihadah adalah darah penyakit yang keluar dari mulut (lubang) di bawah rahim, baik sesudah haid maupun sebelum haid.
Haid sudah mulai pada gadis berusia 7 atau 9 tahun. Maka istihadah dapat terjadi pada usia sebelum 7 atau 9 tahun. Bagi setiap gadis, haid ini bervariasi. Karena itu, jika tidak bisa di identifikasi apakah darah yang keluar itu haid atau istihadah, sebaiknya diperiksa secara medis.
Tentang lamanya masa haid, ulama berbeda pendapat. Imam Malik dan Imam Syafi‘i mengatakan paling lama 15 hari, sedangkan Abu Hanifah (Imam Hanafi) 10 hari. Masa paling singkat masa haid tidak diberi batasan oleh Imam Malik; Imam Syafi‘i menyatakan 1 hari 1 malam dan Abu Hanifah menyebutkan 3 hari.
Oleh karena itu, untuk menentukan apakah darah itu istihadah, perlu juga dipertimbangkan pendapat yang diikuti. Menurut Imam Malik dan Imam Syafi‘i, darah yang keluar setelah 15 hari baru dapat disebut istihadah. Menurut Abu Hanifah, darah yang keluar pada hari ke-11 sudah termasuk istihadah.
Darah yang keluar di bawah batas minimal haid bagi perempuan yang siklus haidnya tidak teratur dapat dikenali melalui warnanya. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid menjelaskan, apabila melihat darah yang keluar, pemula hendaknya meninggalkan salat sampai 15 hari.
Tetapi apabila darah yang keluar tidak berhenti, hendaklah ia salat, karena itu adalah darah istihadah. Imam Syafi‘i sependapat dengan ini. Imam Malik berpendapat, ia boleh salat jika yakin bahwa yang keluar itu darah istihadah. Ibnu Rusyd lebih jauh menganjurkan pemeriksaan medis.
Status hukum orang yang mengalami istihadah sama dengan orang yang suci dalam hal menjalankan kewajiban agama. Artinya, hal yang diharamkan bagi orang yang haid dan nifas dihalalkan bagi yang istihadah, seperti salat, puasa, dan membaca Al-Qur’an.
Ulama sepakat (ijmak) bahwa orang yang mengeluarkan darah setelah batas maksimal masa haid adalah istihadah dan status hukumnya sama dengan orang yang suci. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW kepada Fatimah binti Hubaisy yang berarti: “Apabila haid berlangsung, tinggalkanlah salat dan apabila masa telah berlalu, bersihkanlah (cucilah) darah itu darimu dan salatlah” (HR. al-Bukhari, an-Nasa’i, dan Abu Dawud).
Hadis lain menyebutkan, pada masa Rasulullah SAW ada seorang perempuan mengeluarkan darah, lalu Ummu Salamah RA meminta fatwa kepada Rasulullah SAW dan beliau bersabda yang berarti: “Perhatikan hitungan hari-hari di mana mereka mengalami haid selama satu bulan sebelum mengalami seperti yang ia alami (sekarang).
Maka tinggalkanlah salat sebatas waktu (seperti yang mereka alami) pada bulan itu. Apabila ternyata berbeda maka hendaknya mandi dan tutuplah dengan pakaian dan salatlah” (HR. al-Bukhari, an-Nasa’i, dan Abu Dawud).
Hadis tersebut menjelaskan bahwa haid yang meragukan karena telah melampaui batas waktu yang lazim dipandang sebagai istihadah dan si wanita dianggap sebagai orang yang suci.
Adapun tentang pelaksanaan bersuci terdapat perbedaan pendapat. Imam Malik, Imam Syafi‘i, Abu Hanifah, dan sahabat mewajibkan wudu untuk setiap kali salat. Tetapi pada pendapatnya yang lain, Imam Malik memandang wudu sebagai sunah (mustahabb) saja.
Ada yang berpendapat satu kali bersuci untuk dua salat, misalnya mengakhirkan salat zuhur untuk sekalian asar pada awal waktu, begitu juga magrib dan isya. Ada yang mengatakan cukup bersuci satu kali untuk waktu sehari semalam.
Masing-masing pendapat tersebut didasarkan pada hadis berikut:
(1) Hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Aisyah binti Abu Bakar yang menyatakan bahwa Fatimah binti Hubaisy menghadap dan bertanya kepada Rasulullah SAW yang berarti:
“Wahai Rasulullah, sungguh aku perempuan yang sedang istihadah, aku tidak bersuci, apakah aku tinggalkan salat?” Kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya, “Jangan, sesungguhnya yang demikian itu peluh, bukan haid, maka jika sedang berlangsung haid tinggalkanlah salat dan apabila telah lewat (berlalu) mandilah (bersihkanlah) darimu darah dan salatlah.”
(2) Hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dari Asma binti Umais dan disahihkan Ibnu Hazm yang berarti:
“Ya Rasulullah, sesungguhnya Fatimah binti Hubaisy sedang haid”. Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah bersihkan (mandi) waktu zuhur dan asar dengan sekali mandi, untuk magrib dan isya juga satu kali mandi dan mandilah untuk fajar dan berwudu di antara yang demikian.”
(3) Hadis yang terdapat dalam Sahih al-Bukhari dari Hamnah binti Jahsy yang berarti:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW memilihkannya antara salat lima waktu dengan satu kali suci ketika kamu melihat darah haid sudah berhenti atau mandi sebanyak tiga kali sehari semalam.”
Tentang status suci orang yang istihadah, Aisyah meriwayatkan bahwa istri Nabi SAW (Umm al-Mukminin) tetap beriktikaf (diam beberapa waktu dalam masjid) ketika mereka beristihadah.
Mengenai hubungan suami istri bagi perempuan istihadah ada tiga pendapat:
(1) fukaha (ahli fikih) Mesir membolehkannya, demikian riwayat dari Ibnu Abbas, Sa‘id bin Musayyab, dan sekelompok tabiin;
(2) hadis riwayat Aisyah, an-Nakha’i, dan al-Hakam tidak membolehkannya; dan
(3) Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) tidak membolehkannya kecuali jika masanya terlalu lama.
Selanjutnya Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perbedaan pendapat tersebut mengambil argumentasi analogis pada apakah kebolehan salat bagi mereka yang istihadah sebagai rukhsah karena status wajibnya salat atau karena status istihadah sebagai status orang suci.
Yang memandang salat sebagai rukhsah tidak boleh menggauli istri yang istihadah dan yang memandang status istihadah sebagai orang suci boleh menggauli istrinya. Perbedaan pendapat tentang terlalu lama atau tidak merupakan persoalan istihsan.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Zainuddin Abil. at-Tajrid as-sarih li al-hadits al-Jami‘ as-Sahih. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.
al-Ansari, Abi Yahya Zakariya. Fath al-Wahhab bi Syarhi Manhaj ath-tullab. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Dawud, Abu. Sunan Abi Dawud. Cairo: Maktabah al-Babi al-Halabi, 1952.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
asy-Syafi‘i, Abi Abdillah Muhammad bin Idris. al-’Umm. Beirut: Dar al-Fikr, 1973.
Ahmad Rofiq