Istanbul adalah sebuah kota pelabuhan terbesar di Turki. Istanbul pernah menjadi ibukota Kekaisaran Byzantium (hingga 1453) dan Kerajaan Usmani (hingga 1923). Penduduknya berjumlah sekitar 9.291.000 (2002). Letak geografisnya unik karena terletak di Eropa, sementara wilayah utama Turki di Asia. Keduanya dihubungkan dengan jembatan di Selat Bosporus.
Istanbul bermula dari sebuah kota bernama Bizantium yang dibangun oleh bangsa Yunani kira-kira pada abad ke-7 SM. Pada tahun 330, kota itu dijadikan ibukota Kekaisaran Romawi oleh Kaisar Constantine Agung, dan dinamai Constantinopel (kota Constantine). Setelah pecah Kekaisaran Romawi pada tahun 395, kota itu menjadi ibukota Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium), sedangkan ibukota Kekaisaran Romawi Barat adalah Roma.
Constantinopel dibangun di daratan Eropa dan dipisahkan dari Asia Kecil oleh Selat Bosporus. Tetapi sejarah dan kebudayaannya berjalin erat dengan Asia. Kota yang dilindungi oleh Laut Marmara di sebelah selatan dan benteng Golden Horn di bagian utara ini terkenal kaya dengan bangunan bersejarah, antara lain sejumlah museum penting dan gereja peninggalan Kekaisaran Bizantium, yaitu gereja Aya Sofia yang didirikan pada tahun 537 pada masa Kaisar Yustinianus (517–565).
Kebesaran Romawi Timur selalu dipertahankan oleh generasi berikutnya dan Constantinopel dijadikan pusat kebudayaan serta peradaban. Sekalipun kekuasaan atas kota ini sudah berpindah ke Kerajaan Usmani (Ottoman), kebudayaannya tetap dilestarikan sampai kini.
Sukses besar Usmani untuk menguasai Constantinopel pada tahun 1453 adalah puncak dari perjuangan daulat Islam untuk menaklukkan Persia dan Romawi sejak zaman Rasulullah SAW. Tindakan itu dilakukan dalam rangka menangkis rongrongan yang senantiasa datang dari negara adikuasa Bizantium dan Persia. Daerah kekuasaan Bizantium satu demi satu jatuh ke tangan pasukan muslimin, mulai dari daerah Syam (Suriah), Libanon, Yordania, Palestina, sampai ke Mesir.
Usaha penaklukan Constantinopel sebenarnya telah dirintis oleh kaum muslimin sejak tahun 44 H/664 M di bawah pimpinan Busr bin Abi Artat, panglima Dinasti Umayah pada masa Mu‘awiyah bin Abu Sufyan. Kemudian Yazid bin Mu‘awiyah, putra pendiri Dinasti Umayah, mengadakan pengepungan terhadap kota itu pada tahun 51 H/672 M.
Usaha itu disusul empat kali pengepungan oleh pasukan muslim, tetapi tidak berhasil. Bahkan Bayazid I, sultan Usmani yang bergelar Yildirim (Penerangan), juga mengalami kegagalan. Kota itu baru berhasil ditaklukkan tahun 1453 pada masa Sultan Muhammad II (1451–1481), dan atas keberhasilannya ia diberi gelar al-Fatih (Sang Penakluk).
Strategi yang diterapkannya adalah mengikat perjanjian damai dengan para amir dan raja Maghyar, Bosnia, dan Venetia, serta mendirikan benteng raksasa di pinggir Selat Bosporus (selesai 856 H/Agustus 1452 M).
Berkat pembinaan masyarakat muslim di wilayah baru, lahirlah kekuatan baru untuk perluasan wilayah Islam. Salah satu hal yang mendukung keadaan ini adalah para penguasa Islam membiarkan orang pribumi mengurus pemerintahannya sendiri. Bahkan banyak sekali bekas budak diberi kepercayaan memegang komando atas pasukan Arab dan banyak pula di antara mereka yang diangkat menjadi panglima dalam berbagai penyerangan.
Jatuhnya Constantinopel ke tangan pasukan muslimin membuktikan bahwa kekuatan Usmani yang pada waktu itu beribukota Adrianopel (kini Edirne) benar-benar tangguh di bidang strategi, teknologi perang, kepemimpinan militer dengan 130.000 prajurit, dan persenjataan yang melebihi kekuatan bangsa lain pada zamannya, antara lain senjata meriam dan kapal perang yang berkekuatan 120 buah untuk melakukan pengepungan di laut.
Keberhasilan penaklukan Constantinopel juga didukung situasi yang sedang bergolak di Kekaisaran Bizantium, yang ditandai perselisihan paham antara Gereja Katolik Roma di bawah pimpinan Paus di Roma dan Gereja Ortodoks yang berpusat di Constantinopel.
Dengan menduduki Constantinopel, Kerajaan Usmani antara lain menegakkan langkah politik sebagai berikut: menegakkan kembali tertib hukum di kota itu; mewujudkan kerjasama dengan umat Kristen; menggiatkan bidang ekonomi; menetapkan persahabatan antara orang Yunani dan Turki yang sering berselisih paham; memperluas wilayah ke arah Timur dengan mengepung Suriah, Mesir, dan Arabia; serta membuka jalan ke daerah Balkan.
Dengan mudah pasukan Usmani juga memasuki pulau di sekitar Laut Aegea dan menggabungkannya ke dalam wilayah kekuasaannya, kemudian melangkah ke daerah Otranto, Italia, pada tahun 1480.
Akibat runtuhnya Constantinopel, persaingan Usmani dengan Venetia mengenai supremasi di Laut Tengah juga meruncing. Di samping itu, ketika Constantinopel dikepung, banyak ilmuwan Yunani yang pindah ke Italia (Eropa Barat) dengan membawa buku berharga. Di sana mereka menjadi pengajar di universitas dan sekolah, sehingga ilmu pengetahuan, literatur, dan seni Yunani tersebar di seluruh Eropa dan mulailah periode kebangkitan yang dikenal dengan Renaisans.
Setelah direbut, Constantinopel dijadikan ibukota Kerajaan Usmani, tetapi namanya diubah menjadi Istanbul, yang berarti “kota Islam”. Dalam perkembangan selanjutnya Istanbul diwarnai dengan banyaknya masjid yang didirikan.
Namun, corak ‘Bizantium’ tetap meninggalkan pengaruh dalam seni bangun Islam di negeri Turki, terutama karena pengaruh keindahan gedung dan istana Bizantium. Misalnya, bentuk gereja Aya Sofia yang luar biasa indahnya kemudian dijadikan contoh untuk masjid yang didirikan di Istanbul dan sekitarnya, dengan mengadakan penyesuaian dengan keadaan sebuah masjid.
Pembangunan kota Istanbul dilanjutkan oleh sultan sesudah Sultan Muhammad II. Misalnya, pada masa Sultan Sulaiman I (1520–1566), di kota ini didirikan Masjid Sulaiman pada tahun 1550. Masjid itu dilengkapi dengan 4 menara, lebih tinggi dari kubah Masjid Aya Sofia.
Didirikan juga 81 masjid besar, 52 masjid, 55 madrasah, 7 asrama besar untuk mempelajari Al-Qur’an, 5 takiyah (tempat memberi makan fakir miskin), 3 rumah sakit, 7 surau untuk tempat mempelajari baca tulis Al-Qur’an, 7 jembatan untuk mempermudah lalu lintas, 33 istana, 18 pesanggrahan, 5 museum, dan 33 tempat mandi umum.
Pada tahun 1727, pada masa Ibrahim Mutafarrik (seorang ilmuwan, hidup tahun 1674–1744) dibuka percetakan. Usaha ini didukung oleh fatwa dari syaikhul Islam kerajaan, yang membolehkan pencetakan buku selain Al-Qur’an, hadis, fikih, ilmu kalam, dan tafsir. Maka sejak itu, dicetak buku tentang kedokteran, astronomi, ilmu pasti, sejarah, dan sebagainya.
Kondisi seperti ini didukung oleh adanya suatu badan penerjemah yang dibentuk sejak tahun 1717, dengan anggota sebanyak 25 orang.
Sejak dijadikan ibukota pemerintahan Usmani, Istanbul menjadi Dar al-Khilafah (wilayah kekuasaan khalifah), karena kedudukan khalifah menjadi warisan Kerajaan Usmani yang tidak kurang dari 36 sultan, semuanya keturunan langsung Sultan Usman I. Para sultan tersebut memerintah sampai status kesultanan dihapuskan pada tahun 1922 dan Republik Turki diproklamasikan pada 29 Oktober 1923.
DAFTAR PUSTAKA
Bosworth, C.E. Dinasti-Dinasti Islam, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1993.
Brockelmann, Carl. History of the Islamic People. London: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1982.
Cantay, Hasan Basri. “Kebudayaan Islam di Daerah-Daerah Turki”, Islam Jalan Lurus, terj. Abu Salamah dan Cahidir Anwar. Jakarta: Pustaka Jaya, 1986.
Kramers, J.H. “Turk”, First Encyclopaedia of Islam, eds. M. Th. Houtsma, et al, Vol. VIII. Leiden: E.J. Brill, 1987.
M.E.Y., ed. “Turkey and Ancient Anatolia”, The New Encyclopaedia Britannica. Vol. 28. Chicago: Encyclopaedia Britanica, Inc., 1994.
Mones, Hussain. Atlas of the History of Islam. Singapore: Tien Wah Press, 1987.
___________. Mausu‘ah at-Tarikh al-Islami wa al-hadarah al-Islamiyyah. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, t.t.
Shaw, Stanford J. History of the Ottoman Empire and Modern Turkey: Empire of the Ghzis. Cambridge: Cambridge University Press, 1976.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam: Imperium Turki Utsmani. Jakarta: Kalam Mulia, 1988.
Toprak, Binnaz. Islam and Political Development in Turkey. Leiden: E.J. Brill, 1981.
Budi Sulistiono