Islam

(Ar.: al-islam)

Kata Islam berasal dari aslama, yuslimu, dan islam, yang memiliki beberapa arti: (1) melepaskan diri dari segala penyakit lahir dan batin, (2) kedamaian atau keamanan, serta (3) ketaatan atau kepatuhan. Secara terminologis Islam adalah agama samawi yang diturunkan Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW. Ajarannya dalam bentuk perintah, larangan, dan petunjuk, terdapat dalam Al-Qur’an dan sunah.

Dalam Al-Qur’an kata islam disebut sebanyak 8 kali, yaitu dalam surah Ali ‘Imran (3) ayat 19 dan 85, surah al-Ma’idah (5) ayat 3, surah al-An‘am (6) ayat 125, surah az-Zumar (39) ayat 22, surah as-Saff (61) ayat 7, surah al-Hujurat (49) ayat 17, dan surah at-Taubah (9) ayat 74. Allah SWT berfirman dalam surah Ali Imran (3) ayat 19 yang berarti:

“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam” dan dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 3: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu.” Orang yang memeluk Islam disebut muslim atau muslimat.

Islam diturunkan sebagai pedoman agar manusia dapat menentukan mana yang baik dan mana yang buruk serta yang hak dan yang batil. Sejak awal penciptaan manusia, Allah SWT telah menurunkan agama kepada manusia, yang dibawa oleh seorang rasul pada setiap masa tertentu dan untuk bangsa tertentu.

Hal itu terus berlangsung sampai datang Muhammad SAW, nabi dan rasul terakhir yang diutus membawa agama bagi seluruh umat manusia dan berlaku untuk sepanjang zaman. Sebagai agama yang melengkapi proses kesinambungan wahyu, Islam memiliki tujuh karakteristik ajaran.

(1) Ajarannya sederhana, rasional, dan praktis. Islam adalah agama tanpa mitologi. Islam membangkitkan kemampuan berpikir dan mendorong­ manusia untuk menggunakan penalarannya (QS.39:9, QS.6:98, QS.2:269). Di samping itu, Islam tidak mengizinkan penganutnya berpikir dengan teori kosong, tetapi diarahkan pada pemikiran yang aplikatif (QS.13:3).

(2) Kesatuan antara kebendaan dan kerohanian. Islam tidak membagi kehidupan atas dua bagian, yaitu materiil dan spiritual. Menurut pandangan Islam, kemajuan spiritual hanya dapat dicapai apabila manusia berada di tengah manusia lain di dunia dan keselamatan spiritual baru dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber daya materiil.

(3) Islam memberi petunjuk bagi seluruh segi kehidupan manusia, meskipun sebagian petunjuk bersifat umum (QS.2:208).

(4) Keseimbangan antara individu dan masyarakat. Islam mengakui keberadaan manusia sebagai individu dan menganggap setiap orang memiliki tanggung jawab pribadi kepada Tuhan, bahkan Islam menjamin hak asasi individu dan tidak mengizinkan adanya campur tangan orang lain di dalamnya (QS.53:39). Namun di lain pihak, Islam mengembangkan rasa tanggung jawab sosial dalam diri manusia dan menyerukan kepada individu untuk memberi andil dalam membina kesejahteraan masyarakat (QS.51:19).

(5) Keuniversalan dan kemanusiaan. Islam ditujukan untuk seluruh umat manusia. Tuhan dalam Islam adalah Tuhan sekalian alam (QS.1:2) dan Muhammad SAW adalah rasul/utusan Tuhan untuk seluruh umat manusia (QS.7:158 dan QS.21:107). Dalam Islam, seluruh umat manusia adalah sama, apa pun warna kulit, bahasa, ras atau kebangsaannya.

(6) Ketetapan dan perubahan. Al-Qur’an dan sunah yang berisi pedoman abadi dari Tuhan tidak terikat oleh batasan ruang dan waktu, bersifat abadi. Namun pedoman tersebut sering kali bersifat umum atau secara garis besar, sehingga memberikan kebebasan pada manusia untuk berijtihad dan mengaplikasikannya pada setiap kondisi masyarakat.

(7) Al-Qur’an sebagai pedoman suci umat Islam yang telah berumur 15 abad tetap terjamin kesucian dan kemurniannya.

Islam diturunkan di negeri Arab pada masa adanya kebutuhan yang mendesak dari seluruh umat manusia akan agama baru. Karena, pada masa itu ajaran para rasul terdahulu sudah tidak diindahkan lagi oleh manusia di seluruh negeri di dunia, baik di timur maupun di barat.

Sebelum Nabi SAW diutus, manusia hidup dalam keadaan gelap gulita, penuh dengan segala macam kerusakan moral dan kebodohan.

Keadaannya hampir menjerumuskan mereka ke dalam kehancuran total. Sebagai contoh, di negeri Arab orang menyembah berhala dan patung yang mereka ciptakan sendiri. Ketika itu setiap kabilah mempunyai patung sembahan, sehingga di dalam dan di sekeliling Ka’bah terdapat sekitar 360 patung sembahan.

Kebiasaan mereka sudah sangat menyesatkan, misalnya membunuh anak perempuan karena mereka dianggap membawa sial dalam keluarga, berperang terus-menerus antar-kabilah, minum khamar, berjudi, dan berzina.

Di Persia, terdapat agama yang mempercayai adanya dua Tuhan, yaitu Tuhan Cahaya dan Tuhan Kegelapan. Para kaisar yang memerintah negeri itu menganggap diri mereka keturunan Tuhan dan rakyat pun memandang mereka sebagai Tuhan. Karena itu rakyat mengadakan selamatan dan upacara kurban untuk raja mereka.

Di kawasan Kekaisaran Romawi dan Mesir, agama Nasrani terpecah dalam beberapa aliran; masing-masing aliran berdiri sendiri sebagai agama dan satu sama lain saling bermusuhan. Karena itu, masing-masing aliran menganggap bahwa setiap orang yang tidak mengikuti alirannya sebagai keluar dari agama dan harus disiksa.

Di India, permulaan abad ke-6 merupakan puncak kemerosotan agama dan akhlak. Masyarakatnya menyembah berhala. Segala sesuatu yang ada dalam hidup ini dianggap sebagai Tuhan yang patut disembah, sehingga jumlahnya sulit dihitung. Misalnya, pohon bersejarah, gunung, alat perkakas perang yang sakti, dan binatang.

Islam mulai disiarkan sekitar tahun 612 yang ditandai dengan turunnya ayat yang berisi perintah kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengajarkan Islam (QS.74:1–7). Islam yang pada mulanya disiarkan secara sembunyi-sembunyi dan terbatas pada kalangan keluarga dan sahabat Nabi SAW, sejak saat itu mulai disiarkan kepada seluruh umat manusia. Seorang demi seorang mulai­tertarik dengan ajakan Nabi SAW dan menyatakan diri masuk Islam.

Pemeluk Islam pada tahap pertama adalah Khadijah binti Khuwailid (istri Nabi SAW), Ali bin Abi Thalib (saudara sepupu Nabi SAW), Zaid bin Harisah (budak Nabi SAW yang kemudian dijadikan anak angkat), Abu Bakar as-Siddiq, dan Ummu Aiman (ibu asuh Nabi SAW). Dengan perantaraan Abu Bakar, beberapa orang lainnya memeluk agama Islam.

Tiga tahun setelah Nabi SAW melakukan da‘wah al-afrad (dakwah secara sembunyi-sembunyi dari satu rumah ke rumah lain), turun surah al-Hijr (15) ayat 94 yang memerintahkan Nabi Muhammad SAW agar menyiarkan Islam secara terang-terangan. Mulailah Nabi SAW menyerukan siar Islam kepada kaumnya. Sejak saat itu Islam mulai mendapat banyak pengikut, terutama setelah Umar bin Khattab dan Hamzah bin Abdul Muthalib masuk Islam sekitar 616.

Penyebaran Islam pada periode awal berjalan sangat pesat. Hal ini terbukti bahwa dalam waktu sekitar 30 tahun Islam telah menyebar ke seluruh Semenanjung Arabia, Palestina, Suriah, Irak, Persia, dan Mesir. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam sebagai ajaran selalu disebarkan dengan cara damai melalui jalan dakwah, tetapi sebagai kekuatan politik Islam tersebar baik dengan jalan damai maupun dengan jalan peperangan.

Walaupun Islam dapat menaklukkan dan menguasai suatu daerah dengan jalan damai atau peperangan, penguasa Islam tidak memaksakan ajaran Islam kepada penduduknya. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar ajaran Islam yang tidak membenarkan adanya pemaksaan dalam agama (QS.2:256).

Berdasarkan hal tersebut, dalam Islam dikenal istilah ahl adz-dzimmah (kaum zimi), yaitu penduduk non-Islam yang berdiam di wilayah Islam. Hak mereka dijamin dan mereka diperlakukan sama dengan penduduk yang beragama Islam. Mereka diwajibkan membayar jizyah (pajak) kepada negara.

Allah SWT memerintahkan umat manusia agar menganut agama Islam dan mengerahkan seluruh kehidupannya untuk meyakini dan mematuhi ajaran-Nya. Tujuannya adalah supaya manusia dapat mencapai keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan dalam segala aspek kehidupan dunia dan akhirat, baik materiil maupun spiritual.

Perintah Allah SWT untuk memeluk ajaran Islam dapat dilihat dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu” (QS.2:208).

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam” (QS.3:102).

Muslim sejati adalah seorang yang mengarahkan segala perilakunya hanya kepada Allah SWT. Hal ini dinyatakan Allah SWT dalam Al-Qur’an surah al-An‘am (6) ayat 162 yang berarti: “Katakanlah, sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”

Sumber Ajaran Islam. Sumber utama ajaran Islam adalah Al-Qur’an, wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril, dan sunah, yaitu segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi SAW.

Kedua sumber utama itu mengandung perintah, larangan, petunjuk, penjelasan, dan prinsip dasar yang menjadi pedoman bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan mereka di dunia. Mereka tidak akan tersesat selama berpegang pada kedua sumber ajaran Islam tersebut. Rasulullah SAW dalam suatu hadis menyatakan:

“Sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kamu dua hal, kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunah Rasul-Nya” (HR Muslim, Abu Dawud, dan Tabrani).

Al-Qur’an pada dasarnya hanya berisi petunjuk umum dan hadis sebagai sumber kedua memberikan penjelasan terhadap Al-Qur’an. Walaupun demikian, keduanya tidak mencakup seluruh permasalahan yang dihadapi umat Islam. Oleh karena itu, kedua sumber di atas memberikan peluang yang besar bagi umat Islam untuk melakukan ijtihad jika terdapat masalah yang tidak ditemukan hukumnya dalam kedua sumber itu.

Kegiatan ijtihad tersebut tetap berlandaskan prinsip umum yang termuat dalam kedua sumber dan berlangsung sepanjang masa. Kebolehan melakukan ijtihad digambarkan dalam hadis. Ketika mengutus Mu‘az bin Jabal ke Yaman, Rasulullah SAW bertanya kepadanya,

“Bagaimana kamu menyelesaikan atau memutuskan apabila ada suatu perkara yang disampaikan kepadamu?” Mu‘az menjawab, “Saya akan memutuskannya dengan Al-Qur’an.” Rasulullah SAW bertanya lagi, “Jika engkau tidak menemukannya dalam Al-Qur’an?” Ia menjawab, “Maka dengan sunah Rasul.” Rasulullah SAW bertanya lagi, “Bagaimana kalau engkau tidak menemukannya di dalam Al-Qur’an dan tidak pula di dalam sunah?” Mu‘az menjawab, “Saya berijtihad dengan pendapatku” (HR. Abu Dawud).

Syariat Islam. Syariat Islam yang diturunkan Allah SWT kepada umat manusia bertujuan agar mereka dapat mencapai kemaslahatan. Tujuan yang ingin dicapai itu disebut maqasid asy-syari‘ah. Menurut Imam al-Ghazali, kemaslahatan bagi manusia akan dapat tercapai apabila terpelihara lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Kelima hal inilah yang menjadi pokok tujuan dari syari‘ (pembuat hukum/ Allah SWT). Perintah, larangan, dan kebolehan mengerjakan sesuatu yang datang dari syari‘ selalu mengacu pada usaha agar kelima pokok tujuan di atas terpelihara.

Hukum Islam yang berkaitan dengan akidah, pidana, larangan meminum minuman yang dapat menghilangkan akal, perkawinan yang bertujuan menjaga keturunan, warisan, dan lain-lain, dimaksudkan untuk memelihara tujuan syari‘.

Dalam usaha memelihara tujuan syari‘ itu, Abu Ishaq asy-Syatibi (w. 790 H/1288 M; ahli fikih, usul fikih, tafsir, bahasa, dan hadis) berpendapat bahwa ada tiga kategori atau peringkat kebutuhan yang perlu dipenuhi eksistensinya, yaitu daruriyyah (keperluan), hajjiyyah (kebutuhan), dan tahsiniyyah (perbaikan).

Kebutuhan daruriyyah adalah kebutuhan untuk memelihara eksistensi kelima pokok maslahat di atas. Kebutuhan ini sangat esensial; tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mengakibatkan rusaknya kemaslahatan manusia di dunia maupun di akhirat. Perintah yang berhubungan dengan ibadah, antara lain salat, puasa, dan zakat, bertujuan agar eksistensi agama tetap terpelihara.

Kebutuhan hajjiyyah diperlukan untuk memelihara berbagai hal yang berhubungan dengan kelestarian dan kesinambungan kelima pokok maslahat. Kebutuhan ini berada pada peringkat kedua. Apabila aspek ini tidak terpenuhi, eksistensi kelima pokok maslahat tidak terancam walaupun membawa kesulitan bagi manusia.

Misalnya, puasa yang daruriyyah itu akan menimbulkan kesulitan jika dilaksanakan oleh orang sakit dan musafir. Dalam keadaan seperti itu, orang tertentu dapat meninggalkan kewajiban itu, tetapi harus diganti di hari lain.

Selain dua kebutuhan di atas terdapat kebutuhan tahsiniyyah yang berkaitan dengan usaha untuk menunjang peningkatan kelima pokok maslahat yang berhubungan dengan akhlak mulia, baik dalam bidang ibadah maupun muamalah (masalah sosial), seperti menutup aurat dalam salat dan tata cara pergaulan suami istri.

Tidak terpenuhinya kebutuhan ini juga tidak akan merusak eksistensi kelima pokok di atas dan tidak akan membawa kesulitan bagi pelakunya walaupun dapat menurunkan martabat manusia.

Syariat Islam mempunyai ciri-ciri khusus, antara lain adalah sebagai berikut.

(1) Hukum yang ditetapkan bersifat umum, sehingga terbuka kemungkinan berijtihad terhadap sesuatu hukum untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat.

(2) Hukum yang ditetapkan didasarkan atas pertimbangan keagamaan dan akhlak.

(3) Ada balasan rangkap yang diperoleh karena melaksanakan hukum itu, yaitu balasan yang diperoleh di dunia dan di akhirat.

(4) Hukumnya bersifat kolektif, ditetapkan untuk kepentingan dan kemaslahatan umum (li masalih al-‘ammah).

Syariat Islam pada dasarnya tidak memberatkan manusia. Karena, penetapannya ditempuh melalui beberapa pertimbangan yang mendasar, antara lain adalah: (1) segala hukum yang ditetapkan tidak memberatkan, (2) penetapan suatu hukum yang ditujukan untuk mengubah suatu kebiasaan buruk dalam masyarakat dilakukan secara berangsur­-angsur, (3) penetapan suatu hukum sejalan dengan kebutuhan dan kebaikan orang banyak, dan (4) hukum ditetapkan berdasarkan persamaan hak dan keadilan yang merata bagi semua orang.

Syariat Islam yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf (orang dewasa yang wajib melaksanakan syariat agama) dapat dibagi atas lima bagian.

(1) Wajib, yaitu suatu tuntutan/ perintah syari‘ pada mukalaf untuk mengerjakan sesuatu dengan tuntutan yang pasti dan tegas. Jika dilaksanakan, pelakunya diberi pahala, dan jika ditinggalkan, ia mendapat dosa; misalnya, salat.

(2) Mandub, yaitu suatu tuntutan/ perintah syari‘ pada orang mukalaf untuk mengerjakan sesuatu dengan tuntutan yang tidak tegas. Mukalaf boleh memilih, mengerjakan atau tidak. Jika dikerjakan, pelakunya diberi pahala, dan jika ditinggalkan, ia tidak mendapat siksa; misalnya, mengerjakan salat sunah.

(3) Haram, yaitu suatu tuntutan/perintah syari‘ pada mukalaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan dengan tuntutan yang tegas. Jika dikerjakan, pelakunya mendapat siksa, dan jika ditinggalkan, ia mendapat pahala; misalnya, berbuat zina dan makan babi.

(4) Makruh, yaitu suatu tuntutan/perintah syari‘ pada mukalaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan dengan tuntutan yang tidak tegas. Mukalaf boleh memilih, mengerjakan atau tidak. Apabila perintah itu dikerjakan, ia tidak mendapat siksa, tetapi jika ditinggalkan, ia mendapat pahala; misalnya, merokok.

(5) Mubah, yaitu tuntutan syari‘ yang membolehkan mukalaf untuk memilih mengerjakannya atau tidak mengerjakannya. Syari‘ dalam hal ini tidak menuntut mukalaf untuk mengerjakannya atau meninggalkannya. Mengerjakan atau meninggalkan tuntutan ini tidak mendapat pahala atau dosa; misalnya, makan dan minum.

Aspek Islam. Ajaran Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, yaitu aspek akidah/teologi, ibadah, hukum, tasawuf/ mistisisme, filsafat, politik, dan pembaruan.

Aspek Akidah. Dalam Islam ada lima aliran teologi utama, yaitu aliran Khawarij, Murji’ah, Muktazilah, Asy‘ariyah, dan Maturidiyah (Abu Mansur Muhammad al-Maturidi). Aliran teologi ini timbul dari perbedaan pendapat para ulama dalam menafsirkan ajaran Islam yang berkisar pada pengertian dosa besar, kafir, mukmin, sifat Tuhan, perbuatan Tuhan, perbuatan manusia, dan masalah kebaikan dan kejahatan.

Aliran Khawarij adalah aliran yang membawa ajaran teologi yang bersifat sederhana. Aliran Murji’ah adalah aliran yang membawa ajaran teologi yang bersifat moderat. Aliran Muktazilah adalah aliran yang membawa ajaran teologi yang bercorak liberal dan rasional. Dalam aliran ini, akal dan kebebasan manusia dalam berkehendak dan berbuat mendapat kedudukan yang tinggi. Aliran ini disebut juga aliran Kadariyah.

Aliran Asy‘ariyah adalah aliran yang membawa ajaran teologi yang bercorak tradisional dan tidak memberikan kedudukan yang tinggi bagi akal manusia. Aliran ini mengajarkan bahwa kebebasan manusia dalam berkehendak dan berbuat tidak ada. Aliran ini disebut juga aliran Jabariyah.

Aliran Maturidiyah adalah aliran yang membawa ajaran teologi yang bercorak rasional-tradisional. Teologi rasional banyak memakai penafsiran metaforis, sedangkan teologi tradisional banyak terikat pada penafsiran harfiah.

Aspek Ibadah. Dalam Islam ibadah mempunyai pengertian umum yang mencakup seluruh perilaku manusia yang dilakukan semata-mata untuk mencapai keridaan Allah SWT dan pengertian khusus yang diwujudkan dalam bentuk amalan yang secara langsung menyangkut ketaatan kepada Allah SWT, misalnya salat, puasa, dan zakat. Ibadah dalam Islam bertujuan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.

Dalam aspek ibadah terdapat banyak mazhab. Di antara mazhab tersebut, ada empat mazhab terkenal, yaitu Mazhab Maliki, Hanafi, Hanbali, dan Syafi‘i.

Mazhab Maliki bercorak tradisional dengan mengambil pemikiran Imam Malik. Mazhab Hanafi bercorak rasional dengan mengambil pemikiran Abu Hanifah atau Imam Hanafi. Mazhab Hanbali bercorak tradisional dengan mengambil pemikiran Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali.

Mazhab Syafi‘i menggabungkan pendekatan rasional Imam Hanafi dengan pendekatan tradisional Imam Malik. Timbulnya perbedaan pendapat antara satu mazhab dan mazhab lain disebabkan adanya perbedaan pemahaman atau penafsiran terhadap ajaran dasar yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunah.

Aspek Hukum. Dalam Islam hukum datang dalam bentuk global. Hal ini dimaksudkan agar hukum itu tidak terlalu kaku dalam mengatur masyarakat. Dengan demikian, hukum Islam lebih fleksibel, tidak ketinggalan zaman, dan dapat diaplikasikan di segala tempat dan zaman.

Menurut Abdul Wahhab Khallaf (guru besar hukum Islam Universitas Cairo), ada 368 ayat hukum dari seluruh ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an. Aspek hukum itu mencakup ajaran: hidup kekeluargaan, perkawinan, perceraian, hak waris, perdagangan, jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, gadai, perseroan, kontrak, masalah kriminal, masalah hubungan Islam dengan non-Islam, peradilan, hubungan antara yang kaya dan miskin, dan masalah kenegaraan.

Dalam hukum Islam terdapat banyak mazhab. Empat di antaranya sangat terkenal, yaitu Mazhab Maliki, Hanafi, Syafi‘i, dan Hanbali.

Aspek Tasawuf. Ajaran tasawuf yang membawa manusia lebih mendekatkan diri pada Tuhan bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Ajaran ini dipraktikkan oleh orang yang belum merasa puas hanya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui ibadah seperti salat dan puasa. Mereka ingin lebih dekat lagi pada Tuhan, bahkan bersatu dengan Tuhan.

Sebelum sampai pada pengalaman ajaran tasawuf, seorang muslim terlebih dahulu dituntut mampu melaksanakan ajaran ibadah. Dalam upaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Tuhan, seseorang harus melalui tahapan yang disebut maqam (station/tingkat) yang terdiri atas tobat, zuhud (meninggalkan kesenangan duniawi), sabar, tawakal, rida, cinta, makrifat (pengetahuan mendalam tentang Tuhan), dan ittihad (bersatu dengan Tuhan). Orang yang telah mencapai tahapan ini disebut sufi.

Dalam bidang tasawuf terdapat dua aliran besar, yaitu tasawuf ‘amali dan tasawuf nazari. Tasawuf ‘amali memberikan penekanan pada masalah akhlak, sedangkan tasawuf nazari memberikan penekanan pada masalah ketuhanan. Dalam bentuk terakhir muncul paham ittihad dan hulul, yang kemudian berkembang menjadi tasawuf filsafat ketika Ibnu Arabi mengembangkan paham wahdatul wujud.

Aspek Filsafat. Filsafat dalam Islam muncul setelah umat Islam berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban Yunani, Persia, dan Mesir, terutama setelah dilakukan penerjemahan buku filsafat ke dalam bahasa Arab pada masa kekhalifahan Abbasiyah. Pemikiran filsafat dalam Islam kebanyakan membahas masalah yang berkaitan dengan hakikat penciptaan manusia, hakikat roh, jiwa, hari akhir, penciptaan alam, dan sebagainya. Pemikiran ini terbagi dalam dua aliran, yaitu aliran yang bersifat tradisional dan aliran yang bersifat liberal.

Aspek Politik. Masalah politik dalam Islam pada mulanya berpangkal dari masalah penentuan pengganti Nabi SAW dalam urusan negara dan agama. Dalam hal ini muncul beberapa aliran politik dalam Islam, yaitu Khawarij, Suni, dan Syiah.

Aliran Khawarij berpendirian bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap dan mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Menurut aliran ini, sistem kenegaraan yang harus dikembangkan Islam adalah sistem yang telah dilaksanakan Nabi SAW dan al-Khulafa’ ar-Rasyidun.

Sementara itu, aliran Suni berpendirian bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan negara; Nabi SAW, sebagaimana rasul sebelumnya, hanya berfungsi sebagai rasul, tidak sebagai kepala negara.

Adapun aliran Syiah di satu sisi menolak pendapat yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap dan di sisi lain menolak pendapat yang mengatakan bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan kehidupan bernegara.

Aspek Sejarah dan Kebudayaan. Dilihat dari aspek sejarah, Islam telah melalui tiga periode, yaitu periode klasik (650–1250), pertengahan (1250–1800), dan modern (1800–sekarang). Pada periode klasik, Islam mencapai puncak kejayaan yang ditandai dengan masa ekspansi ke daerah yang sangat luas, integrasi, dan kemajuan di bidang ilmu dan sains.

Pada periode pertengahan, Islam mengalami kemunduran yang ditandai dengan tidak adanya lagi kekuasaan Islam yang utuh yang meliputi seluruh wilayah Islam dan terpecahnya Islam ke dalam beberapa kerajaan, antara lain Kerajaan Usmani (Ottoman), Safawi, dan Mughal. Di samping itu, pada periode pertengahan ini perkembangan ilmu dan sains terbatas.

Adapun pada periode modern, umat Islam bangkit kembali sehingga periode ini disebut juga Masa Kebangkitan Islam. Periode ini ditandai dengan kesadaran umat Islam akan kelemahan dirinya dan keinginan untuk memajukan kembali ilmu dan sains, sehingga lahirlah tokoh pembaru dan pemikir Islam di berbagai negara Islam.

Aspek Pembaruan dan Pemikiran. Setelah umat Islam berada pada periode kemunduran dan sadar akan kelemahan diri mereka yang diakibatkan oleh menurunnya kekuatan militer dan politik serta terhentinya perkembangan ilmu pengetahuan, timbullah pemikiran dan usaha pembaruan dalam Islam.

Pada dasarnya pembaruan dalam Islam adalah usaha untuk menafsirkan kembali ajaran Islam yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan bertujuan untuk melepaskan umat Islam dari belenggu kebodohan dan kemunduran, serta menuju kepada kemajuan.

Adapun aspek lainnya, seperti pendidikan dan pengajaran, pengembangan ilmu pengetahuan, dan pengembangan peradaban, juga mendapat perhatian dalam Islam. Dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW banyak ditemukan dalil yang menunjukkan bahwa Islam memberi perhatian terhadap ketiga masalah itu.

Di antara dalil yang mengacu pada ilmu pengetahuan adalah surah at-Taubah (9) ayat 122 dan surah al-Mujadilah (58) ayat 11. Adapun dalil dari hadis Nabi SAW antara lain berbunyi: “Anak-anak tidak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (suci, Islam), maka orangtuanya-lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Muslim)

“Pelajarilah ilmu pengetahuan dan ajarkanlah kepada orang lain, pelajarilah fara’id (ilmu tentang pembagian harta warisan), dan ajarkanlah kepada orang lain, dan pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain” (HR. Daruqutni).

Ajaran Islam yang menganjurkan umatnya untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran serta peradaban telah mendorong umat Islam untuk mendalami dan menguasai ilmu pengetahuan dan peradaban. Islam tidak menyukai umatnya yang hidup dalam kebodohan.

Dalam sejarah Islam banyak dikenal ilmuwan muslim yang menguasai berbagai bidang ilmu, antara lain sejarah, geografi, filsafat, kedokteran, astronomi, matematika, kimia, dan fisika.

Dalam bidang sejarah, pelopornya antara lain adalah Baladari, Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir (w. 922) dengan salah satu karyanya Tarikh ar-Rasul wa al-Muluk (Sejarah para Rasul dan Raja), dan Abu Hasan Ali al-Mas‘udi (w. 956) yang telah memperkenalkan metode penulisan sejarah dengan mengelompokkan peristiwa berdasarkan tahun, dinasti, raja, dan bangsa.

Dalam bidang geografi, pelopornya antara lain adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780–850) dengan karyanya al-’Ard (Gambaran Bumi) yang kemudian digunakan sebagai dasar karya tentang geografi, dan Yaqut bin Abdullah al-Hamawi (1179–1229) yang mengarang al-Mu‘jam al-Buldan (Kamus Ilmu Bumi).

Dalam bidang filsafat terdapat antara lain al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd. Dalam bidang kedokteran terdapat antara lain Jabir bin Hayyan, al-Muqtadir Ali bin Isa, dan Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi (864–926), yang dianggap sebagai penemu ilmu bedah yang terbesar dan orisinal.

Tokoh dalam bidang astronomi meliputi antara lain al-Biruni (973– 1048) dengan karyanya al-Qanun al-Mas‘udi fi al-Hay’an wa an-Nujum (Tatanan yang Cermat dalam Kehidupan dan Bintang) dan Ibnu Amajur yang telah mencatat perjalanan bulan.

Dalam bidang matematika, tokoh utamanya adalah al-Khawarizmi. Salah satu pemikiran ilmiahnya yang terbesar mempengaruhi pemikiran matematika. Dalam bidang ini pula umat Islam mempersembahkan angka nol meskipun hal itu digali dari khasanah India Kuno.

Dalam bidang kimia, pelopornya adalah Jabir bin Hayyan. Ia berpendapat bahwa pada dasarnya baja itu (seperti timah, timah hitam, besi, dan tembaga) dapat diubah menjadi emas atau perak dengan zat yang belum dikenal. Ia juga menguraikan secara ilmiah mengenai kedua operasi yang pokok mengenai bahan kimia, yaitu alih kapur dan penyusutan.

Perkembangan Islam. Islam pada mulanya diturunkan di Mekah, tetapi kemudian berkembang di Madinah. Di Madinah perkembangan Islam mengambil bentuk kenegaraan dengan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara. Wilayahnya meliputi kota Madinah, Mekah, dan daerah sekitarnya.

Setelah berhasil meletakkan dasar pemerintahan Islam, Nabi SAW mulai mengarahkan perhatiannya pada perluasan wilayah Islam. Sesudah Nabi SAW wafat, usaha pengembangan wilayah Islam dilanjutkan oleh para al-Khulafa’ ar-Rasyidun (empat khalifah pertama).

Pada masa al-Khulafa’ ar-Rasyidun wilayah Islam mencakup seluruh Semenanjung Arabia, Palestina, Suriah, Irak, Persia, dan Mesir.

Perkembangan Islam selanjutnya terjadi pada masa Bani Umayah dengan wilayah meliputi Semenanjung Arabia, Palestina, Suriah, Irak, Persia, Mesir, Afrika Utara, Sicilia, Spanyol, sebagian Asia Kecil, Rusia, Afghanistan, dan beberapa wilayah di Asia Tengah yang sekarang dikenal dengan Pakistan, Armenia, Uzbekistan, dan Kirghistan.

Perluasan inilah yang mengantarkan negara Islam pada masa pemerintahan Bani Umayah menjadi negara adikuasa yang mampu menumbangkan dua adikuasa sebelumnya, yaitu imperium Persia dan Bizantium.

Adapun pada masa Dinasti Abbasiyah tidak terjadi perluasan wilayah Islam yang berarti karena perhatian ditujukan pada pembinaan dan pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban, sehingga masa ini disebut puncak kejayaan peradaban Islam. Masa Nabi Muhammad SAW hingga masa Dinasti Abbasiyah ini disebut periode klasik.

Pada periode pertengahan wilayah Islam yang luas itu terpecah-pecah ke dalam beberapa kerajaan besar, seperti Kerajaan Usmani, Safawi, Mughal, Fatimiyah, Murabitun, Muwahhidun, dan beberapa kerajaan kecil lainnya yang terdapat di bagian barat dan timur Baghdad. Selain wilayah Islam pada periode klasik, kecuali Spanyol dan Sicilia yang direbut Kristen, wilayah Islam pada periode ini juga meliputi daerah di wilayah anak benua India (Pakistan dan Bangladesh), Eropa Timur, dan Yunani.

Pada periode modern jumlah penduduk beragama Islam berkembang terus ke seluruh pelosok dunia. Penduduk muslim terbanyak terdapat di benua Asia dan Afrika. Untuk mengikat negara-negara Islam di seluruh dunia, dibentuk Rabithah al-‘alam al-Islami (Liga Dunia Islam), yang berpusat di Mekah, Saudi Arabia.

Selain itu, di Eropa juga dibentuk suatu dewan yang dinamakan Dewan Islam Eropa. Dewan ini dibentuk dalam Conference of Islamic Cultural Centre and Organization of Europe (Konferensi Pusat Kebudayaan dan Organisasi Islam Eropa) di London pada 1973 yang diprakarsai Sekretariat Islam di Jiddah. Adapun pembentukan tersebut bertujuan untuk mengorganisasi dan memajukan usaha dakwah Islamiah.

Di Eropa, Islam dipeluk bukan hanya oleh orang biasa, melainkan oleh para sarjana, intelektual, dan artis yang merasa tidak puas dengan kecenderungan materialisme kebudayaan Barat.

Di Benua Amerika, gelombang kedatangan kaum muslim berlangsung sejak berakhirnya Perang Dunia II. Sebagai negara pemenang perang dan kemudian berkembang sebagai negara adikuasa pada abad ke-20, Amerika menarik minat kaum muslimin.

Kehadiran mereka, khususnya tokoh-tokoh yang menonjol di dunia internasional seperti Ismail Raji al-Faruqi dan Fazlur Rahman, sangat berpengaruh pada tumbuhnya apresiasi yang tinggi terhadap Islam.

Menurut data 2021, negara dengan populasi muslim terbesar adalah Indonesia (231.000.000), Pakistan (212.300.000), India (200.000.000), Bangladesh (153.700.000), Nigeria (95.000.000 – 103.000.000), Mesir (85.000.000 – 90.000.000), Iran (82.500.000), Turki (74.432.725), Aljazair (41.240.913) dan Sudan (39.585.777).

Saat ini penganut Islam merupakan kelompok agama terbesar kedua di dunia. Diperkirakan 1,8 miliar atau lebih dari 24% populasi dunia mengidentifikasi diri mereka sebagai Muslim. Islam adalah agama resmi di 26 negara di Asia, Afrika sub-Sahara, Afrika Utara, dan Timur Tengah. Islam tumbuh lebih cepat daripada agama lain di seluruh dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdalati, Hammudah. Islam in Focus. Riyadh: International Islamic Federation of Student, 1986.
Ahmad, Khursyid. Islam: Its Meaning and Message, atau Pesan Islam, terj. Achsin Mohammad. Jakarta: Penerbit Pustaka, 1983.
Bosworth, Clifford Edmund. The Islamic Dynasties: A Chronological and Genea logical Handbook. Edinburg: Edinburg University Press, 1980.
al-Buraey, Muhammad A. Administrative Development: An Islamic Perspective, atau Islam: Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan, terj. Achmad Nashir Budiman. Jakarta: Rajawali Press, 1986.
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Hasan, Ibrahim. Tarikh al-Islam. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1982.
Khalaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
Lubis, H Ibrahim. Agama Islam: Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989.
Muhammadunnasir, Sayid. Islam, Konsepsi, dan Sejarahnya, terj. Adam, Affandi. Bandung: CV. Rosda, 1988.
Nasr, Sayid Hossein. Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press, 1968.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1986.
__________. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Rahman, Fazlur. Islam. New York: Chicago University Press, 1979.
Syaltut, Mahmud. al-Islam: ‘Aqidah wa Syari‘ah. Cairo: Dar al-Qalam, 1966.
asy-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari‘ah. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1975.
Tabbarah, Afif Abdul Latif. Ruh ad-Din al-Islami. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayiyin, t.t.
https://worldpopulationreview.com/country-rankings/muslim-population-by-country, diakses pada 15 Maret 2022.
https://www.nationsonline.org/oneworld/muslim-countries.htm, diakses pada 15 Maret 2022.

Thib Raya

Data telah diperbarui oleh Tim Redaksi Ensiklopediaislam.id (Maret 2022)