Muhammad Iqbal adalah seorang penyair, filsuf, dan pembaru Islam pada awal abad ke-20 dari India. Ia berasal dari keturunan Brahmana Kashmir yang telah memeluk Islam sekitar 3 abad sebelum ia lahir. Ia merupakan salah seorang intelektual muslim yang sangat berperan di India, terutama dalam memprakarsai berdirinya Pakistan.
Muhammad Iqbal adalah putra Nur Muhammad, seorang muslim yang saleh dan sufi yang telah mendorong Iqbal untuk menghafal Al-Qur’an secara teratur. Keadaan orangtuanya yang memiliki jiwa keagamaan y ang teguh dan kecenderungan spiritual sangat berpengaruh terhadap perilaku Iqbal secara menyeluruh.
Muhammad Iqbal memperoleh pendidikan pertama di Murray College, Sialkot. Di sini ia bertemu dengan seorang ulama besar, Sayid Mir Hasan, guru dan sahabat karib orangtuanya. Guru yang bijaksana itu segera mengetahui kecerdasan Iqbal dan menyarankan agar ia terus menuntut ilmu.
Pendidikan yang diterima dari ayah dan gurunya ini sangat berkesan di hati Iqbal. Hal itu telah mengantarkannya menjadi seorang tokoh yang memiliki komitmen terhadap Islam secara utuh. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sialkot, ia melanjutkan studinya di Government College, Lahore, dan memperoleh gelar Master of Art (MA).
Di kota inilah ia berkenalan dengan Sir Thomas Arnold, seorang orientalis, pengarangThe Preaching of Islam (Penyiaran Islam; 1896). Atas saran Thomas Arnold, ia berangkat ke Eropa pada 1905 untuk melanjutkan studinya dalam bidang filsafat Barat di Trinity College, Universitas Cambridge.
Di samping itu, ia juga mengikuti kuliah hukum di Lincoln’s Inn, London. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munchen, Jerman, untuk lebih memperdalam studi filsafatnya di Universitas Munchen. Di universitas inilah ia memperoleh gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) setelah mempertahankan disertasi doktoralnya yang berjudul The Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).
Selama belajar di Eropa, ia banyak mengkaji buku ilmiah di perpustakaan Cambridge, London, dan Berlin. Di samping itu, ia juga mempelajari watak dan karakteristik orang Eropa. Dari hasil pengkajiannya itu, ia berkesimpulan bahwa terjadinya berbagai macam kesulitan dan pertentangan disebabkan oleh sifat individualistis dan egoistis yang berlebihan serta pandangan nasionalisme yang sempit.
Meskipun demikian, ia juga mengagumi sifat dinamis bangsa Eropa yang tidak mengenal puas dan putus asa. Sifat inilah yang kelak membentuk Iqbal menjadi seorang pembaru yang mengembangkan dinamika Islam.
Selama berada di Eropa, ia sempat mengajar bahasa Arab di Universitas London selama 6 bulan. Pada 1908 ia kembali ke Lahore dan bekerja sebagai pengacara, di samping dosen filsafat dan sastra Inggris di Government College, Lahore. Pada 1922 ia dianugerahi gelar Sir oleh pemerintah Inggris, karena berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama sastra Inggris dan filsafat.
Pada akhir 1928 dan awal 1929 ia mengadakan perjalanan ke India selatan dan memberikan ceramah di Hyderabad, Madras, dan Aligarh. Kumpulan ceramah yang disampaikannya itu kemudian disusun dalam satu buku yang berjudul The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam).
Buku ini pada mulanya berjudul Six Lectures on the Reconstruction of Religious Thought in Islam. Dalam buku ini Iqbal mencoba membangun kembali filsafat keagamaan Islam dengan memperhatikan tradisi filosofis dan perkembangan terakhir agama itu dalam berbagai bidang pengetahuan manusia.
Pada 1930 Iqbal memasuki bidang politik dan terpilih menjadi presiden Liga Muslimin India. Pada 1931 dan 1932 ia dua kali berturut-turut menghadiri Perundingan Meja Bundar di London. Dalam kunjungan ini, ia berkesempatan pergi ke Paris dan bertemu dengan filsuf Perancis, Henri Bergson (1859–1941).
Dalam perjalanan pulang, ia mengunjungi Spanyol untuk menyaksikan peninggalan sejarah umat Islam di sana. Ia juga berkunjung ke Baitulmakdis (Yerusalem) untuk menghadiri konferensi Islam. Pada 1933 ia diundang ke Afghanistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul.
Menurut pengamatan Iqbal, kemunduran umat Islam disebabkan tiga faktor.
Faktor pertama dan utama adalah hancurnya Baghdad yang pernah menjadi pusat politik, kebudayaan, dan pusat kemajuan pemikiran umat Islam pada pertengahan abad ke-13. Akibatnya, pemikiran ulama pada masa itu hanya tertumpu pada ketertiban sosial. Mereka menolak pembaruan di bidang hukum dan pintu ijtihad mereka tutup. Hal ini menyebabkan hilangnya dinamika berpikir umat Islam.
Faktor kedua adalah timbulnya paham fatalisme yang menyebabkan umat Islam pasrah pada nasib dan enggan bekerja keras. Pengaruh zuhud yang terdapat dalam ajaran tasawuf yang dipahami secara berlebihan dan salah menyebabkan umat Islam tidak mementingkan soal kemasyarakatan.
Faktor ketiga adalah sikap jumud (statis) dalam pemikiran umat Islam. Hukum dalam Islam telah sampai pada keadaan statis. Kaum konservatif menganggap bahwa kaum rasional (Muktazilah) telah menyebabkan timbulnya disintegrasi yang mengancam kestabilan umat. Oleh karena itu, kaum konservatif hanya memilih tempat yang aman dengan bertaklid kepada imam mazhab.
Untuk memajukan umat Islam India, Muhammad Iqbal mengetengahkan pemikiran berikut.
Pertama, umat Islam India perlu mengembangkan konsep ijtihad dan paham dinamisme Islam. Hukum Islam menurut Iqbal tidak bersifat statis tetapi dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, pintu ijtihad tidak pernah tertutup.
Ijtihad menurut Iqbal berarti upaya mencurahkan segenap kemampuan intelektual. Hal ini berarti menempatkan akal pada kedudukan yang tinggi. Dalam konsep ijtihad terdapat aspek perubahan dan dengan adanya perubahan itu terkandung di dalamnya dinamika kehidupan umat manusia, bahkan alam semesta.
Paham dinamisme Islam yang ditonjolkan inilah yang membuat Iqbal mempunyai kedudukan penting dalam proses pembaruan di India. Dalam syairnya ia mendorong umat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak. Oleh karena itu, Iqbal berseru agar umat Islam bangun dan menciptakan dunia baru.
Kedua, perlunya negara tersendiri bagi umat Islam India, terpisah dari negara Hindu. Tujuan pembentukan ini ditegaskan Iqbal dalam rapat Liga Muslimin 1930 yang mendapat dukungan dari para anggotanya. Sejak saat itulah ide dan tujuan pembentukan negara tersendiri diumumkan secara resmi dan kemudian menjadi tujuan perjuangan nasional umat Islam India. Karena idenya itu, Iqbal dijuluki “Bapak Pakistan.” Daerah yang diajukan Iqbal menjadi satu negara bagi umat Islam India adalah Punjab, daerah perbatasan utara, Sind, dan Balukhistan.
Obsesi Iqbal mengenai terbentuknya negara sendiri bagi komunitas muslim tidaklah bertentangan dengan paham pan-Islamisme. Ia menyatakan bahwa Islam bukan penganut nasionalisme dan bukan pula imperialisme, melainkan merupakan liga bangsa-bangsa yang mengakui batas suatu daerah dan menerima perbedaan bangsa untuk mempermudah hubungan sesama mereka, bukan untuk membatasi cakrawala sosial para anggotanya.
Pemikirannya inilah yang menyebabkan Iqbal dipandang sebagai penganut paham Pan-Islamisme. Perubahan pemikiran Iqbal dari seorang nasionalisme India ke pan-Islamisme terjadi setelah ia kembali dari Eropa, karena ia melihat bahwa dalam nasionalisme Eropa terdapat bibit materialisme dan ateisme yang merupakan ancaman besar bagi perikemanusiaan. Di samping itu, ia curiga bahwa di balik nasionalisme India terletak konsep Hinduisme dalam bentuk baru.
Meskipun Muhammad Iqbal banyak memperoleh pendidikan di Barat, Barat baginya bukanlah model dalam melaksanakan pembaruannya. Ia tidak menerima kapitalisme dan imperialisme Barat. Barat menurut penilaiannya banyak dipengaruhi materialisme dan telah meninggalkan agama. Umat Islam harus mengambil dari Barat hanyalah ilmu pengetahuannya.
Sementara itu, sosialisme dapat diterimanya dan ia bersikap simpati terhadap gerakan sosialisme di Barat dan di Rusia. Pemikirannya mempengaruhi dunia Islam pada umumnya, terutama dalam pembaruan di India. Ia menimbulkan paham dinamisme di kalangan umat Islam India dan menunjukkan jalan yang harus mereka tempuh untuk masa depan, agar umat Islam minoritas di India hidup bebas dari tekanan luar.
Syair dan karya tulis Iqbal telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti bahasa Jerman, Perancis, Inggris, Arab, Rusia, Italia, dan Indonesia. Karya Muhammad Iqbal sendiri ditulis dalam tiga bahasa, Persia, Urdu, dan Inggris. Karya Iqbal yang berbahasa Persia adalah Asrari-Khudi, Rumuzi-Bekhudi, Payam-i Masyriq, Zabur-i Ajam, Jawid Namah, Pas Ceh Baid Aye Aqwami Syarq, dan Lala-i Thur.
Yang berbahasa Urdu adalah‘Ilmu al- Iqtisad (Ilmu Ekonomi), Bang-i Dara, Bal-i Jibril, Zarb-i Kalim, Armghan-i Hijaz, Iblis ki Majlis-i Syura, Iqbal Namah, Makatib Iqbal, dan Baqiyat-i Iqbal. Yang berbahasa Inggris adalah Development of Metaphysics in Persia: A Contribution to the History of Moslem Philosophy (Perkembangan Metafisika Persia: Suatu Sumbangan untuk Sejarah Filsafat Islam) dan The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam).
DAFTAR PUSTAKA
Donohue, John J. dan John L. Esposito, ed. Islam in Transition, Muslim Perspectives. London: Oxford University Press, 1982.
Iqbal, Muhammad. The Development of Metaphysics in Persia. London: Luzac and Co., 1908.
_______________. The Reconstruction of Religious Thought in Islam. New Delhi: Nusrat Ali Nasri for Kitab Bhavan, 1981.
Maitre, Luce Claude. Introduction to the Thought of Iqbal, terj. Johan Effendi. Bandung: Mizan, 1985.
M. Arfah Shiddiq