Secara kebahasaan, istilah qamat berarti “mendirikan”. Dalam terminologi Islam, iqamah berarti “mengucapkan lafal tertentu sebagai isyarat atau tanda bahwa salat segera akan dilaksanakan atau didirikan”. Para fukaha (ahli hukum Islam) berbeda pendapat tentang masalah iqamah ini dalam dua hal, yaitu kedudukan hukumnya dan cara pelaksanaannya.
Menurut fukaha negeri-negeri besar (amsar), hukum iqamah adalah sunah mu’akkad (sunah yang dipentingkan), lebih utama dan lebih kuat dibandingkan dengan azan, baik untuk orang yang salat perseorangan atau salat berjemaah.
Menurut Mazhab az-Zahiri, iqamah itu fardu. Dalam hal ini Ibnu Rusyd menyatakan bahwa ia tidak mengetahui, apakah iqamah itu fardu mutlak atau merupakan salah satu fardu salat. Menurut Ibnu Kinanah dari golongan Mazhab Maliki, salat orang yang sengaja meninggalkan iqamah menjadi batal.
Perbedaan pendapat dalam masalah tersebut disebabkan oleh dua alasan, yaitu (1) iqamah termasuk perbuatan yang dikerjakan untuk menjelaskan perintah salat yang masih mujmal (belum jelas) sehingga iqamah itu diartikan sebagai wajib berdasarkan sabda Nabi SAW yang berarti: “Salatlah kamu, seperti kamu melihat aku salat” dan (2) iqamah itu termasuk amal ibadah yang diartikan sebagai sunah atau nadb.
Menurut hadis Malik bin Huwairis, iqamah itu merupakan suatu fardu, baik untuk salat jemaah atau salat perseorangan. Menurut Imam Malik dan Imam Syafi‘i, cara iqamah adalah menduakalikan takbir di awal iqamah, kemudian kata-kata yang sesudahnya hanya diucapkan sekali, kecuali kata-kata qamat as-salat menurut Imam Malik, bacaan qamat as-salat cukup satu kali, sedangkan menurut Imam Syafi‘i harus dua kali.
Menurut fukaha Mazhab Hanafi, iqamah itu dilakukan dua kali-dua kali, sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) boleh dipilih satu kali atau dua kali. Perbedaan pendapat di antara mereka disebabkan hadis riwayat Anas bin Malik RA mengenai soal tersebut berlawanan dengan hadis riwayat Abi Laila.
Hadis yang diriwayatkan oleh Anas RA menyatakan, “Bilal diperintah (oleh Nabi) untuk menduakalikan azan dan mengganjilkan iqamah, kecuali kata-kata qamat as-salat.” Sementara itu hadis yang diriwayatkan oleh Abi Laila menyatakan, “Nabi memerintahkan Bilal bin Rabah. Kemudian Bilal langsung melakukan azan dua kali-dua kali, dan mengucapkan iqamah dua kali-dua kali.”
Para fukaha juga berbeda pendapat dalam menetapkan persoalan tentang kebolehan bagi wanita untuk melakukan azan dan iqamah. Dalam hal ini, kebanyakan fukaha menetapkan hukum bahwa wanita tidak diwajibkan untuk mengumandangkan azan dan iqamah sewaktu akan mendirikan salat.
Menurut Imam Malik, jika ada niat kaum wanita untuk mengucapkan iqamah menjelang mendirikan salat, maka hal yang demikian adalah lebih baik baginya. Akan tetapi menurut Imam Syafi‘i, sebaiknya wanita yang akan mendirikan salat itu mengumandangkan azan dan kemudian mengiringinya dengan iqamah. Ada juga fukaha yang mewajibkan wanita untuk mengucapkan azan dan iqamah.
Menurut riwayat Ibnu al-Munzir (w. 309 H/921 M; ahli usul fikih, periwayat hadis, dan tabiin), Aisyah binti Abu Bakar RA melakukan azan dan iqamah menjelang mendirikan salat.
Latar belakang adanya perbedaan pendapat di kalangan fukaha dalam menetapkan persoalan iqamah bagi wanita selaras dengan penetapan hukum apakah wanita boleh menjadi imam dalam salat jemaah atau tidak.
Sebagian fukaha menyatakan bahwa pada dasarnya kaum wanita mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum pria dalam semua bentuk ibadah, baik ibadah wajib maupun ibadah sunah, kecuali ada dalil khusus yang mentakhsiskannya (mengecualikan atau mengkhususkan) dalam hal ibadah tertentu, berdasarkan dalil nas Al-Qur’an dan hadis. Iqamah dilakukan oleh wanita apabila jemaah yang hadir terdiri dari kaum wanita.
Dalam hal ini wanitalah yang melakukan iqamah dan wanita pula yang akan menjadi imam, sehingga pelaksanaan kewajiban salat dapat didirikan secara berjemaah. Apabila jemaah yang hadir pada waktu itu merupakan campuran antara kaum pria dan wanita, maka menurut jumhur (sebagian besar) ulama, yang harus melakukan azan serta iqamah dan menjadi imam adalah pria yang memenuhi syarat, dan bukan wanita.
DAFTAR PUSTAKA
Fathi ar-Rarini. al-Fiqh al-Islami al-Muqarrin ma‘a al-Madzahibi. Damsyiq: Muktaba’ah Tharibin, 1980.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
Sudirman