Inseminasi Buatan

(artificial insemination)

Inseminasi buatan adalah sebuah metode untuk memasukkan sperma ke dalam rahim dengan cara tertentu selain dengan cara alami (persetubuhan). Prosedur inseminasi sudah digunakan secara luas dalam peternakan hewan dan untuk seorang wanita yang suaminya mandul.

Inseminasi pada Hewan. Dalil tentang inseminasi buatan pada hewan tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, sunah Nabi Muhammad SAW, dan kajian fikih klasik. Karena itu, pembahasannya dilakukan ulama modern melalui ijtihad dengan melibatkan para ilmuwan dari berbagai cabang ilmu. Hal ini dimaksudkan agar hukum yang ditetapkan dapat bertahan dan benar.

Inseminasi buatan bertujuan agar hewan ternak yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia dapat lebih dikembangkan sehingga menghasilkan hewan yang lebih sehat dan penuh gizi. Keuntungan yang diperoleh melalui inseminasi buatan antara lain adalah perbaikan mutu genetik dan pengendalian berbagai penyakit pada hewan. Di samping itu, inseminasi buatan juga membawa keuntungan bagi perekonomian perseorangan maupun kelompok.

Dalam fikih Islam, pembahasan inseminasi buatan terhadap hewan diawali dengan pembahasan tentang jenis hewan yang haram untuk dimakan. Menurut Mahmud Syaltut, hewan yang haram dimakan hanya terdiri dari sepuluh jenis. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 3:

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk (binatang lain), dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) binatang yang disembelih untuk berhala”

Menurut para ahli hadis, selain hewan tersebut juga terdapat jenis lain yang haram untuk dimakan, yaitu semua binatang buas yang bertaring dan semua burung yang berkuku tajam (HR. Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud) serta keledai jinak atau peliharaan (HR. Bukhari).

Selanjutnya, berdasarkan ijtihad para ahli fikih, hewan tersebut ditambah lagi dengan semua jenis anjing (termasuk anjing laut dan anjing hutan), rubah, gajah, musang, burung rajawali, gagak, buaya, tawon, dan semua jenis ulat serta serangga, sesuai dengan ijtihad ulama masing-masing.

Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahmud Syaltut, baik dari Al-Qur’an, hadis, maupun ijtihad ulama fikih, tidak satu pun dalil yang mengharamkan memakan binatang hasil inseminasi buatan.

Menurut Muhammad Rasyid Rida, syarat dalam menentukan halal atau haramnya makan seekor binatang selain berdasarkan Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW adalah binatang itu sehat, bersih, dan lezat. Karena itu, Islam sangat menganjurkan untuk mengembangbiakkan segala jenis binatang yang halal tanpa menyebutkan cara pengembangbiakannya.

Banyak ayat Al-Qur’an yang menganjurkan umat manusia untuk memanfaatkan alam, termasuk hewan, demi kesejahteraan dan kebahagiaan hidup mereka, selama upaya itu tidak berbentuk kelaliman terhadap makhluk Allah SWT (QS.16:5–8 dan 50:9–11).

Menurut Mahmud Syaltut, tidak ada larangan melakukan inseminasi buatan terhadap hewan, karena hewan yang dikembangbiakkan melalui cara ini lebih sehat dan segar dibandingkan dengan cara alamiah. Hal ini memberikan dampak positif kepada kehidupan manusia.

Dasar hukum diperkenankannya melakukan inseminasi buatan terhadap hewan adalah kias terhadap inseminasi tumbuhan yang banyak dilakukan penduduk Madinah pada zaman Nabi SAW. Pada masa awal berada di Madinah, Beliau melihat banyak petani melakukan perkawinan silang (pembuahan buatan) antar tumbuhan.

Ketika itu, Nabi SAW mengatakan tidak perlu melakukan hal tersebut. Ternyata, buah yang dihasilkan tumbuhan secara alamiah itu banyak yang rusak. Lalu petani menyampaikan hal ini kepada Nabi SAW. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Lakukanlah pembuahan buatan itu karena kamu lebih tahu tentang urusan duniamu” (HR. Ahmad bin Hanbal).

Mahmud Syaltut menyatakan apabila inseminasi buatan terhadap tumbuhan dibolehkan syariat Islam, inseminasi buatan pada hewan juga dibolehkan, bahkan lebih dianjurkan karena keuntungan dari komoditas hewan lebih besar jika dibandingkan dengan komoditas tumbuhan.

Hal senada juga dikemukakan Imam as-San’ani, ahli hadis dari Yaman. Ia menyatakan bahwa inseminasi pada hewan lebih utama dari inseminasi tumbuhan, karena kegunaan hewan lebih banyak dan luas dibandingkan inseminasi tumbuhan. Menurutnya, kias seperti ini oleh para ahli usul fikih disebut sebagai qiyas aulawi (analogi paling utama).

Di samping itu, diperkenankannya inseminasi buatan pada hewan sejalan dengan kaidah fikih yang menyatakan al-asl fi al-asyys’ al-ibahah hatta yadulla ad-dalil ‘ala tahrimih (pada dasarnya segala sesuatu itu boleh dikerjakan, sehingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya). Karena itu, ulama fikih modern membolehkan inseminasi buatan pada hewan.

Akan tetapi, menurut Wahbah az-Zuhaili (ahli fikih Universitas Damascus), para petani harus mempertimbangkan keberadaan hawa nafsu pada hewan. Apabila seekor hewan hanya dikembangbiakkan melalui inseminasi buatan, secara moral hal tersebut bukan tindakan yang baik karena upaya ini bisa memutuskan sama sekali gairah jinsiyyah (nafsu seksual) hewan yang merupakan fitrah Allah SWT. Karenanya, perlu pertimbangan dalam melakukan inseminasi buatan terhadap hewan sehingga haknya sebagai makhluk Allah SWT tidak terabaikan.

Inseminasi pada Manusia. Cara yang digunakan para ahli medis dalam melakukan inseminasi buatan pada manusia sama dengan yang dilakukan pada hewan, yaitu mengambil sel benih pria (sperma) kemudian menginjeksikannya ke dalam vagina atau rahim wanita.

Inseminasi buatan pada manusia juga merupakan masalah ijtihad fikih modern. Bagi kalangan ahli fikih modern, pembahasannya lebih mengacu kepada pertimbangan kemaslahatan umat manusia, khususnya kemaslahatan suami-istri.

Menurut Mahmud Syaltut, inseminasi buatan pada manusia dibolehkan apabila upaya untuk mendapatkan anak secara alamiah tidak mendatangkan hasil. Inseminasi ini dilakukan pada pasangan suami-istri yang sah dengan menggunakan sperma dari suaminya. Sebagai syaratnya, kebutuhan untuk memperoleh keturunan bagi suami-istri tersebut sudah sangat diperlukan. Hal ini didasarkan pada kaidah al-hajah tanzilu manzilah ad-darurah (kebutuhan yang sangat penting menduduki [diperlakukan seperti] keadaan darurat).

Di samping melalui cara inseminasi buatan, dunia kedokteran juga mengembangkan upaya medis untuk mendapatkan keturunan melalui bayi tabung. Bayi tabung dihasilkan melalui proses pembuahan antara sperma dan sel telur (ovum) yang dilakukan di luar tubuh manusia. Ada dua cara yang ditempuh para ahli medis dalam melakukan pembuahan ini.

(1) Fertilitatio in vitro (Lat.; FIV; pembuahan dalam tabung), dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri kemudian dilakukan pembuahan secara buatan antara kedua sel tersebut dalam sebuah cawan atau tabung gelas (in vitro). Hasil pembuahan ditanamkan ke dalam rahim istri, sehingga istri mengandung dan melahirkan sebagaimana umumnya.

(2) Tandur alih gamet intratuba (Tagit). Pada proses Tagit, campuran antara sperma dan ovum langsung dimasukkan ke dalam saluran telur (Lat.: tuba fallopii) istri. Dengan demikian, pembuahan terjadi dalam saluran telur dan selanjutnya tertanam secara alamiah dalam rahim istri.

Masalah bayi tabung mendapat tanggapan umat Islam secara luas. Pembahasannya juga tidak dijumpai dalam fikih klasik. Pada sidangnya 1986 di Amman, Yordania, Majma‘ al-Buhuts al-Islamiyyah dan Lembaga Fikih Islam yang berada di bawah naungan Organisasi Konferensi Islam (OKI) membahas masalah bayi tabung.

Dalam kesimpulannya dikemukakan bahwa jika proses bayi tabung dilakukan dengan tujuan membantu suami-istri yang tidak bisa mendapatkan anak melalui cara alamiah, tindakan itu dapat ditoleransi. Sebagai syaratnya, sperma dan ovum yang diproses itu harus berasal dari suami-istri yang sah dan ditempatkan kembali ke rahim istri pemilik ovum tersebut.

Namun, apabila seorang suami mempunyai dua orang istri, kemudian salah satu di antaranya melakukan bayi tabung dengan cara mengambil ovum dari istrinya yang lain untuk ditanamkan pada rahimnya, tindakan ini tidak dapat dibenarkan. Kesimpulan senada juga dikemukakan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamar 1980.

Majelis ini menyatakan bahwa kedua metode bayi tabung (FIV dan Tagit) dapat digunakan apabila sperma dan ovum yang diproses menjadi embrio itu merupakan milik suami-istri yang sah dan ditempatkan pada rahim pemilik ovum tersebut. Apabila ovum dan/atau sperma yang dicampur itu berasal dari donor, maka hukumnya haram, karena dalam syariat Islam pencampuran antara sperma dan ovum hanya dapat dibenarkan apabila dilakukan oleh suami-istri yang sah.

Karena itu, dilarang menggunakan sperma dan/atau ovum donor dalam proses bayi tabung. Bahkan, tindakan ini dapat dianggap sebagai zina. Diperkenankannya mendapatkan keturunan melalui bayi tabung bagi suami-istri yang mengalami masalah fertilisasi alamiah dianggap sebagai suatu keadaan yang amat dibutuhkan. Keadaan ini dalam fikih Islam dapat menempati posisi darurat. Karenanya, upaya yang dilakukan harus melalui cara yang dapat diterima syariat Islam dan penuh kehati-hatian.

Landasan hukum yang digunakan lembaga ini dalam mengemukakan pendapatnya tersebut antara lain adalah hadis Rasulullah SAW yang menganjurkan agar umat Islam mempunyai keturunan (HR. Ahmad bin Hanbal dari Anas bin Malik; Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan an-Nasa’i dari Ma’qal bin Yassar).

Di samping itu, mereka juga beralasan pada kaidah fikih al-hajah tanzilu manzilah ad-darurah, wa ad-darurah tubihu al-mahzurat (kebutuhan [yang sangat penting] dapat menempati posisi darurat, dan [keadaan] darurat itu membolehkan yang dilarang).

Alasan mereka tentang haramnya mendapatkan keturunan melalui bayi tabung melalui donor antara lain adalah sebagai berikut.

(1) Firman Allah SWT dalam surah at-Tin (95) ayat 4: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”; dan firman Allah SWT: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam” (QS.17:70).

Menurut ulama, kedua ayat ini menunjukkan bahwa manusia itu makhluk istimewa. Apabila proses bayi tabung melalui donor diperkenankan, nilai kemuliaan dan keistimewaan manusia akan hilang. Bahkan hal tersebut dianggap sebagai perbuatan hewan yang tidak mempermasalahkan percampuran sperma dan ovum.

(2) Rasulullah SAW bersabda, “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan air (sperma)-nya pada tanaman orang lain (vagina istri wanita lain)” (HR. Abu Dawud, at-Tirmizi, dan Ibnu Hibban).

Hadis ini bukan saja melarang penyiraman sperma ke vagina wanita yang bukan istrinya melalui hubungan seksual, tetapi juga melalui proses bayi tabung, yaitu pencampuran sperma dan ovum yang tidak diikat dengan perkawinan yang sah di luar rahim.

Hubungan seksual antara suami-istri antara lain bertujuan mendapatkan keturunan yang halal dan diridai Allah SWT. Karena itu, sperma seorang suami hanya boleh ditumpahkan di tempat yang telah dihalalkan Allah SWT, yaitu istri yang sudah dinikahi.

Dalam kaitan inilah Lembaga Fikih Islam OKI menyatakan bahwa memproses bayi tabung dengan mencampurkan sperma dan/atau ovum donor merupakan suatu perbuatan prostitusi yang dilarang syariat Islam. Akibat dari pencampuran secara donor ini, anak tersebut akan berstatus sebagai anak yang lahir di luar nikah.

Ia tidak mempunyai nasab ayah dan tidak mendapatkan warisan dari suami ibunya. Warisan dan nasabnya hanya dari wanita pemilik ovum. Karena itu, menurut Nuruddin Atr (ahli hadis Universitas Damascus), persoalan sperma dan ovum dalam Islam merupakan persoalan yang mengandung arti luas dan penyalurannya harus melalui tuntunan syarak.

Mencampurkan sperma dengan ovum tanpa melalui akad nikah yang sah mengakibatkan jatuhnya martabat manusia menjadi hewan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-A‘raf (7) ayat 179: “Mereka itu seperti binatang, bahkan lebih sesat lagi”

Bank Sperma. Bank sperma didirikan dengan tujuan menyediakan donor sperma bagi pasangan suami-istri yang membutuhkan dan membantu menentukan jenis sperma yang diinginkan. Melalui bank ini juga bisa dilakukan upaya untuk menyeleksi keturunan melalui bio-genetika dan bio-teknologi agar diperoleh anak yang jenius.

Berdasarkan pembahasan ulama fikih tentang haramnya proses bayi tabung melalui donor, kehadiran bank sperma ini juga bertentangan dengan ajaran Islam. H Masjfuk Zuhdi (ahli fikih Indonesia) secara tegas menentang kehadiran bank sperma di Indonesia dan mengimbau pemerintah Indonesia untuk tidak melegalisasi upaya pendirian bank tersebut.

Menurutnya, hal tersebut menjatuhkan martabat manusia dan merupakan cara yang bertentangan dengan makna perkawinan Islam. Hal yang sama juga dikemukakan Lembaga Fikih Islam OKI, Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan Majma‘ al-Buhus al-Islamiyyah. Haramnya kehadiran bank sperma tidak hanya muncul dari kalangan Islam, tetapi juga disuarakan oleh Vatikan (Gereja Katolik).

DAFTAR PUSTAKA

Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir Al-Qur’an al-Karim. Cairo: Dar al-Manar, 1367 H/1948 M.

as-Sakari, Abdussalam Abdurrahim. al-A‘da’ al-Ïdamiyyah min Manzur al-Islam. Cairo: Dar al-Misriyah li at-Tiba‘ah wa at-Tauzi‘, 1409 H/1987 M.

as-San‘ani, Muhammad bin Ismail al-Kahlani. Subul as-Salam. Riyadh: Jami’ah bin Su‘ud al-Islamiyah, 1408 H/1987 M.

Syaltut, Mahmud. al-Fatawa. Cairo: Dar al-Qalam, t.t.

Zuhdi, Masyfuk. al-Masa’il Fiqhiyyah. Jakarta: Haji Masagung, 1994.

Nasrun Haroen