Insan Kamil

(Ar.: al-insan al-kamil)

Insan kamil berarti “manusia sempurna”, berasal dari kata al-insan (manusia) dan al-kamil (sempurna). Istilah ini merupakan konsep filosofis yang muncul pertama kali dari gagasan seorang sufi besar, Ibnu Arabi (1165–1240). Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365–1428), pengikutnya, kemudian mengembangkannya menjadi bagian renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.

Al-Jili merumuskan insan kamil itu dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-saqiqah al-Muhammadiyyah) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW sebagai rasul (utusan Tuhan), tetapi juga sebagai nur (cahaya roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan dalam jagad raya.

Nur Ilahi, yang kemudian lebih dikenal dengan istilah Nur Muhammad oleh kalangan sufi, di samping terdapat dalam diri Muhammad SAW, juga telah dipancarkan Tuhan ke dalam diri Adam AS.

Paham demikian dianggap selaras dengan sabda Nabi SAW yang menyatakan, “Aku (Muhammad) adalah seorang nabi, sama halnya dengan Adam yang tampak wujudnya di antara air dan tanah” (HR. Bukhari). Dengan demikian, penampakan Nur Muhammad telah terjadi sejak Adam AS dan tidak terhenti sampai wafatnya Nabi Muhammad SAW saja, tetapi masih terus muncul dalam diri para wali.

Al-Jili, dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma‘rifah al-Awakhir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir), mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasi insan kamil dalam dua pengertian.

Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru manusia. Semakin seseorang memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka semakin sempurnalah dirinya.

Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya.

Menurut al-Jili, dalam pengertian yang kedua itulah, nama esensial dan sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yakni sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya.

Hal ini dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yakni Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya. Seperti cermin yang dipakai seseorang untuk melihat bentuk dirinya dan tidak bisa melihat dirinya itu tanpa adanya cermin tersebut, demikian pula hubungan yang berlangsung antara Tuhan dan manusia sempurna.

Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan pendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani itu diawali dengan meditasi manusia tentang nama dan sifat Tuhan.

Pada tingkat kedua, ia melangkah masuk ke dalam suasana sifat Tuhan, dan di sini ia mulai mengambil bagian dalam sifat Ilahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.

Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam suasana hakikat mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau insan kamil. Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (Nur Muhammad).

Muhammad Iqbal tidak sepaham dengan teori para sufi seperti pemikiran al-Jili itu, yang menurutnya membunuh individualitas dan melemahkan khudi (jiwa). Iqbal memang mengakui serta memandang Muhammad SAW sebagai insan kamil, tetapi tanpa penafsiran secara mistik.

Insan kamil versi Iqbal tidak lain adalah sang mukmin, yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi tergambar dalam akhlaq nabawi (akhlak Nabi SAW).

Insan kamil bagi Iqbal adalah sang mukmin yang merupakan makhluk moralis yang dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi. Untuk menumbuhkan kekuatan dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan menghayati akhlak Ilahi. Sang mukmin menjadi tuan terhadap nasibnya sendiri dan secara tahap demi tahap mencapai kesempurnaan.

Menurut Iqbal, proses lahirnya insan kamil melalui tiga tahap, yaitu: (1) ketaatan pada hukum, (2) penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang pribadi, dan (3) kekhalifahan Ilahi.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Djohan. “Adam, Khudi, dan Insan Kamil: Pandangan Iqbal tentang Manusia,” Insan Kamil Konsepsi Manusia menurut Islam, ed. Dawam Rahardjo. Jakarta: Grafiti Pers, 1987.

al-Jili, Abdul Karim bin Ibrahim. al-Insan al-Kamil fi Ma‘rifah al-Awakhir wa al-Awa’il. Beirut: Dar al-Fikr, 1975.

Nasr, Sayid Husein. Living Sufisim. London: Unwin Paperbacks, 1980.

Tirmingham, J. Spencer. The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University Press, 1973.

Zamharir, Hari. “Insan Kamil: Citra Sufistik al-Jili tentang Manusia,” Insan Kamil Konsepsi Manusia menurut Islam, ed. Dawam Rahardjo. Jakarta: Grafiti Pers, 1987.

Muhammad Hasyim