Indonesia merupakan negara kepulauan dan berpenduduk muslim terbesar di dunia. Terdapat 17.000 pulau menjadi bagian integral negara ini. Jumlah penduduk sekitar 278.404.000 jiwa (data 2022) menjadikan Indonesia negara berpenduduk terbesar keempat, setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Sekitar 90% penduduk beragama Islam, umumnya penganut ahlusunah waljamaah bermazhab Syafi‘i.
Indonesia terbentang di kawasan 6° LU sampai 11° LS dan dari 9° sampai 141° BT. Secara geografis, wilayah Indonesia terbentang di antara dua samudera (Hindia dan Pasifik) dan dua benua (Asia dan Australia). Luas wilayahnya mencapai 1.948.732 km2 dengan bentangan terpanjang timur-barat 5.150 km, utara-selatan 1.930 km.
Wilayah Indonesia sebanding dengan bentangan Amerika Serikat, mulai dari pantai timur sampai ke pantai barat, atau dengan daratan Eropa mulai dari London di Inggris sampai ke Istanbul di Turki. Apabila perairan kepulauan Indonesia digabungkan, maka luasnya 3.186.348 km2.
Di antara ribuan pulau tersebut, terdapat lima pulau besar di Indonesia, yaitu Jawa dengan luas 132.107 km2, Sulawesi dengan luas 189.216 km2, Papua dengan luas 421.981 km2, Sumatera dengan luas 473.606 km2, dan Kalimantan (pulau terbesar ketiga di dunia) dengan luas 539.460 km2.
Kepulauan Indonesia terbentuk pada zaman Miosen (12 juta tahun SM), Paleosen (70 juta tahun SM), Eosen (30 juta tahun SM), Oligasen (25 juta tahun SM). Sehubungan dengan datangnya orang dari daratan Asia, maka Indonesia dipercaya sudah ada pada zaman Plestosen (4 juta tahun SM).
Indonesia terdiri dari banyak provinsi. Setiap provinsi mempunyai ibukota dan dikepalai seorang gubernur. Provinsi terdiri dari pemerintah daerah kota (sebelum tahun 2001 disebut kota madya) dan pemerintah daerah kabupaten. Masing-masing kota dan kabupaten dipimpin seorang wali kota dan bupati. Masing-masing kota dan kabupaten ini terdiri atas beberapa kecamatan yang dipimpin seorang camat; dan sistem pemerintahan terkecil di Indonesia adalah kelurahan yang dipimpin lurah.
Indonesia dijuluki Zamrud Khatulistiwa karena terletak di khatulistiwa, Kepulauan Surga karena keindahan alamnya, dan Harta Karun Asia karena kekayaan alamnya. Karena terdiri dari kepulauan, Indonesia terkenal dengan sebutan Nusantara. Posisi yang strategis ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi Indonesia.
Perkembangan sosial-budaya di negara ini sangat pesat terutama sejak kedatangan para musafir, baik sebagai guru sufi maupun pedagang muslim yang berasal dari Arab, Persia, dan India Selatan, khususnya yang melewati wilayah dan pesisir seperti Gujarat. Kedatangan mereka secara otomatis melahirkan sebuah interaksi baik secara kultural maupun ekonomis.
Masa Islamisasi. Secara historis kedatangan para musafir ke kepulauan Nusantara diduga berlangsung sejak abad ke-7 M. Mereka memperkenalkan Islam melalui interaksi budaya dan pemahaman keagamaan yang bersifat sufistik. Itulah sebabnya kedatangan Islam ke negeri ini berlangsung secara damai.
Proses islamisasi di bumi Nusantara ini juga berlangsung melalui proses pernikahan antara para penyebar agama Islam (mubalig) dan penduduk setempat, sehingga Islam dapat berkembang secara turun-temurun. Menguatnya penyebaran Islam juga didukung oleh intensitas perdagangan yang semakin meningkat antara kaum pendatang dan penduduk setempat (pribumi).
Berlangsungnya penyebaran Islam ke negeri ini juga tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Samudera Hindia yang telah menjadi kawasan perdagangan Arab dan jalan dagang Teluk Persia-Tiongkok yang berlangsung sejak abad ke-5 M. Pada abad ke-10 Malaka menjadi pelabuhan penting bagi pedagang muslim di Asia. Kenyataan ini semakin memperkuat berlangsungnya penyebaran Islam di kepulauan Nusantara terutama di daerah pesisir (pantai).
Bukti sejarah menunjukkan bahwa pada abad ke-11 ditemukan permukiman Islam di kota pesisir Nusantara. Hal ini antara lain terbukti dengan ditemukannya batu nisan dengan nama Fatimah binti Maimun (w. 475 H/1082 M) di Leran, Gresik; demikian pula makam Sultan Malikush Shaleh (1270–1297), raja pertama Kerajaan Samudera Pasai di Aceh, dan makam wanita Islam, Tuhar Amisuri (602 H/1206 M) di Barus, pantai barat Pulau Sumatera.
Karena corak keislaman yang dibawa oleh para guru sufi pengembara bersifat sufistik, maka wajar apabila kemudian tumbuh tarekat seperti Kadiriyah, Khalawatiyah, Naqsyabandiyah, Rifaiyah (tarekat yang didirikan oleh Syekh Ahmad bin Ali Abul Abbas ar-Rifa‘i [w. 578 H/1183 M]), Samaniyah, Syattaryiah, Syaziliyah, dan Tijaniyah. Juga muncul tokoh sufi, misalnya Syekh Hamzah Fansuri (w. 1610), Syekh Syamsuddin Sumatrani (w. 1630), Syekh Abdur Rauf bin Ali Fansuri (hidup 1660), dan Syekh Burhanuddin Ulakan (w. 1691).
Seiring dengan perkembangan sosial kemasyarakatan, islamisasi yang berlangsung di bumi Nusantara tidak saja berkutat pada dimensi sosio-kultural, tetapi juga politik yang terkait dengan kekuasaan. Pada abad ke-13 kerajaan Islam telah berdiri di Nusantara, misalnya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara yang pada 1325 dikunjungi Ibnu Batutah, seorang pengembara dari Maroko.
Ia menemui Sultan Muhammad Malik Zahir (1297–1326), putra Sultan Malikush Shaleh, yang dikenal sebagai seorang yang alim dan saleh. Di istana dan masjid yang dibangunnya sering diadakan pertemuan dan diskusi mengenai masalah keagamaan dengan para ulama terkemuka, yang berdatangan dari berbagai pusat peradaban Islam.
Kenyataan tersebut sekaligus menjadi bukti sejarah tentang meluasnya pusat kekuasaan Islam di Nusantara dan merupakan masa kemajuan Islam. Pada masa inilah Aceh, Demak, Giri, Ternate/Tidore, Gowa dan Tallo di Makassar muncul sebagai pusat kekuasaan, perdagangan, dan keilmuan Islam. Dari pusat inilah Islam tersebar ke seluruh Nusantara.
Dari Samudera Pasai dan Aceh Darussalam, Islam antara lain menyebar ke Minangkabau, dari Minangkabau ke Gowa dan Tallo di Sulawesi Selatan, dan dari Gowa dan Tallo menyebar lagi terus ke Bima serta Kutai. Dari Demak, Cirebon, dan Giri, Islam menyebar ke Lombok, Sumbawa, Ternate/Tidore, dan Hitu; dari Ternate menyebar lagi ke Sulawesi Utara, Irian Jaya, dan Nusa Tenggara Timur.
Kelompok yang berperan penting dalam penyebaran Islam adalah para guru sufi pengembara yang dikenal di pulau Jawa dengan istilah Wali Songo (Wali Sembilan). Dalam perkembangannya proses islamisasi dilanjutkan oleh para ulama dan para mubalig yang telah dibina di pusat pendidikan Islam, seperti pesantren dan surau. Pusat tersebut berfungsi sebagai tempat pendidikan, tempat kaum ulama, dan pusat penyebaran Islam. Pada sisi lain, peran pedagang dan penguasa kerajaan Islam itu sangat besar dalam penyebaran agama Islam.
Sejak abad ke-17 Islam telah menyebar ke seluruh Nusantara melalui berbagai saluran, seperti perdagangan, perkawinan, birokrasi pemerintahan, pendidikan (pesantren), mistik, dan cabang seni. Namun demikian, sampai abad tersebut belum ada organisasi Islam yang ditata secara rapi dan teratur.
Penyebaran Islam yang didukung kekuasaan dengan sendirinya memberikan nuansa baru bagi perkembangan Islam itu sendiri. Islam yang pada awalnya lebih menekankan dimensi tasawuf, karena memang dibawa oleh para guru sufi pengembara, mulai bersentuhan dengan masalah kekuasaan atau politik. Sultan atau raja sebagai pucuk pimpinan yang memegang kekuasaan Islam adalah penguasa sekaligus pengembang Islam.
Sultan atau raja mengadakan konsultasi dengan para ulama dalam setiap kebijakan yang hendak dijalankan, sebagaimana terlihat misalnya pada Raden Fatah, raja Kesultanan Demak yang selalu menghargai petunjuk Wali Songo. Pada titik ini, pengembangan Islam tidak hanya mengandalkan wilayah kultural, tetapi juga struktural.
Masa Penjajahan. Perkembangan Islam yang merambah dari berbagai dimensi mulai mendapat hambatan sejak kedatangan kaum penjajah Eropa pada abad ke-16. Pada awalnya kedatangan kekuatan Eropa ini lebih disebabkan kepentingan ekonomi kaum penjajah.
Mereka mendapat perlawanan dari kerajaan-kerajaan Islam, misalnya Kerajaan Islam Demak terhadap Portugal di Malaka (1512), Sultan Khairuddin dan Sultan Babullah terhadap Portugal di Ternate, Tidore terhadap Spanyol, Aceh terhadap Portugal di Malaka, dan Sultan Hasanuddin dari Gowa serta Tallo terhadap VOC. Karena motivasinya lebih pada kepentingan dagang, masa ini disebut fase persaingan dagang.
Agresi kaum penjajah Belanda yang semakin kuat menyebabkan perlawanan yang semakin sengit dari beberapa kerajaan Islam. Hal ini antara lain terlihat dari penyerbuan yang dilakukan oleh Sultan Agung (Mataram) ke Batavia (1627 dan 1629), perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa dengan dukungan Syekh Yusuf (Makassar) terhadap penetrasi VOC ke Banten (1680), dan perlawanan Kesultanan Aceh terhadap agresi Hindia Belanda (1873), yang merupakan awal dari perjuangan Aceh yang berkepanjangan terhadap Belanda.
Realitas ini menunjukkan, penjajahan tidak hanya dilatarbelakangi kepentingan persaingan dagang, tetapi juga upaya penaklukan wilayah melalui agresi. Di dalamnya terkandung kepentingan ekonomi sekaligus kekuasaan. Itulah sebabnya masa ini disebut fase penetrasi dan agresi.
Sejalan itu, upaya perluasan wilayah jajahan terus dilakukan kaum penjajah. Keberhasilan Belanda menaklukkan beberapa wilayah di kepulauan Nusantara semakin mendorong mereka untuk meluaskan wilayah jajahannya ke daerah lain. Di sisi lain, hal ini semakin mendorong umat Islam untuk memberikan perlawanan terhadap upaya pemerintah kolonial tersebut.
Hal inilah yang memicu terjadinya berbagai perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, misalnya Perang Diponegoro di Jawa (1825–1830), Perang Paderi di Sumatera (1821–1837), dan Perang Banjar di Kalimantan (1859– 1905) yang dipimpin oleh Pangeran Antasari (w. 11 Oktober 1862). Sesuai dengan kepentingan pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19 ini, maka masa itu disebut fase perluasan daerah jajahan.
Penjajahan yang semakin menguat telah melahirkan kesengsaraan pada masyarakat pribumi. Namun seiring dengan itu, penindasan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda tetap memberikan semangat perlawanan dari penduduk. Misalnya, pemberontakan para petani Banten di bawah bimbingan para ulama yang dikenal dengan “Geger Cilegon” (1886) dan pemberontakan petani lainnya, yang didukung sepenuhnya oleh para pemimpin Islam, khususnya ulama. Masa ini disebut fase penindasan.
Hubungan umat Islam Nusantara dengan dunia luar yang sudah intensif sejak abad ke-16 semakin menemukan momentum pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Keterlibatan umat Islam Nusantara dengan dunia Islam lainnya semakin meningkat, tidak hanya dengan Mekah dan Madinah, tetapi juga dengan Cairo. Jumlah jemaah haji dan pelajar yang menuntut ilmu di Timur Tengah dan kemudian kembali ke Indonesia juga terus meningkat.
Dorongan perlawanan dan pemberontakan atas penindasan penjajah Belanda terhadap kaum muslimin Indonesia menjadi bagian penting dari ajaran Islam yang diberikan para ulama. Islam tidak hanya menjadi kekuatan mata rantai yang mengikat tali persaudaraan, tetapi juga menjadi simbol solidaritas melawan penjajah asing dan penindas yang berasal dari agama lain.
Ini pula yang mendorong umat Islam untuk membentuk organisasi kemasyarakatan yang memberikan landasan kuat bagi langkah ke depan. Itulah sebabnya pada awal abad ke-20 mulai bermunculan organisasi yang didorong semangat perlawanan terhadap penjajah.
Pada 16 Oktober 1905, berdirilah Sarekat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi dagang yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup bumiputra. Baru 3 tahun kemudian, tepatnya pada 20 Mei 1908, berdiri Budi Utomo yang bertujuan untuk memperbaiki pendidikan dan ekonomi.
Keberadaan SDI bertahan selama 7 tahun. Pada 10 September 1912, SDI berubah menjadi Sarekat Islam (SI) yang terutama bertujuan untuk membebaskan bumiputra dari kemelaratan dan kebodohan. Inilah perwujudan politik Islam pada awal pergerakan kebangsaan di negeri ini.
Sarekat Islam berkembang pesat menjadi organisasi politik nasional pertama dan menyebar ke berbagai wilayah di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi. Sarekat Islam berhasil menjadi organisasi nasionalisme pertama, tidak saja karena memiliki agenda untuk kemerdekaan Indonesia, tetapi juga karena berhasil menghimpun dukungan massa tanpa terjebak pengelompokan dalam masyarakat.
Sarekat Islam memperoleh dukungan tidak saja dari para pedagang muslim, tetapi juga dari para buruh, kiai, petani, dan para priyayi di Nusantara. Ini pula yang pada akhirnya menjadi inspirasi bagi tumbuhnya partai politik Islam lainnya, seperti Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) dan Partai Islam Indonesia (PII).
Di bidang sosial-budaya tumbuh organisasi Islam yang tidak kalah pentingnya bagi pengembangan Islam di Indonesia, yaitu Muhammadiyah (1912), Persatuan Islam/ Persis (1923), Nahdlatul Ulama/NU (1926), Majelis Islam A’la Indonesia/MIAI (1937), dan Persatuan Umat Islam/PUI (1952). Organisasi tersebut ikut membangkitkan kesadaran umat Islam, baik secara spiritual, intelektual, maupun sosial-kultural.
Semangat perlawanan dan nasionalisme di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda, semakin terlihat sejak dilangsungkannya Kongres Pemuda, yang kemudian mencetuskan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Pada masa akhir penjajahan Belanda, tekanan dan penindasan terhadap aktivitas politik umat Islam semakin keras.
Tidak heran apabila kedatangan pasukan Jepang pada Maret 1942 mendatangkan harapan baru dan menghadirkan simpati dari pemimpin Islam. Pendudukan Jepang yang berlangsung selama 3 tahun memberikan peluang yang jauh lebih besar bagi umat Islam untuk memperkuat basis sosial-politiknya.
Walaupun mendapat hambatan dari kelompok nasionalis atas bangkitnya politik Islam, pemerintah Jepang ternyata lebih memilih beraliansi dengan para pemimpin Islam. Jepang yang menyebut dirinya sebagai “saudara tua” Indonesia berusaha memobilisasi seluruh penduduk dalam rangka mendukung perang mereka melawan tentara Sekutu.
Ini terlihat dari akomodasi yang diberikan pemerintah Jepang terhadap kepentingan umat Islam, termasuk membiarkan MIAI tetap hidup. Salah satu bentuk sikap akomodatif tentara Jepang terhadap kepentingan umat Islam pada saat itu adalah dibentuknya Shumubu (Kantor Departemen Agama) di ibukota Jakarta. Pada Agustus 1944 dibuka cabang Shumubu yang disebut Shumuka di seluruh kepulauan Indonesia.
Pada awalnya kepemimpinan Shumubu dipegang militer Jepang sendiri, yaitu Kolonel Horie. Namun tidak lama kemudian jabatan tersebut diserahkan kepada Prof. Husein Djajadiningrat dan dilanjutkan KH Hasyim Asy’ari. Keuntungan lain yang diperoleh umat Islam pada saat itu adalah pembentukan Hizbullah, yakni organisasi militer untuk pemuda muslim; Sabilillah, yakni organisasi militer untuk para ulama; dan Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).
Dengan dibentuknya lembaga keagamaan (Shumubu dan Shumuka) dan lembaga kemiliteran, umat Islam dengan sendirinya mendapatkan dua manfaat sekaligus, yaitu pengalaman organisasi (birokrasi) dan pengalaman memiliki kekuatan paramiliter. Dua pengalaman ini tidak pernah didapatkan umat Islam pada masa penjajahan Belanda.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam upaya persiapan kemerdekaan, Jepang lebih banyak mendekati kaum nasionalis. Walaupun melibatkan tokoh Islam, untuk posisi kepemimpinan beberapa badan atau komite, Jepang menyerahkannya kepada kelompok nasionalis. Seperti, dalam Dewan Penasihat (Sanyo Kaigi) dan Badang Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan (BPUPKI) yang dibentuk pada 9 April 1945.
Dalam badan inilah perdebatan antara kelompok Islam dan nasionalis semakin menguat. Kelompok Islam antara lain terdiri dari Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, dan A. Wahid Hasyim. Sementara kelompok nasionalis mencakup antara lain Soekarno, Mohammad Hatta, dan Supomo.
Dalam badan tersebut perdebatan terpusat pada masalah relasi Islam dengan negara. Tema yang diperdebatkan antara lain adalah dasar ideologi dan konstitusi negara, agama presiden Indonesia, kemungkinan Islam menjadi agama negara, kemungkinan adanya aparat atau badan yang relevan bagi penerapan hukum Islam, dan kemungkinan menjadikan Jumat sebagai hari libur.
Perdebatan ideologis-politik sengit tentang relasi Islam dengan negara antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis tidak serta-merta menutup kerjasama di antara mereka. Bahkan Soekarno yang sejak awal menentang menjadikan Islam sebagai agama negara, menjalin hubungan erat dengan para pemimpin Islam, seperti HOS Tjokroaminoto.
Dalam hal dasar negara, Soekarno memberikan lima prinsip pokok yang kemudian menjadi lima dasar dalam Pancasila. Kelima prinsip pokok tersebut adalah kebangsaan (nasionalisme), internasionalisme atau perikemanusiaan, musyawarah atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan.
Untuk menjembatani perbedaan antara kelompok Islam dan nasionalis menyangkut hubungan Islam dan negara, dibentuklah panitia kecil yang terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Subardjo, Muhammad Yamin, Abikusno Tjokrosujoso, A. Kahar Muzakkir, Agus Salim, A. Wahid Hasyim, dan A.A. Maramis.
Panitia kecil ini menyusun sebuah kesepakatan tentang posisi Islam dalam Pembukaan UUD 1945 yang dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta.
Masa Kemerdekaan dan Orde Lama. Kemerdekaan Indonesia, yang ditandai pembacaan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, menempatkan Soekarno (1901–1970) dan Mohammad Hatta (1902–1980) sebagai presiden dan wakil presiden.
Sehari setelah kemerdekaan, tepatnya pada 18 Agustus 1945, Piagam Jakarta dipersoalkan karena menurut laporan seorang pejabat angkatan laut Jepang kepada Hatta, orang Kristen dari wilayah Nusantara timur akan memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia, apabila bagian tertentu Piagam Jakarta tidak dihapuskan.
Atas laporan tersebut, Hatta meminta agar dilakukan penyesuaian terhadap aspirasi yang berkembang, yang meminta penghapusan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, Islam sebagai agama negara, dan persyaratan bahwa presiden harus seorang muslim, dari Pembukaan UUD 1945.
Atas permintaan tersebut beberapa tokoh Islam, seperti Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo, dan Teuku Mohammad Hassan bersedia untuk mengubahnya dan menggantikan sila pertama dengan Ketuhanan yang Maha Esa.
Pandangan kelompok Islam untuk tidak berlarut-larut dalam perdebatan ideologis dengan kelompok nasionalis lebih dilatarbelakangi semangat untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang baru diraih, apalagi ada upaya Belanda untuk kembali menjajah negeri ini. Itulah sebabnya berbagai daya dikerahkan untuk mempertahankan keutuhan dan kesatuan negara dari berbagai ancaman keamanan.
Pengorbanan inilah yang kemudian disebut Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara pada Kabinet Pembangunan III di masa pemerintahan Orde Baru sebagai “pengorbanan dan hadiah terbesar” umat Islam kepada bangsa dan negara Indonesia.
Di samping ancaman dari luar berupa kembalinya Belanda ke Indonesia, juga ada ancaman dari dalam berupa pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada 18 September 1948 di Madiun. Namun demikian, semua tantangan ini bisa diatasi, yang berlanjut pengakuan Belanda atas kedaulatan Republik Indonesia pada Desember 1949.
Sesuai pengakuan kedaulatan dari Belanda, persoalan ideologis antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis menggeliat kembali. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah maklumat yang dikeluarkan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 1 November 1945 tentang sistem multipartai, yang pada gilirannya mendorong pembentukan partai berdasarkan aliran dan ideologi masing-masing.
Maklumat ini mendapat sambutan hangat dari berbagai lapisan, termasuk dari kalangan umat Islam. Itulah sebabnya umat Islam mengadakan Kongres di Yogyakarta pada 7–8 November 1945. Dari kongres ini terbentuk sebuah partai politik Islam dengan nama Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia).
Inilah satu-satunya partai politik Islam saat itu, yang memiliki potensi cukup besar untuk mendapatkan dukungan dari seluruh umat Islam. Dua organisasi sosial kemasyarakatan terbesar, yaitu NU dan Muhammadiyah, termasuk pendukung kuat partai politik tersebut.
Kalau pada masa penjajahan, agenda utama yang dihadapi bangsa Indonesia adalah perlawanan terhadap kaum penjajah, maka pada awal masa kemerdekaan ini muncul berbagai kepentingan di antara beragam kelompok kepentingan. Termasuk, menguatnya keinginan untuk kembali memasukkan Islam sebagai landasan negara Indonesia.
Yang menjadi landasan upaya menjadikan Islam sebagai dasar negara bukanlah sekadar alasan universalitas ajaran Islam, tetapi juga lebih alasan historis. Misalnya, peran penting aktif para ulama dan pemimpin Islam dalam perjuangan merebut kemerdekaan, baik secara fisik maupun dalam diplomasi internasional.
Demikian pula dalam setiap pertempuran melawan tentara Sekutu dan Belanda, gema takbir selalu muncul sehingga Kemerdekaan 17 Agustus itu benar-benar merupakan hasil keringat, airmata, dan darah umat Islam khususnya, yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia.
Gejolak lain yang berlangsung dari dalam negeri adalah pemberontakan Darul Islam (DI) yang dipelopori S.M. Kartosuwiryo di Jawa Barat, munculnya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat, dan Perjuangan Semesta (Permesta) di Sulawesi Selatan.
Gejolak tersebut didorong kekecewaan masyarakat daerah terhadap kebijakan atau langkah yang diambil pemerintah pusat. Pemerintah tidak mampu mengatur hubungan secara baik dengan dan antarkelompok sosial-politik yang ada. Ini sekaligus menunjukkan lemahnya negara. Peristiwa yang sangat gamblang dalam konteks tersebut adalah terjadinya pemberontakan masyarakat Aceh, yang dipicu tuntutan otonomi regional yang lebih besar dalam masalah sosial, ekonomi, politik, dan agama.
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berbasis di Sumatra Barat telah menerima tuntutan masyarakat Aceh tersebut, yang kemudian ditarik kembali oleh pemerintah pusat menyusul pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia.
Gerakan yang cukup mengancam bagi pemerintah pada saat itu adalah gerakan Darul Islam yang kemudian berubah menjadi Tentara Islam Indonesia (TII). Banyak anggota gerakan ini berasal dari laskar Hizbullah, yang dulu dibentuk Jepang. Gerakan ini menamakan wilayah yang dikuasainya Darul Islam.
Kegigihan melawan penjajah pun banyak disemangati latar belakang keagamaan. Gerakan ini sangat kuat di daerah Jawa Barat. Ketika pasukan tentara nasional dipaksa mundur dari medan perang (di Jawa Barat) oleh Belanda, kelompok ini tetap bertahan.
Tentara nasional merasa bahwa menguatnya gerakan ini merupakan ancaman baru. Ketika Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda, tentara nasional kembali ke Jawa Barat, suatu wilayah yang telah diklaim sebagai wilayah Darul Islam. Langkah tentara nasional ini mendapat perlawanan keras dari TII.
Gerakan kelompok Islam garis keras ini terus meluas. Di sepanjang pesisir utara Jawa Tengah, Aceh, Sumatra bagian utara, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan menjadi tempat yang rawan. Tidak jarang satuan tentara terjepit oleh perlawanan kelompok TII. Gerakan bersenjata ini memunculkan kesadaran di kalangan tentara nasional bahwa gerakan kalangan Islam harus disikapi secara hati-hati.
Bentuk gerakan militansi Islam dengan kekuatan senjata dan upaya pendirian negara Islam kurang mendapat dukungan dari mayoritas kaum muslimin Indonesia pada umumnya. Organisasi muslim arus utama (mainstream), seperti Muhammadiyah dan NU, tidak pernah mendukung pemberontakan dan gerakan radikal seperti itu.
Walaupun secara politik terjadi perbedaan dan perdebatan yang sengit antara golongan Islam dan kelompok nasionalis, dalam konteks sosial-budaya pengembangannya tetap terus berlangsung. Misalnya, pada 8 Juli 1945 Yayasan Studi Islam mendirikan Sekolah Tinggi Islam.
Ketika pusat pemerintahan pindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 1964, lembaga ini pun ikut pindah, dan kemudian berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Fakultas agama yang ada di UII dipisahkan menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN).
Sementara itu pada 1 Juni 1957 pemerintah mendirikan lembaga pendidikan tinggi khusus dengan nama Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Pada 24 Agustus 1960 didirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang merupakan gabungan dari PTAIN dan ADIA.
Begitu pun dengan organisasi sosial di kalangan pemuda Islam. Beberapa kalangan pelajar dan mahasiswa muslim membentuk organisasi kepemudaan, seperti Pelajar Islam Indonesia (PII), yang berdiri pada November 1946; Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), berdiri pada Februari 1947; dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), berdiri pada 1956.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya bagi perkembangan keislaman di Indonesia pada masa Orde Lama ini adalah dibangunnya Masjid Istiqlal di Taman Wijayakusuma, Jakarta Pusat. Masjid besar yang pada awalnya sekadar impian dan keinginan tokoh Islam pada saat itu, seperti A. Wahid Hasyim (Menteri Agama) dan H Anwar Tjokroaminoto (tokoh Syarikat Islam), akhirnya mendapat dukungan dari Presiden Soekarno pada 1953.
Bidang lain yang terkait dengan pengembangan budaya umat Islam adalah tersedianya penerbitan Islam, baik berupa majalah maupun buku, seperti Pandji Islam, Almanak Muhammadiyah, Abadi, dan Duta Masyarakat. Sementara keberadaan pondok pesantren sebagai pusat ilmu pengetahuan agama semakin semarak dan diminati masyarakat, terutama dari berbagai pelosok pedesaan.
Dalam bidang politik, perdebatan sengit antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis-sekuler terjadi dalam Majelis Konstituante. Seluruh partai Islam seperti Masyumi, NU, PSII, dan Perti, mendukung gagasan untuk menjadikan Islam dasar ideologi negara. Masalah ini pula yang membuat sidang Majelis Konstituante mengalami jalan buntu.
Persidangan Konstituante ini berlangsung begitu lama, yaitu dari 10 November 1956-2 Juni 1959. Sementara itu, usul pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945 tidak mendapat dukungan signifikan. Berdasarkan kenyataan tersebut dan didukung oleh tentara, Soekarno mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945, yang memberikan wewenang dan kekuatan yang lebih kepada eksekutif.
Dengan dekrit tersebut Soekarno menerapkan sistem “demokrasi terpimpin,” yang memberikan keleluasaan bagi dirinya untuk melakukan tindakan terhadap kelompok yang menyimpang atau beroposisi dengan kebijakannya.
Inilah yang dirasakan oleh kelompok Islam, kecuali NU, PSII, dan Perti, yang segera menata kembali orientasi politiknya dan menerima Manipol Usdek (Pidato Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1959, yang dijadikan pedoman haluan negara). Karena memiliki sikap oposisi yang tegas dan dicurigai oleh Presiden Soekarno terlibat dalam pemberontakan PRRI, Masyumi dibubarkan berdasarkan Keputusan Presiden (Soekarno) No. 200/1960 pada 17 Agustus 1960.
Kedekatan NU, PSII, dan Perti, dengan Soekarno sebenarnya sudah berlangsung sebelum diberlakukannya Dekrit. Jauh sebelumnya dalam sebuah Konferensi Nahdlatul Ulama (NU) pada Maret 1954, sejumlah kiai dan ulama NU memutuskan suatu “pengakuan keagamaan” terhadap Soekarno dengan sebutan waliy al-amr ad-daruri bi asy-syaukah. Bahkan pada Mei 1963 dalam MPR(S) kelompok Islam yang diketuai oleh Ahmad Syaikhu mendukung sepenuhnya usul pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
Kedekatan NU dengan Soekarno tidak serta-merta menundukkan NU sepenuhnya pada semua kebijakan Soekarno. Hal ini terbukti dari adanya jarak yang tetap terjaga antara kiai dan pesantrennya yang tersebar di daerah terhadap pemerintah yang dianggap tidak aspiratif.
Hal ini, misalnya, terlihat dari sikap kiai yang menentang kebijakan landreform yang dikeluarkan Soekarno. Konflik ini memuncak pada peristiwa 30 September 1965, ketika para aktivis Ansor, organisasi pemuda NU, bersama organisasi mahasiswa dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) mengganyang kaum komunis yang dikenal dekat dengan Soekarno.
Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno ini berakhir setelah terjadi peristiwa berdarah 30 September 1965. Peristiwa ini ditengarai digerakkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Karena hubungan Soekarno dengan PKI begitu intensif, ia dicurigai menjadi bagian dari peristiwa tersebut.
Peristiwa tersebut lebih disebabkan oleh tarik-menarik antara PKI, tentara, dan Soekarno sendiri. PKI dan tentara ingin menjadi bagian yang paling dipercaya oleh Soekarno yang berkuasa penuh pada saat itu.
Masa Pembangunan dan Orde Baru. Masa Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno berakhir setelah peristiwa G30S PKI. Pada masa itu, Soekarno tidak mampu mengatasi berbagai krisis yang terjadi. Karena itu, Soekarno menyerahkan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) pada 1966 kepada Soeharto yang menjabat sebagai Pangkostrad (Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) untuk mengendalikan masalah tersebut.
Akhirnya Soeharto menjadi presiden kedua RI pada 27 Maret 1968. Pada masa pemerintahannya, Soeharto merencanakan tahapan pembangunan dalam jangka lima tahunan, yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), dan kabinet yang dipimpinnya disebut Kabinet Pembangunan.
Pada awal pemerintahan Orde Baru, kalangan umat Islam memiliki optimisme untuk kembali berperan dalam pembangunan yang dirancang Soeharto. Pemerintah Orde Baru, misalnya, memperbolehkan umat Islam membentuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia/DDII (1967), Badan Amil, Zakat, Infak dan Sedekah (BAZIS) khusus DKI Jakarta (1968), Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Indonesia (1969), Dewan Masjid Indonesia/DMI (1972), dan Majelis Ulama Indonesia/MUI (1975).
Namun pada sisi lain, optimisme tersebut buyar, ketika pemerintah Orde Baru melarang umat Islam, khususnya tokoh Masyumi, yang ingin merehabilitasi nama partai Masyumi.
Orde Baru membatasi ekspresi, kedudukan, dan peranan umat Islam dalam pemerintahan. Umat Islam hanya diizinkan untuk memiliki empat partai politik: Nahdlatul Ulama (NU), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Pergerakan Tarbiyah Islam (Perti), dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).
Keempat partai politik ini kemudian diwajibkan melakukan fusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berlambang Ka’bah. Namun pada Pemilu 1977, PPP dipaksa menanggalkan tanda gambar Ka’bah, dan hanya menyetujui tanda gambar Bintang yang non-religius.
Pemerintahan Orde Baru juga mengeluarkan kebijakan yang merugikan umat Islam. Misalnya, dalam hal kasus Aliran Kepercayaan dalam SU MPR 1973, RUU Perkawinan, dan RUU Keormasan, masalah perjudian (SDSB), larangan pemakaian jilbab di sekolah, dan penghapusan libur pada bulan Ramadhan.
Orde Baru mewajibkan pula umat Islam menerima Pancasila sebagai asas tunggal untuk semua partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Kecuali itu, masih banyak peristiwa yang memojokkan dan meminggirkan umat Islam. Misalnya, pembajakan pesawat Garuda DC 9 Woyla yang dipimpin Jamaah Imran Muhammad Zein (1981), peristiwa berdarah Tanjung Priok (1984), peledakan bom pada bank milik Cina di Jakarta (1984), kasus Warsidi di Lampung Tengah (1986), dan Barisan Jubah Putih di Aceh (1987).
Pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an, sikap pemerintahan Orde Baru mulai berubah. Rezim Orde Baru mengeluarkan kebijakan yang menggembirakan umat Islam. Misalnya, dalam hal UU Pendidikan Nasional (1988), UU Peradilan Agama (1989), “Program Seribu Dai” (1989–1990), pemberian izin pemakaian jilbab di sekolah, penayangan program bahasa Arab di TVRI (1990), pembentukan ICMI (1990), pembangunan masjid oleh Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila, penyelenggaraan Festival Istiqlal (1990), pengeluaran SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tentang Efektifitas Pengumpulan Zakat (1991), penulisan Mushaf Istiqlal (1991), dan pendirian Bank Mualamat Indonesia/BMI (1992).
Pemilu 1992 berhasil memilih kembali Soeharto dan Try Sutrisno sebagai presiden dan wakil presiden. Mobilitas kultural maupun struktural sangat dirasakan oleh umat Islam. Kaum muslim yang profesional mulai bermunculan menempati posisi strategis, baik di lembaga swasta maupun pemerintahan.
Menjelang berakhirnya masa kepemimpinan Soeharto yang keenam ini terjadi dua peristiwa penting, yaitu penyerbuan kantor DPP-PDI dan krisis moneter. Kekerasan politik berupa kerusuhan berawal dari penyerbuan terhadap kantor DPP-PDI pada 27 Juli 1996. Tragedi politik ini semakin menampakkan represivitas kepemimpinan Soeharto dan militer. Peristiwa lain yang tidak kalah hebatnya adalah terjadinya krisis moneter yang melanda Indonesia sejak Juli 1997.
Krisis ini berlangsung seiring dengan krisis ekonomi yang melanda negara di Asia Tenggara lainnya. Krisis moneter yang dialami Indonesia merupakan yang terparah dibandingkan dengan negara lain.
Krisis ini ditandai oleh anjloknya nilai tukar rupiah dari Rp2.500,00 terus beranjak hingga mencapai Rp18.000,00 per dollar Amerika Serikat. Hal ini semakin memperparah krisis ekonomi, yang ditunjukkan oleh meningkatnya jumlah pengangguran dan kemiskinan.
Masa Reformasi. Dalam pemilihan umum 1997, Golongan Karya (Golkar) tetap menjadi kekuatan single majority serta berhasil menetapkan Soeharto dan Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai presiden dan wakil presiden.
Krisis moneter yang melanda Indonesia sedikit banyak menjadi ancaman tersendiri bagi eksistensi kepemimpinan Soeharto-Habibie tersebut. Krisis moneter yang semakin parah ini telah mengundang merebaknya aksi unjuk rasa dan demonstrasi di berbagai daerah. Tuntutan penurunan harga, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta suksesi kekuasaan semakin tidak terbendung.
Berbagai langkah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk mengatasi krisis tersebut, antara lain penandatanganan letter of intent dengan International Monetary Fund (IMF) yang berisi 50 butir paket reformasi, yang salah satunya berisi penghapusan bentuk monopoli dan subsidi. Selain itu, likuidasi 16 bank dan penyusunan RAPBN Januari 1998.
Krisis ini, di samping akibat faktor eksternal, juga diperparah oleh adanya sistem ekonomi dalam negeri yang rapuh. Sistem perbankan yang buruk dan besarnya pinjaman luar negeri perusahaan swasta nasional telah memperburuk ekonomi Indonesia.
Ketidakpuasan atas pemerintahan Soeharto, yang tercermin dari aksi demo besar-besaran, memuncak dengan tertembaknya empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998. Ini kemudian menjadi pemicu kuat untuk menuntut reformasi dan pergantian tampuk kekuasaan. Atas desakan yang semakin kuat dari berbagai unsur dalam masyarakat (mahasiswa, kaum intelektual, dan tokoh masyarakat), pada 21 Mei 1998 Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden.
Selama 32 tahun, 7 bulan, dan 3 minggu, Soeharto berkuasa. Sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945, jabatan yang ditinggalkan oleh Soeharto secara otomatis diduduki oleh wakilnya, yaitu B.J. Habibie.
B.J. Habibie membentuk kabinet dengan sebutan Kabinet Reformasi Pembangunan. Berbagai langkah dan kebijakan diambil oleh pemerintahan Habibie. Upaya ke arah liberalisasi politik terlihat, mulai dari kebebasan menyampaikan pendapat, penghapusan kontrol pemerintah terhadap pers melalui SIUPP, sampai pada kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk mendirikan parpol.
Yang tidak kalah pentingnya adalah penyelenggaraan referendum bagi rakyat Timor Timur. Hasil dari referendum tersebut menetapkan Timor Timur sebagai negara baru, yang terlepas dari negara kesatuan Republik Indonesia. Liberalisasi politik yang diberlakukan pemerintahan B.J. Habibie merangsang munculnya ledakan partisipasi di kalangan umat Islam.
Banyak parpol didirikan oleh umat Islam, baik yang secara langsung menyatakan berasaskan Islam maupun yang mengandalkan basis massa Islam. Di samping itu, ledakan partisipasi di kalangan umat Islam berlangsung dalam bentuk forum maupun aksi insidental, seperti pelaksanaan Apel Akbar Umat Islam pada 5 November 1998 dan Kongres Umat Islam II yang diselenggarakan sepekan sebelum Sidang Istimewa MPR November 1998.
Pelbagai kebijakan tersebut tampaknya belum memuaskan sebagian kalangan. Mereka menganggap Habibie sebagai orang kepercayaan Soeharto dan bagian dari Orde Baru. Enam bulan setelah pergantian presiden, berbagai aksi unjuk rasa terus berlangsung dengan tuntutan perlunya segera diselenggarakan pemilihan umum.
Unjuk rasa ini akhirnya memakan korban dengan tertembaknya beberapa mahasiswa dalam kejadian yang dikenal sebagai Peristiwa Semanggi. Atas desakan publik akhirnya pelaksanaan pemilu dipercepat. Dengan sendirinya hasil Pemilu 1997 segera diganti. Salah satu alasan perlunya diadakan pemilu yang dipercepat adalah terciptanya pemerintahan yang legitimated dan diakui oleh publik.
Pemerintahan dan lembaga yang dihasilkan oleh Pemilu 1997 dianggap tidak sah. Dipercepatnya penyelenggaraan pemilu tersebut berarti juga pergantian anggota DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya. Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai 2003.
Sebelum pemilu yang dipercepat itu diselenggarakan, pemerintah mengajukan RUU tentang parpol, pemilu, dan susunan serta kedudukan MPR, DPR, serta DPRD. Ketiga draf UU ini dipersiapkan oleh sebuah tim Depdagri (Tim 7) yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid. Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggotanya adalah wakil dari parpol dan pemerintah.
Dalam sejarah pemilu selama 8 kali (1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, dan 1999), Pemilu 1999 merupakan yang paling banyak melibatkan parpol, yaitu 48. Pemilu 1955 diikuti oleh lebih dari 30 parpol dan lebih dari 100 perseorangan. Sedangkan Pemilu 1999 diikuti oleh 48 parpol dari 141 partai yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM. Pemilu 1971 diikuti 10 parpol, sedangkan pemilu lain hanya diikuti 3 peserta, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
PPP dan PDI merupakan hasil fusi (penggabungan) dari partai yang menjadi peserta Pemilu 1971. PPP adalah hasil fusi dari Partai Nahdlatul Ummah (Partai NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti); sedangkan PDI merupakan hasil penggabungan dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik (Parkat), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba).
Atas desakan publik dan adanya kesepakatan antara Presiden B.J. Habibie dan MPR, diputuskan bahwa pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999 atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie.
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini berlangsung sesuai dengan jadwal, yakni pada 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 dapat terlaksana dengan damai tanpa ada kekacauan yang berarti.
Pemenangnya adalah PDI Perjuangan (PDIP) yang meraih 35.689.073 suara (33,74%) atau 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara (22,44%) atau 120 kursi. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan 13.336.982 suara (12,61%) mendapat 51 kursi. PPP memperoleh 11.329.905 suara (10,71%) atau 58 kursi. Partai Amanat Nasional (PAN) dengan 7.528.956 suara (7,12%) mendapat 34 kursi, dan Partai Bulan Bintang (PBB) 13 kursi.
Walaupun PDIP mendapat suara terbanyak, yang tampil sebagai presiden adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mendapat dukungan kuat dari Poros Tengah, yaitu kaukus parpol yang mempunyai basis massa Islam.
Poros Tengah mencalonkan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden alternatif di tengah tarik-menarik antara Golkar yang mencalonkan B.J. Habibie dan PDIP yang mencalonkan Megawati Soekarnoputri. Dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid, masa jabatan B.J. Habibie sebagai presiden berlangsung selama 17 bulan, yaitu dari 21 Mei 1998–19 Oktober 1999.
Sepak terjang politik Poros Tengah yang terdiri dari PAN, PPP, PBB, dan Partai Keadilan (PK) ini menjadi alternatif di tengah persaingan Golkar versus PDIP. Hal ini terlihat pula dengan terpilihnya M. Amien Rais sebagai ketua MPR-RI.
Dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden banyak orang menaruh harapan, khususnya bagi terwujudnya demokrasi di pelbagai bidang kehidupan. Hal ini tidak terlepas dari sosok Gus Dur yang dekat dengan semua kalangan dan memiliki perhatian terhadap demokrasi.
Tetapi, kenyataan berbicara lain. Gus Dur dengan kabinet yang dibentuknya (Kabinet Persatuan Nasional) ternyata tidak mampu mempertahankan kekuasaan karena sikap dan tindakannya dinilai tidak konsisten. Atas berbagai alasan, Gus Dur diberhentikan MPR-RI dari jabatannya dan secara otomatis digantikan oleh Megawati.
Sejak 23 Juli 2001 jabatan presiden dipegang oleh Megawati dan wakil presiden oleh Hamzah Haz, setelah memenangkan persaingan melawan Akbar Tanjung. Duet Megawati-Hamzah ini kemudian membentuk kabinet yang disebut Kabinet Gotong Royong.
Terpilihnya Megawati sebagai presiden wanita pertama di Indonesia tidak terlepas dari pro dan kontra. Meski demikian, kekuatan politik tetap sepakat untuk menampilkan Megawati sebagai presiden ke-5 RI sampai akhir masa bakti presiden pada 2004.
Sebagai presiden, pada 17 Desember 2002 Megawati datang ke Banda Aceh, ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dari Bandar Udara Sultan Iskandar Muda, ia menuju Masjid Raya Baiturrahman untuk melaksanakan salat magrib dan sujud syukur dengan berjemaah. Sujud syukur dilakukannya atas ditandatanganinya kesepakatan penghentian permusuhan (KPP) antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Jenewa, Swiss (9 Desember 2002).
Dengan disepakatinya KPP, Megawati berharap provinsi NAD akan kembali membenahi dan membangun wilayahnya. Karena kesepakatan Jenewa tersebut tidak juga ditaati GAM, pada Mei 2003 Presiden Megawati mengeluarkan keputusan presiden yang menjadikan NAD daerah darurat militer untuk memerangi GAM. Tetapi pada 2004, status NAD kemudian diubah menjadi darurat sipil.
Pada Oktober 2004, Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai presiden menggantikan Megawati Soekarnoputri, sedangkan Muhammad Jusuf Kalla menjabat sebagai wakil presiden menggantikan Hamzah Haz. Mereka terpilih dalam pemilihan langsung (putaran kedua) yang baru pertama kali diadakan di Indonesia.
Pasangan ini mengungguli pasangan Megawati Soekarnoputri dan KH Hasyim Muzadi dengan meraih suara lebih dari 50%. Sebelumnya, anggota badan legislatif juga dipilih melalui pemilihan langsung. Dalam menjalankan pemerintahan, Yudhoyono membentuk kabinet yang dinamakan Kabinet Indonesia Bersatu.
Peristiwa penting menyangkut politik Islam dan yang sempat menyedot perhatian publik nasional antara lain adalah mencuatnya kembali hasrat untuk memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945.
Fraksi yang memperjuangkan Piagam Jakarta tersebut antara lain adalah Fraksi PPP, Fraksi PBB, dan Fraksi PDU (Partai Daulat Umat), yang ingin memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta ke dalam Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945. Tetapi, pada akhirnya Fraksi PPP sepakat untuk tidak memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta, sementara fraksi lain, seperti PKB dan PAN, tetap menyetujui naskah asli UUD 1945.
Keberadaan parpol yang berbasis Islam masih berada di bawah bayang-bayang parpol nasionalis. Partai yang berbasis Islam masih berada di urutan ketiga dan selanjutnya ke bawah. Tetapi, pelbagai kegiatan sosial budaya (keagamaan) tidak lagi terhambat oleh persoalan politik, karena adanya kebebasan yang semakin memungkinkan untuk dinikmati setiap orang. Di sisi lain, persoalan ekonomi masih tetap terpuruk dan persoalan integrasi masih menjadi ancaman, seperti di Aceh, Papua, dan Maluku.
Pada 20 Oktober 2014, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla resmi memimpin Indonesia untuk periode 2014-2019. Pasangan yang didukung PDIP ini mengalahkan pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa yang didukung Gerindra, dengan perolehan suara 53,15% lawan 46,85%. Partai-partai berbasis Islam mayoritas mendukung Prabowo-Hatta, yaitu PAN, PPP, PBB dan PKS. Cuma PKB yang mendukung Jokowi-JK.
Pada Pilpres 2019, pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amien yang didukung PDIP terpilih untuk memimpin Indonesia pada 2019-2024. Pasangan ini menang melawan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang didukung Gerindra, dengan perolehan suara 55,50% lawan 44,50%. Kali ini, partai-partai berbasis Islam terbelah dua. Yang mendukung Jokowi-Ma’ruf adalah PKB, PPP, dan PBB. Sedangkan yang mendukung Prabowo-Sandiaga, yaitu PAN dan PKS.
Dalam prosesnya kemudian, Jokowi berhasil menggalang koalisi partai pendukung pemerintah yang meluas, sehingga lawan-lawan politiknya di Pilpres 2019 pun bergabung di pemerintahan. Gerinda dan PAN merapat ke pemerintah, dan tinggal tersisa PKS dan Demokrat yang berada di luar pemerintah. Prabowo mendapat jabatan Menteri Pertahanan, sedangkan Sandiaga menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Sebagai bagian dari manuver dan propaganda politik oleh kelompok-kelompok Islamis, pemerintahan Jokowi sering dituding dan diisukan menjalankan kebijakan anti-Islam. Namun, menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, tudingan dan isu itu tidak sesuai dengan fakta-fakta dan praktik yang terjadi di masyarakat.
Tidak ada politik anti-Islam, karena kebijakan-kebijakan yang dituntut oleh orang Islam dipenuhi semua sampai berlebihan. Ada (usulan) Undang-Undang Pesantren, Hari Santri Nasional, dan Perpres (Peraturan Presiden) Dana Abadi untuk Pesantren. Negara menyediakan dana sekian triliun untuk pengembangan pesantren.
Banyak nilai-nilai dan ajaran Islam yang dipraktikkan secara organik oleh masyarakat dan kehidupan sehari-hari, misalnya, adopsi ajaran syariah pada aktivitas perekonomian. Terkait isu kriminalisasi ulama, tidak ada ulama yang dipenjara karena melakukan kegiatan keagamaan. Ada sedikit yang masuk bui, karena mereka memang terbukti bersalah melanggar aturan perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. Islam Nusantara, Jaringan Global dan Lokal. Bandung: Mizan, 2003.
Crouch, Harold. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.
Dengel, Holk H. Darul Islam dan Kartosuwirjo, Angan-angan yang Gagal. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1988.
Feith, Herbert. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1999.
Kahin, George Mc.T. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1952.
Thaba, Abdul Azis. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
https://katadata.co.id/safrezi/berita/621315ffe0ff0/mengenal-jumlah-pulau-di-indonesia-tahun-2021, diakses pada 13 Maret 2022.
https://jdih.kpu.go.id/data/data_kepkpu/535_PENETAPAN_REKAP_PILPRES.pdf, diakses pada 14 Maret 2022.
https://nasional.kompas.com/read/2019/05/21/02440251/hasil-pilpres-2019-jokowi-maruf-5550-persen-prabowo-sandi-4450-persen, diakses pada 14 Maret 2022.
https://nasional.tempo.co/read/1511975/mahfud-md-bantah-pemerintahan-jokowi-maruf-anti-islam/full&view=ok, diakses pada 14 Maret 2022.
Idris Thaha dan Bakir Ihsan
Data telah diperbarui oleh Tim Redaksi Ensiklopediaislam.id (Maret 2022)