Negara yang memberlakukan syariat serta syiar Islam disebut darul Islam. Dalam sejarah, ada perbedaan pengertian antara darul Islam, darul harbi, dan darul aman. Istilah tersebut muncul karena terjadi banyak peperangan antara umat Islam dan umat lain pada awal Islam hingga Kerajaan Usmani.
Ulama mencoba membagi negara sesuai dengan sifat peÂmerintahan, rakyat, dan hukum yang ada di negara tersebut. Jika pemerintahannya Islam, mayoritas rakyatnya muslim, dan hukum serta syiar Islam ditegakkan di negara tersebut, negara itu dinamakan darul Islam atau negara Islam.
SeÂbalikÂnya, jika pemerintahannya kafir, mayoritas rakyatnya non-Islam, hukumnya tidak Islami, dan syiar Islam tidak ada di negara tersebut, negara tersebut dinamakan darul harbi atau negara non-Islam.
Untuk menentukan suatu negara itu termasuk negara Islam atau tidak, ulama telah meÂrumuskan kriteria yang berbeda-beda. Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) menetap kan bahwa yang menjadi kriteria dalam menentukan darul Islam adalah adanya jaminan keamanan dan keÂdamaian bagi umat Islam yang ada di suatu negara, yaitu keamanan dan kedamaian dalam meÂlaksanakan syaÂriat Islam bagi umat Islam.
Perubahan darul Islam menjadi darul harbi bagi Imam Abu Hanifah bisa terjadi, yakni apabila hukum yang berlaku di negara tersebut bukan lagi hukum Islam, keamanan dan kedamaian tidak ada lagi bagi umat Islam, dan batas antara darul Islam dan darul harbi tidak menentu.
Adapun bagi jumhur (mayoritas) ulama, perubahan darul Islam menjadi darul harbi diÂdasarkan pada hukum yang berlaku di negara tersebut. Apabila yang berlaku bukan hukum Islam lagi, negara tersebut menjadi darul harbi. Pendapat ini didasarkan pada prinsip bahwa yang menentukan negara itu Islam atau tidak adalah hukum yang berlaku di negara tersebut.
Kriteria yang dikemukakan Imam Abu Hanifah tentang darul Islam dan darul harbi untuk keadaan sekarang tentunya sulit diterapkan, terutama yang menyangkut batas suatu negara.
Konsep Imam Abu Hanifah tentang batas negara yang tak menentu adalah apa yang dikenal sekarang dengan hidup berdampingan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Padahal pada zaman sekarang dua negara yang hidup berdampingan sudah meÂrupakan hal yang biasa, dengan batas negara yang saling dihormati.
Bagi jumhur ulama, suatu negara sudah dikataÂkan negara Islam jika menegakkan hukum Islam dan syiar Islam. Dengan ini berarti bahwa dominasi berada pada mayoritas umat Islam dan pemerintahan berada di tangan orang Islam. Kriteria yang dikemukakan jumhur ini leÂbih sesuai di zaman sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya, menurut Wahbah az-Zuhaili, seorang ahli hukum Islam kontemporer dari Damascus, Suriah, terdapat dua kriteria untuk menentukan suatu negara adalah darul Islam.
Pertama, suatu negara bisa dikatakan negara Islam jika mayoritas rakyatnya beragama Islam. Logikanya, jika mayoritas penduduknya beragama Islam, dalam sistem demokrasi negaranya akan dipimpin oleh seorang yang beragama Islam. Ia tidak menyebut status hukum yang berlaku di negara tersebut.
Kedua, suatu negara juga disebut negara Islam jika hukum Islam diterapkan, sekali pun tidak semua warganya beragama Islam. Contoh negara Islam dengan kriÂteria pertama di zaman sekarang adalah Mesir, Turki, dan Indonesia. Adapun contoh untuk kriteria kedua adalah Iran dan Pakistan. Kedua bentuk kriteria inilah yang diakui sekarang oleh OKI (Organisasi Konferensi Islam).
Daftar Pustaka
Khalaf, Abdul Wahhab. as-Siyasah asy-Syar‘iyyah. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
al-Qasimi, Zafir. Niˆam al-hukm fi asy-Syari‘ah wa at-Tarikh al-Islami. Beirut:Dar an-Nafa’is, t.t.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑‘Alaqat ad‑Dauliyyah fi al‑Islam: Muqaranah bi al‑Qanun ad‑Dauli al‑hadist. Beirut: Mu’asasah ar-Risalah, 1981.
–––––––. Asar al‑harb fi al‑Fiqh al‑Islami: Dirasah al-Muqaranah. Beirut: Dar al‑Fikr, 1981.
Nasrun Haroen