Secara kebahasaan, kata imam berarti “orang yang diikuti atau pimpinan”. Imam salat adalah orang yang dipercaya memimpin salat bersama dan berdiri pada posisi terdepan; gerak serta bacaannya diikuti jemaah di belakangnya yang menjadi makmum. Salat berjemaah dapat dilakukan sekurang-kurangnya oleh dua orang, baik keduanya laki-laki atau perempuan, atau satu laki-laki dan satu perempuan.
Persyaratan untuk dapat menjadi imam dalam salat adalah sebagai berikut. (1) Beragama Islam (muslim). (2) Akil balig. Seorang yang sudah akil balig dapat menjadi imam terhadap yang sudah akil balig dan yang belum akil balig. Adapun orang yang sudah akil balig, menurut Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali, tidak sah mengikuti seorang imam yang masih anak-anak kendatipun ia mumayiz (dapat membedakan yang baik dan buruk), kecuali pada salat sunah.
(3) Laki-laki. Orang laki-laki dapat menjadi imam jemaah laki-laki atau pun jemaah perempuan. Adapun terhadap sesama perempuan, wanita boleh menjadi imam. (4) Berakal. Tidak sah apabila orang gila menjadi imam. Namun, apabila kadang-kadang sakit dan kadang-kadang sehat, ia sah menjadi imam ketika sehat.
(5) Diutamakan yang terbaik bacaannya atau yang terpandai di bidang agama atau tertua dalam hal usia. (6) Sehat dari penyakit yang akan menjadikan salatnya mudah rusak, seperti orang yang wudunya mudah batal.
Dalam bidang pemerintahan, imam berarti “pemimpin masyarakat”. Istilah “imam” merupakan padanan dari istilah amir dan khalifah. Pemimpin ke-4 mazhab Islam, yaitu Imam Hanafi, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali), juga disebut imam.
Nabi Muhammad SAW adalah imam umat Islam, baik di bidang keagamaan ataupun pemerintahan. Fungsi Rasulullah SAW sebagai nabi tidak dapat digantikan, sedangkan fungsinya sebagai pimpinan masyarakat dilanjutkan para khalifah yang mendapat bimbingan (al-Khulafa‘ ar-Rasyidun). Untuk menggantikan fungsi kenabian (an-nubuwwah) dibentuk lembaga imamah yang bertujuan untuk memelihara agama dan mengatur (siyasah) dunia.
Umat Islam menilai bahwa imamah adalah masalah kenegaraan. Mengenai hal ini terjadi perbedaan pendapat antara golongan Suni dan Syiah, yaitu apakah masalah imamah ini bersifat ijtihadiah atau sudah ada ketentuannya dari Tuhan. Kaum Suni berpendapat bahwa masalah imamah merupakan persoalan duniawi yang penanganan dan pembentukannya diserahkan kepada umat.
Pencalonan seorang imam dilakukan kelompok Ahl al-Imamah (mereka yang memenuhi syarat dan berhak menjadi imam). Al-Mawardi (ahli fikih) dalam bukunya al-Ahkam as-Sulthaniyyah berpendapat bahwa pengangkatan imam dilakukan secara musyawarah oleh kelompok Ahl al-Ikhtiyar (mereka yang berwenang memilih imam bagi umat) yang dipandang cakap untuk memilih imam. Kelompok ini bertugas memilih seorang imam yang dinilai paling pantas menjadi imam dari sekelompok calon yang memenuhi persyaratan.
Anggota Ahl al-Ikhtiyar yang tidak ditentukan jumlahnya harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: (1) adil, (2) memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkannya mengetahui siapa yang memenuhi syarat menjadi imam, dan (3) mempunyai kearifan dan wawasan yang luas, sehingga memungkinkannya memilih orang yang dipandang paling tepat untuk menjadi imam.
Adapun syarat untuk dapat menjadi Ahl al-Imamah adalah:
(1) bersifat adil dengan segala syarat yang berkaitan dengan itu;
(2) berpengetahuan luas yang memungkinkannya dapat mengadakan pertimbangan yang bijaksana dan berijtihad;
(3) sehat pendengaran, penglihatan, dan lisan;
(4) memiliki integritas organ fisik, sehingga ia dapat bergerak dengan bebas dan tepat;
(5) memiliki wawasan yang memadai untuk memperlancar urusan kemasyarakatan;
(6) memiliki keberanian dan kekuatan agar dapat melindungi dan mempertahankan negara dan menyingkirkan musuh; dan
(7) berasal dari keturunan suku Quraisy.
Syarat yang terakhir ditolak Ibnu Taimiyah karena amat bertentangan dengan semangat egalitarian yang diajarkan Islam. Doktrin bahwa seorang imam itu haruslah dari keturunan Quraisy hanya berlaku pada periode al-Khulafa‘ ar-Rasyidun.
Berlainan dengan golongan Suni, golongan Syiah, terutama Syiah Imamiyah, berpendirian bahwa imamah adalah masalah sentral dan bagian dari rukun iman. Menurut mereka, masalah imamah tidak termasuk kepentingan umum yang diserahkan kepada pendapat umat, tetapi merupakan tiang agama dan dasar Islam yang ditentukan Allah SWT melalui nas.
Jabatan kepala pemerintahan bukanlah hak setiap orang, melainkan hak Ali bin Abi Thalib dan anak keturunannya. Ajaran agama memberikan hak tersebut kepada Ali dan keturunannya melalui washi, pelimpahan kekuasaan dengan penuh kepercayaan. Para imam tersebut bersifat maksum. Mereka berkeyakinan bahwa Al-Qur’an itu mempunyai arti zahir (lahir) dan arti batin. Kedua arti itu diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
Arti zahir itu kemudian disampaikan oleh Nabi SAW kepada para sahabat, sedangkan arti batinnya hanya disampaikan kepada Ali bin Abi Thalib. Ilmu batin inilah yang diwariskan oleh Ali melalui washi (wasiat) secara turun-temurun kepada anak cucunya (ahlulbait). Mereka juga mempercayai bahwa yang berhak menjadi khalifah atau imam sepeninggal Nabi SAW dan Ali adalah Hasan bin Ali bin Abi Thalib, kemudian Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Setelah Husein sebagai imam ketiga, mereka mulai berselisih pendapat mengenai imam berikutnya. Sekelompok kaum Syiah berkeyakinan bahwa imam keempat adalah Muhammad bin Hanafiyah, anak Ali bin Abi Thalib dari istrinya yang lain; kelompok ini disebut Kaisaniyah. Kelompok yang lain berpendirian bahwa imam keempat adalah Ali bin Husein Zainal Abidin.
Setelah Ali bin Husein Zainal Abidin wafat, timbul lagi perpecahan. Golongan Zaidiyah mengatakan bahwa imam berikutnya adalah Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin. Mereka berpendapat bahwa imam itu harus langsung memimpin umat. Jabatan imam harus berasal dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra.
Kelompok ini berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW tidak menentukan siapa yang menjadi imam, tetapi hanya menjelaskan kriterianya, yaitu bertakwa, berilmu, murah hati, dan berani. Sepeninggal Nabi SAW, Ali-lah yang memiliki sifat itu. Mereka mengakui Khalifah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan sebagai imam yang mafdul (tidak memenuhi syarat), sedangkan yang memiliki kriteria yang ditentukan Nabi SAW disebut sebagai imam yang afdal.
Adapun Syiah Imamiyah berpendapat bahwa imam kelima sesudah Ali bin Husein Zainal Abidin adalah Muhammad al-Baqir dan imam keenam adalah Ja‘far as-Sadiq. Namun kelompok ini terpecah lagi ketika menentukan imam ketujuh.
Ada yang berpendapat bahwa imam ketujuh adalah Isma‘il bin Ja‘far putra pertama Imam Ja‘far yang meninggal ketika Imam Ja‘far masih hidup yang kemudian disebut Syiah Ismailiyah atau Syiah Sab’iyah (Syiah yang mempercayai ada tujuh orang imam).
Ada pula yang lain yang mengatakan bahwa imam ketujuh adalah Musa al-Kazim, putra kedua Imam Ja‘far. Kelompok terakhir inilah yang kemudian disebut Syiah Itsna ‘Asyariyyah yang mempercayai ada dua belas imam.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah as-Siyasah wa al-‘Aqa’id wa Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
Amin, Ahmad. Dhuha al-Islam. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1975.
____________. Fajr al-Islam. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1975.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
Jafri, S. Husein M. Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syiah, terj. Meth Kieraha, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
Khan, Qamaruddin. al-Mawardi’s Theory of the State. Delhi: Idarahi Adabiyati, 1979.
_________________. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah, terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka, 1983.
al-Mawardi. al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1973.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1986.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
asy-Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim. al-Milal wa an-Nihal, ed.
Abdul Aziz Muhammad al-Wakil. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Helmi Karim