Secara kebahasaan, ‘illah berarti “alasan atau sebab”. Dalam kajian usul fikih, jumhur ulama mendefinisikan ilat dengan “sifat, ciri, alasan, motif, atau sebab lahir yang terukur”, baik bentuk, individu, waktu, maupun keadaan penetapannya secara hukum”. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan “sifat kemaslahatan yang dipandang sebagai dasar penetapan hukum”.
Karena persoalan ilat banyak dibicarakan dalam hal yang berkenaan dengan hukum tertentu yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis secara tekstual sehingga penetapan hukum dilakukan berdasarkan kias (analogi), maka ilat dalam kajian usul fikih juga berarti “prinsip yang menjadi dasar sahnya (rukun) kias dalam menetapkan hukum Islam yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis secara tekstual”.
Dalam kajian filsafat, ilat berarti “sebuah kondisi tertentu yang menyebabkan sesuatu dengan serta-merta berubah”. Pada umumnya, ilat diartikan dengan “sebab”. Pembicaraan tentang hal ini biasanya berkaitan dengan masalah sebab akibat.
Para ahli usul fikih memandang bahwa persoalan ilat merupakan unsur sentral dalam pembahasan kias. Karena sahnya kias sangat bergantung pada ilat, dalam meng gunakannya seseorang terlebih dahulu harus menemukan ilat yang terkandung dalam suatu hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan/atau hadis secara tekstual.
Namun, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M; ahli fikih, usul fikih, dan kalam), dalam memandang ilat ini ulama terbagi menjadi tiga kelompok. (1) Mazhab Hanafi dan jumhur ulama berpendapat bahwa teks Al-Qur’an dan hadis (nas) pasti mempunyai ilat. Kelompok ini bahkan mengatakan bahwa adanya hukum justru disebabkan adanya ilat.
Kelompok ini terbagi lagi menjadi dua kelompok, yaitu: (a) kelompok yang menetapkan ilat nas dengan sifat lahir yang sesuai, tepat, dan kuat; dan (b) kelompok yang menetapkan ilat hanya dengan ciri kemaslahatan saja, yang disebut dengan hikmah. (2) Kelompok yang mengatakan bahwa nas hukum tidak mempunyai ilat, kecuali ada dalil yang menentukan adanya ilat itu. (3) Kelompok yang berpendapat bahwa ilat itu sama sekali tidak ada.
Untuk memahami masalah ilat dengan baik, perlu dibedakan dengan jelas antara ilat dan hikmah. Bagi jumhur ulama usul fikih, setiap ilat mengandung hikmah, misalnya diharamkannya khamar.
Khamar mempunyai ciri konkret dan dapat diukur, yaitu memabukkan. Bir adalah minuman lain yang memiliki ciri yang sama dengan khamar. Oleh karena itu, bir adalah haram. Meminum minuman yang memabukkan dapat merusak akal manusia. Dengan demikian, dalam pengharaman khamar dan bir itu terdapat maslahat atau hikmah.
Contoh lain adalah kebolehan berbuka puasa pada bulan Ramadan bagi musafir (orang yang dalam perjalanan). Perjalanan adalah ilat dibolehkannya berbuka puasa. Dalam perjalanan, seseorang selalu mendapat kesulitan. Itulah hikmahnya.
Bagi kelompok pertama, perjalanan itulah yang memperkenankan seseorang berbuka puasa, bukan kesulitan yang dihadapi orang. Hikmahnya adalah manfaat tindakan hukum yang diperintahkan Tuhan dan mudarat dari tindakan hukum yang dilarang-Nya. Namun, bagi kalangan ulama Maliki, hikmah termasuk dalam kategori ilat.
Karena berbeda dalam mendefinisikan ilat, ulama juga berbeda pendapat tentang korelasi antara hukum dan ilat. Bagi ulama yang tidak memandang hikmah sebagai ilat (jumhur ulama), korelasi itu hanya ada dua kemungkinan.
(1) Korelasi yang berpengaruh, yang ditetapkan oleh syari‘ (pembuat syariat, yakni Allah SWT), misalnya sifat mema bukkan dalam khamar. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap yang memabukkan adalah khamar, dan semua khamar haram” (HR. Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, Ahmad bin Hanbal, dan Ibnu Majah). Ilat dalam bentuk ini adalah ilat hukum terkuat jika dibandingkan dengan ilat lain.
(2) Korelasi yang sesuai (setara), yakni ilat hukum itu tidak terdapat dalam nas secara tekstual, tetapi ada petunjuk dari nas lain atau ijmak. Contohnya, dalam Al-Qur’an surah an-Nisa’ (4) ayat 6 dijelaskan bahwa status anak kecil menjadi ilat bagi adanya kewalian dalam hal harta benda. Ulama Mazhab Hanafi mengambil ayat ini sebagai dalil atas kewalian jiwa.
Bagi ulama Mazhab Maliki, masih terdapat bentuk korelasi lain di samping dua bentuk korelasi di atas.
(1) Korelasi setara yang sifat sejenis dianggap dapat menjadi ilat hukum, misalnya Imam Malik membolehkan menjamak salat karena ada hujan. Hal ini dikiaskan dari bolehnya menjamak salat karena perjalanan. Dalam keduanya ada unsur kesulitan. Menurutnya, hujan dan perjalanan adalah sejenis. Akan tetapi, jumhur ulama tidak sependapat dengan Imam Malik.
(2) Apabila sifat jenis hukum dianggap dapat menjadi ilat hukum yang sejenis pula, karena adanya ketetapan syari‘. Misalnya, Rasulullah SAW mengatakan bahwa air liur kucing suci, karena: “Sesungguhnya kucing itu tergolong binatang yang selalu bergaul dengan kamu” (HR. Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Ilat contoh di atas menghilangkan kesulitan bagi umat Islam. Oleh karena itu, dapat dikiaskan bahwa segala yang dapat menyulitkan umat Islam akan mendatangkan keringanan. Berkaitan dengan itu, seorang dokter boleh melihat aurat wanita ketika mendiagnosa dan mengobatinya.
(3) Korelasi yang terpisah. Artinya, ilat hukumnya tidak mendapat pengukuhan dari syari‘, baik langsung maupun tidak. Mazhab Maliki dan Mazhab Hanbali dapat menerima ilat seperti ini, yang mereka sebut dengan al-maslahah al-mursalah. Sementara itu, Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanafi menolaknya. Menurut ulama Mazhab Maliki dan Hanbali, syarat utama ilat adalah kemaslahatan.
Akan tetapi, kalangan jumhur ulama tidak sependapat dengan itu. Menurut mereka, ada lima syarat ilat, sehingga kias menjadi sah dengannya.
(1) Harus berupa sifat yang jelas dan tampak, sehingga menjadi sesuatu yang menentukan. Misalnya, adanya status keturunan (nasab) disebabkan adanya ilat suami istri. Apabila ilat itu bersifat abstrak, seperti “suka sama suka” dalam perniagaan, ilat yang abstrak itu diwujudkan dalam bentuk yang konkret seperti akad.
(2) Harus kuat, tidak terpengaruh oleh perubahan individu, situasi, dan keadaan lingkungan. Misalnya, sifat memabukkan adalah sifat yang tetap pada khamar. Jika ternyata khamar tidak memabukkan, itu hanya kasus khusus yang tidak menjadi perhitungan, karena tidak mengubah sifat khamar itu sebagai sesuatu yang memabukkan.
(3) Harus ada korelasi antara hukum dan sifat yang menjadi ilat. Misalnya, pembunuhan merupakan ilat bagi terhalangnya seseorang atas harta warisan.
(4) Harus berjangkauan luas, tidak terbatas pada satu hukum tertentu, misalnya, “memabukkan”. Sifat ini tidak terbatas pada khamar, tetapi juga pada makanan dan minuman lain. Semua makanan dan minuman yang memabukkan adalah haram.
(5) Sifat yang menjadi ilat itu tidak boleh bertentangan dengan suatu dalil.
Ada tiga cara untuk mengetahui ilat:
(1) diterangkan oleh syari‘ dalam nas, seperti ilat haramnya khamar;
(2) ditentukan oleh ijmak ulama, seperti mendahulukan saudara kandung daripada saudara sebapak dalam pembagian harta waris; dan
(3) dicari melalui hasil ijtihad ulama fikih, dengan cara mengetahui sifat yang terkandung dalam masalah yang sedang dibahas hukumnya dan menentukan mana sifat yang paling pantas dan sesuai dengan hukum yang berlaku, misalnya hadis Nabi SAW yang menetapkan kafarat bagi orang yang bersetubuh di bulan Ramadan (HR. Jemaah ahli hadis dari Abu Hurairah).
Ulama kemudian mencari ilatnya, apakah berhubungan badan atau membatalkan puasa. Mereka kemudian menetapkan bahwa yang dimaksud ilat dalam hadis itu adalah membatalkan puasa.
Dalam kajian filsafat, Aristoteles (filsuf Yunani, 384–322 SM) berpendapat bahwa ilat itu ada empat:
(1) sebab materiil, yang memungkinkan terjadi sesuatu atasnya dan dengannya;
(2) sebab formal atau sebab bentuk yang terlaksana dalam barang;
(3) sebab efisien, yaitu sebab yang datang dari luar atau faktor yang menjalankan perubahan, disebut juga sebab penggerak yang merupakan sumber kejadian; dan
(4) sebab final, yaitu sebab yang dituju oleh perubahan dan gerak.
Apabila objek kajian itu kursi, sebab materiilnya adalah kayu, sebab formalnya pola kursi, sebab efisiennya tukang kayu pembuat kursi itu, dan sebab final adalah tujuan pembuatan kursi itu, yaitu supaya orang dapat duduk di atasnya. Sesuatu yang dihasilkan oleh sebab itu dinamakan akibat.
Melalui pembahasan tentang ilat ini, para filsuf berusaha untuk membuktikan adanya Tuhan. Menurut Aristoteles, pembuktian ini didasarkan atas keharusan adanya sebab efisien. Artinya, setiap sebab menjadi asal mula perubahan.
Pemikiran ini dinyatakannya dengan jelas dalam karyanya yang berjudul Metafisika dan dihubungkan dengan pembuktian tentang adanya Penggerak yang tidak Bergerak atau Penggerak Pertama.
Penggerak Pertama ini bersifat immateri il, tidak bertubuh, tidak bergerak dan tidak digerakkan, serta cerdas dengan sendirinya. Penggerak Pertama itu adalah Tuhan. Dalam hal ini, Penggerak Pertama disebut ilat pertama, yaitu ilat yang muncul tanpa ilat. Penggerak Pertama adalah ilat segala ilat, ‘illah niha’iyyah atau ilat segala yang ada.
Para filsuf Islam dan Abad Pertengahan di Eropa mengambil teori Aristoteles ini dan mereka mengutamakan ilat final daripada ilat lain. Ilat final memang datang kemudian, tetapi mendahului ilat lain. Sesuatu terwujud karena ilat final.
Ilat ini dapat dikatakan sebagai ilat bagi ilat lain, karena ilat lain menuju ilat final. Ilat inilah yang menyebabkan sesuatu bergerak. Berkaitan dengan Penggerak Pertama, al-Farabi dan Ibnu Sina mengembangkan pemikiran filsafatnya den-gan merumuskan teori emanasi. Menurut mereka, segala sesuatu memancar dari Tuhan, sebagai Wujud dan Penggerak Pertama.
Para filsuf juga membedakan beberapa ilat:
(1)‘illah asasiyyah, yaitu ilat yang secara sendirian mempengaruhi sesuatu;
(2) ‘illah al-‘adah, yaitu ilat tertentu yang menyebabkan wujud sesuatu menjadi sempurna;
(3) ‘illah mubasyirah, yaitu ilat yang menyebabkan perubahan tanpa perantara;
(4) ‘illah gair mubasyirah, yaitu ilat yang menyebabkan adanya sesuatu dengan perantara;
(5) ‘illah tammah (ilat sempurna), yaitu kesempurnaan ketergantungan esensi atau wujud padanya atau wujudnya saja, yang dinamakan juga ilat bebas;
(6) ‘illah naqisah (ilat tidak sempurna), yaitu lawan dari ‘illah tammah; dan
(7)‘illah al-mu‘iddah (yang menyediakan), yaitu sesuatu yang dengannya suatu perubahan terjadi; wujud sesuatu itu tidak meniscayakan adanya perubahan itu.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. Usul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: Tinta Mas, 1983.
Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.
as-Sa‘di, Abdul Hakim Abdur Rahman As‘ad. Mabahits al-‘Illah fi al-Qiyas ‘inda al-Usuliyyin. Beirut: Dar al-Basya’ir al-Insaniyah, 1986.
Saliba, Jamil. al-Mu‘jam al-Falsafi. Beirut: Dar al-Kitab, 1979.
Badri Yatim