Secara kebahasaan, iqrar berarti “ketetapan”. Adapun secara istilah, iqrar berarti “pengakuan seseorang atas hak orang lain yang ada pada dirinya”, yang merupakan salah satu alat bukti yang dapat dipergunakan dalam menetapkan suatu perkara di depan hakim.
Sekalipun ikrar itu sendiri merupakan pengakuan yang dapat mengandung kebenaran atau kebohongan, ulama menganggapnya sebagai salah satu hujah atau alat bukti dalam suatu perkara.
Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa seseorang tidak mungkin mengakui sesuatu hal yang akan menjadi beban tanggung jawabnya, sedangkan sebenarnya apa yang diakui tersebut tidak benar sama sekali. Misalnya, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang mengakui berutang kepada orang lain. Oleh sebab itulah sisi kebenaran atas suatu pengakuan lebih kuat dari sisi kedustaannya.
Landasan ulama dalam menjadikan ikrar (pengakuan) sebagai salah satu alat bukti adalah ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. Dalam surah Ïli ‘ImrÎn (3) ayat 81 Allah SWT berfirman yang berarti: “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada kepadamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya’.
Allah berfirman, ‘Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?’ Mereka menjawab, ‘Kami mengakui’.” Tuntutan Allah SWT terhadap pengakuan para nabi menunjukkan bah wa pengakuan tersebut dapat dijadikan alat bukti. Kemudian dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 135 Allah SWT berfirman yang berarti:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri…” Kesaksian terhadap diri sendiri menurut para mufasir (ahli tafsir) berarti “pengakuan (ikrar)”.
Ikrar sebagai alat bukti hanya berlaku pada diri orang yang mengaku saja dan dampaknya tidak dapat merembet kepada orang lain. Artinya, ikrar dijadikan sebagai alat bukti yang mandiri hanya bagi orang yang mengakui itu. Oleh sebab itu dampak dari pengakuan tersebut juga hanya terhadap dirinya sendiri. Dari sisi inilah tampak perbedaan antara ikrar dan saksi sebagai alat bukti.
Saksi sebagai alat bukti bukan saja berlaku untuk orang yang mengemukakan saksi tersebut, tetapi juga dapat berlaku untuk orang lain. Oleh karena itu kalangan Mazhab Hanafi menganggap bahwa alat bukti saksi lebih kuat daripada alat bukti pengakuan (ikrar).
Ikrar sebagai alat bukti yang kuat dapat dilakukan dengan ucapan langsung di depan hakim bagi orang yang dapat berbicara. Ikrar dapat juga dilakukan dengan isyarat bagi orang yang bisu atau sulit bicara, kecuali dalam kasus zina karena dalam kasus zina dikhawatirkan timbulnya syubhat (kemiripan atau keserupaan). Ini adalah pendapat kalangan Mazhab Hanafi.
Menurut mereka, isyarat dapat menimbul-kan pemahaman yang berbeda-beda. Adapun Imam Syafi‘i dan pengikut Imam Malik mengatakan bahwa orang yang tidak mengalami kesulitan untuk berbicara tidak dibenarkan melakukan pengakuannya dengan isyarat, kecuali dalam be berapa hal, seperti pengakuan yang menyangkut sengketa nasab (keturunan).
Selanjutnya terhadap pengakuan dengan tulisan terdapat pula perbedaan pendapat ulama. Ada yang membolehkan nya dan ada pula yang tidak membolehkannya. Pendapat yang membolehkan dianut Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali), dengan syarat bahwa tulisan tersebut harus dikenal.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah juga mengatakan bahwa tulisan seseorang dapat dikenal dengan baik karena Allah SWT menciptakan tulisan seseorang tidak sama dengan tulisan orang lainnya. Ia juga mengiaskan pada kasus orang yang tak dapat melihat, tetapi kesaksiannya dapat diterima melalui pendengarannya apabila orang buta tersebut benar-benar mengenal suara orang tersebut. Oleh sebab itu pengakuan yang dilakukan secara tertulis juga harus dapat diterima, apalagi hadis mengatakan,
“Tidaklah berhak seorang muslim berwasiat tentang sesuatu yang dimilikinya yang akan berlangsung dua malam, kecuali wasiatnya itu harus tertulis” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, ad-Darimi, Malik, dan Ahmad).
Kalau pengakuan wasiat dengan tertulis tidak dibenarkan, tentu Rasulullah SAW tidak akan mengucapkan hadis ini. Hal ini menunjukkan bahwa pengakuan yang dilakukan secara tertulis dapat dijadikan hujah (alat bukti).
Adapun pendapat kedua yang tidak membolehkan pengakuan tertulis dianut antara lain oleh sebagian kalangan Mazhab Syafi‘i dan sebagian kalangan Mazhab Hanafi. Alasan mereka adalah tulisan seseorang sulit dikenali, yang akibatnya menjadikan sesuatu yang syubhat (meragukan), di samping tulisan itu sendiri dapat dipalsukan. Pendapat ini juga dianut kalangan Mazhab Maliki.
Ulama juga mengemukakan syarat yang harus dipenuhi agar keabsahan ikrar dapat dipertanggungjawabkan, yaitu:
(1) yang memberikan pengakuan tersebut adalah orang yang cakap bertindak hukum; (2) pengakuan itu dilakukannya secara sadar, bukan karena terpaksa; (3) pengakuannya tersebut bersifat objektif, bukan subjektif yang dipengaruhi perasaan; dan (4) yang diakui itu sesuai dengan yang dikenal (diketahui secara baik).
Jika suatu pengakuan telah dikemukakan secara sah (memenuhi syarat yang ditentukan) di depan hakim, maka jika pengakuan yang diberikan tersebut menyangkut hak pribadi seseorang, seseorang tidak dibenarkan mencabut pengakuannya tersebut.
Tetapi jika pengakuannya tersebut menyangkut hak Allah SWT atau masyarakat (seperti zina, pencurian, dan minum khamar), ia dapat mencabut pengakuannya tersebut; karena dalam hal yang menyangkut hak Allah SWT tidak dibenarkan adanya keraguan dalam mene-tapkan hukumannya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
“Tolaklah hudud itu disebabkan adanya syubhat (keraguan). Saya lebih menyukai salah dalam hudud (hak-hak Allah) karena adanya syubhat, daripada salah dalam mendirikan hukuman” (HR. Ibnu Majah).
Dalam kasus harta, jika dilakukan suatu pengakuan terhadap harta (baik pengakuan tersebut dilakukan dalam keadaan sehat ataupun dalam keadaan sakit yang membawa pada maut), pengakuan tersebut dapat diterima, kecuali dalam pengakuan orang yang sedang sakit dan sulit untuk sembuh. Misalnya, seseorang yang dalam keadaan sehat mengakui bahwa ia berutang kepada orang lain dalam jumlah tertentu, maka utang ini dianggap benar atas pengakuan tersebut.
Tetapi jika pengakuan ini dinyatakannya dalam keadaan sakit yang sulit untuk sembuh, atau sakit yang diduga akan membawa pada kematiannya, utangnya ini dapat dibenarkan jika dibenarkan para ahli warisnya. Terhadap harta seseorang yang sedang sakit seperti ini, tindakannya akan terbatas dan mungkin pengakuan tersebut dibuat hanya dengan tujuan untuk mengurangi hak ahli waris tersebut.
Oleh sebab itu, kalangan Mazhab Syafi‘i mengatakan, jika pengakuan tersebut dilakukan sebatas sepertiga harta yang dimilikinya, pengakuannya itu dapat dibenarkan karena orang yang sakit seperti ini hanya memiliki hak untuk ber-tindak secara hukum pada hartanya sebesar sepertiga harta yang dimilikinya, sedangkan dua pertiga bagian lagi telah menyangkut hak ahli waris.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. Nazariyyah al-‘Aqd fi al-Islam. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1978.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba‘ah. Libanon: Dar al-Fikr, 1972.
al-Kahlani, Subul as-SalÎm. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960.
Madkur, Muhammad Salam. al-Qadha’ fi al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr, 1974.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
Nasrun Haroen