Ikhwanul Muslimin

(Ar.: ikwan al-muslimin)

Organisasi pergerakan­ Islam yang didirikan Hasan al-Banna (1906–1949; tokoh pergerakan dan pembaruan Mesir) di Mesir pada Maret 1928 bernama Ikhwanul Muslimin, disingkat Ikhwan­. Melalui organisasi ini, pendiri bermaksud membangkitkan kesadaran beragama bangsa Mesir, membangun kehidupan sosial sesuai dengan ajaran Islam, dan menumbuhkan daya­ juang untuk membebaskan diri dari penjajahan Inggris.

Semula, Ikhwan adalah sebuah gerakan dakwah yang ditujukan bagi lapisan masyarakat paling bawah, dengan sebagian besar pendukung yang terdiri dari kaum buruh di Terusan Suez. Tetapi setelah menyaksikan­ penderitaan masyarakat buruh yang tak berujung, Hasan al-Banna kemudian mengubahnya menjadi gerakan politik.

Pada fase awalnya, kegiatan­ politik Ikhwan masih bergerak di bawah tanah­ dan bersifat rahasia. Pandangan politiknya disalurkan­ melalui masjid. Ikhwan mencari pendukung dan merintis jalan untuk mendirikan cabang secara rahasia melalui masjid. Dengan­ cara ini, Ikhwan cepat berkembang.

Empat tahun kemudian, Ikhwan telah mempunyai cabang hampir di seluruh daerah Terusan Suez. Di kawasan itu Ikhwan mulai mendirikan masjid, sekolah, dan pusat pengajian, serta membina industri rumah tangga. Cabang Ikhwan dengan cepat terbentuk di kota lain.

Pada 1940 telah terbentuk 500 cabang, selanjutnya pada 1949 menjadi 2.000 cabang dengan sekitar setengah juta anggota aktif. Untuk menja-lin komunikasi, Ikhwan menerbitkan majalah, yaitu Ikhwan al-Muslimin, an-Nazir, dan at-Ta‘arruf.

Ikhwan menyelenggarakan muktamarnya berturut­-turut pada 1933, 1936, dan 1939. Muktamar 1939, yang sekaligus juga ulang tahunnya yang kesepuluh, oleh Ikhwan di­ manfaatkan untuk menampakkan diri sebagai organisasi politik. Sejak itu gerakan politik Ikhwan semakin disegani serta berpengaruh besar dalam ke­hidupan masyarakat dan negara Mesir.

Sasaran pokok­ perjuangan politik Ikhwan adalah: (1) memerdekakan Mesir dan negara Islam lainnya dari kekuasaan asing dan (2) mendirikan pemerintahan Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan hadis dengan contoh model khilafah (kekhalifahan) pada zaman al-Khulafa’ ar-Rasyidun (Empat Khalifah Besar).

Dengan sasaran perjuangan tersebut, Ikhwan­ dengan tegas menentang konsep negara sekuler yang pada masa itu diperjuangkan oleh sebagian pembaru di Mesir. Ikhwan berpendapat bahwa Islam bukan hanya sekadar agama. Islam adalah sebuah sistem perundang-undangan yang lengkap untuk kehidupan manusia (Nizam al-hayah). Dalam Islam terdapat dasar sistem politik, ekonomi, kemasyarakatan,­ kenegaraan,­ perundang­-undangan, dan seluruh sistem lain kehidupan manusia.

Untuk mewujudkan konsep khi­lafah, Ikhwan mene­tapkan tahapan perjuangan,­ yaitu: tahap perta­ma,­ membentuk­ pribadi muslim (ar-rajul al-muslim);­ kedua, membentuk­ rumah tangga muslim (al-bait al-muslim); ketiga, membentuk bangsa muslim (asy-sya‘b al-muslim); dan keempat, membentuk pemerintahan­ muslim (al-hukumah al-muslimah) yang perwujudannya dimulai dari tingkat lokal dan ber­ujung pada seluruh negeri muslim yang bersatu sebagai satu nega-ra, yaitu khilafah­ (al-khilafah).

Untuk mewujudkan tujuan dan sasaran per­juang­an, Ikhwan menetapkan langkah pro­gresif dan terkadang dibarengi dengan tindak kekerasan­. Pusat komando­ Ikhwan, yang dipindahkan dari Ismailia ke Cairo, membentuk kesatuan pelopor yang dipersiapkan untuk melawan penjajah­ Inggris. Kemudian mereka juga mendirikan organisasi rahasia bersenjata dan menjalin kontak dengan Gerakan Perwira Merdeka yang dipimpin Gamal Abdel Nasser.

Pada pertengahan 1940 perjuangan Ikhwan mulai mendapat dukungan­ dari pemerintah Mesir. Tetapi, karena Ikhwan sangat membenci kolonialis Inggris dan penga­ruhnya terhadap pemerintah Mesir juga semakin be­sar, Inggris sangat mengkhawatirkan gerak dan perkembangan organisasi ini. Apalagi pada masa itu Ikhwan sudah tidak dapat menghindari bentrokan­ fisik dengan Partai Wafd yang berideologi sekuler.

Bahkan bentrokannya menjalar ke seluruh negeri sampai merembes ke universitas, dan baru reda setelah Partai Wafd pada 1944 dibubarkan pemerintah Kerajaan Mesir. Te­ tapi sikap saling mencurigai antara Ikhwan dan pemerintah timbul kembali setelah Mesir kalah dalam­ perang melawan Israel.

Selama tahun 1948, Ikhwan­ banyak mengajukan tuntutan kepada pemerintah Mesir yang sering disertai dengan tindak kekerasan­. Akibatnya, pemerintah Mesir menyatakan Ikhwan sebagai organisasi terlarang. Ikhwan dibubarkan,­ semua pimpinan dan anggota terkemuka Ikhwan ditahan, kecuali pimpinan tertingginya, Hasan al-Banna. Tetapi setelah seorang anggota muda Ikhwan berhasil membunuh Perdana Menteri Nokhrasyi Pasya 12 Februari 1949, Hasan al-Banna dibunuh agen dinas­ rahasia pemerintah Mesir.

Pada akhir 1951, Ikhwan kembali diperbolehkan aktif di bawah pimpinan yang baru, Hasan al-Hudaibi (w. 1973). Tetapi keadaan ini tidak bertahan lama, karena bulan Januari 1954 Ikhwan kembali dibubarkan, dan setelah itu tidak ada lagi kerjasama antara Ikhwan dan pemerintah Mesir.

Bahkan ketika 26 Oktober 1954 Ikhwan gagal membunuh­ Gamal Abdel Nasser­ di Iskandariyah, enam orang anggotanya yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan,­ termasuk Hudaibi, dihukum gantung.

Sejak itu gerakan Ikhwan semakin lemah dan hampir selama 20 tahun gerakan­ ini tidak tampil di gelanggang percaturan politik secara terbuka. Baru setelah Mesir berada­ di bawah peme­rintahan Anwar Sa­dat, 1970–1981, Ikhwan mulai muncul kembali, walaupun seca­ra resmi masih dianggap orga­nisasi terlarang.

Pada masa peme­rintahan Anwar Sadat, Ikhwan kembali men­jadi organisasi terkuat yang mampu membayang-bayangi gerak-gerik pemerintah Mesir. Kelompok Ikhwan di bawah pimpinan Syukri Mustafa yang menganut garis keras menge­cam tindakan Pemerintah yang menandatangani Perjanjian Camp David (17 September 1978).

Dalam perkembangan selanjutnya,­ keterlibatan Ikhwan dalam kegiatan politik­ di Mesir ini kemudian juga merembes­ ke negara­ di sekitarnya, seperti Palestina (didirikan pada 1946), Suriah (sekitar 1953), dan Yordania (diberi izin pada 1953).

Untuk mencapai tujuan perjuangan, di samping kegiatan politik, Ikhwan juga mengembangkan usaha­ di bidang kemanusiaan dan perekonomian seba­gai sarananya. Ikhwan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan, penerbitan, percetakan,­ pabrik, dan perusahaan di bidang­ pertanian. Melalui lembaga yang dimilikinya, Ikhwan mam­pu menjadikan Islam sebagai dasar dalam bergerak di semua aspek kehidupan.

Pada 1990–1991 akibat krisis Teluk telah membawa perpecahan di tubuh Ikhwan yang terjadi tidak hanya di kalangan Ikhwan dari berbagai negara, namun juga dalam gerakan Ikhwan di suatu negara.

Namun jemaah Ikhwanul Muslimin tetap menjalankan kewajiban berdakwah dan terus berjalan pada jalur kebenaran meskipun­ berbagai rintangan dan hambatan menghadang. Keberhasilan dan popularitas Ikhwan memperlihatkan kepada warga Mesir dan pemerintahannya bahwa kelompok­ Islam secara umum mampu memperoleh legitimasi dari pengaruh positif yang mereka miliki dalam kehidupan sehari-hari.

Pemerintah Mesir tidak mengakui Ikhwan secara legal sebagai partai politik, tetapi keberadaannya secara de facto diterima. Ikhwan terus berusaha mencapai tujuannya yaitu pembangunan sosial, ekonomi, dan politik.

Daftar Pustaka

Bayumi, Zakaria Sulaiman. al-Ikhwan al-Muslimin wa Jama‘ah al-Islamiyyah fi al-hayah as-Siyasah al-Misriyyah. Cairo: Maktabah Wahbah, 1979.

al-Husaini, Ishaq Musa. Ikhwan al-Muslimin, terj. Syu’bah. Jakarta: Grafiti, 1983.

Ramadan, Abdel Aziz. “Fundamentalist Influence in Egypt: Strategies of the Muslim Brotherhood and the Tafkir Groups,” Fundamentalisms and the State. Chicago: t.p, 1993.

RIDLO MASDUKI