Ikhwan as-Safa adalah sebuah organisasi gerakan politik keagamaan pada abad ke-4 H/10 M di Basrah. Gerakan ini berasal dari Syiah Ismailiyah yang terlibat dalam politik secara rahasia sejak imam mereka, Isma‘il bin Ja‘far as-Sadiq, meninggal pada 760. Ketika Syiah menjadi mazhab penguasa, kelompok ini muncul meskipun tetap menjaga kerahasiaannya.
Ikhwan as-Safa disebut juga Brethren of Purity, Khullan al-Wafa, Ahl al-‘Adl, Abna’ al-hamdi, atau dengan sebutan singkat Ikhwanuna, atau juga Auliya’ Allah. Ada yang mengenal kelompok ini sebagai ikatan para pemikir (intelektual) yang menyebarkan filsafat dan sains dengan cara memadukan syariat Islam dengan filsafat Yunani. Namun demikian, Ahmad Amin (sejarawan Mesir dan peneliti tasawuf) mengatakan, “Ikhwan as-Safa adalah gerakan yang mendukung politik rezim Bani Buwaihi.”
Marguet (kontributor The Encyclopaedia of Islam) menyebutkan bahwa Rasa’il Ikhwan as-safa wa Khullan al-Wafa (Surat Ikhwan as-Safa dan Khullan al-Wafa) adalah karya Ikhwan as-Safa. Kandungan risalah ini meliputi pemikiran filsafat dan sains, terdiri dari 52 naskah, disusun menjadi empat kelompok:
(1) tentang matematika, terdiri dari 14 naskah, meliputi geometri, astronomi, musik, geografi, seni teoretis dan praktis, moral, dan logika;
(2) tentang ilmu alam dan fisika, terdiri dari 17 naskah, meliputi fisika, mineralogi, botani, alam kehidupan dan kematian, dan batas-batas ke-mampuan pemahaman manusia;
(3) sains tentang pemikiran dan psikologi, terdiri dari 10 naskah yang meliputi antara lain metafisika dan pemikiran tentang edar dan waktu, tabiat cinta, dan tabiat kebangkitan kembali pada hari kiamat; dan
(4) ilmu tentang agama dan ketuhanan, terdiri dari 11 naskah yang meliputi keimanan dan upacara ritual, peraturan tentang hubungan manusia dengan Tuhan, upacara Ikhwan as-Safa, ramalan dan keadaan mereka, entitas (perwujudan) spiritual dan tindakan (aksi), tipe perundangan politik, takdir, ilmu gaib, dan ‘azimat (jimat).
Secara garis besar, pemikiran Ikhwan as-Safa bersifat liberal, meskipun tetap ingin memadukannya dengan Islam. Teks Risalah Ikhwan as-safa terbit secara lengkap pertama kali tahun 1305 H/1887 M–1306 H/1889 M di Bombay, 1928 di Cairo (diedit oleh Zikrili), kemudian pada tahun 1957 di Beirut. Pemikiran Ikhwan as-Safa yang menonjol adalah dalam bidang filsafat. Mereka memandang bahwa syariat itu hanya cocok untuk orang awam, bagaikan obat-obatan untuk jiwa yang lemah dan sakit.
Pengaruh Risalah Ikhwan as-safa cukup besar dalam kelanjutan transformasi filsafat Yunani ke dunia Islam, meskipun mendapat reaksi cukup keras dari golongan agama, termasuk juga dari kelompok mutakallim (teolog) yang menolak pentakwilan Al-Qur’an dan hadis. Bahkan kalangan filsuf sendiri memandang aneh filsafat yang dikembangkan Ikhwan as-Safa dan hanya cocok untuk orang awam. Adapun cakupan pemikiran filsafatnya meliputi bidang berikut:
(1) Ilmu. Aktivitas akal ada dua, ilmu dan ciptaan. Bagi Ikhwan as-Safa, seseorang bisa memiliki potensi, tetapi potensi tidak akan bisa aktual tanpa bimbingan guru. Selain itu, mereka memandang bahwa ilmu yang diketahui manusia datang dari tiga jalan: pancaindra, argumen, dan perenungan akal. Ketiga jalan ini merupakan tahapan ilmu yang sederhana dan dapat sampai kepada makrifat Allah dengan syarat zuhud (ascetic) dan amal saleh.
(2) Matematika. Matematika adalah tahapan pengetahuan yang harus dilalui seseorang yang ingin mempelajari filsafat. Mereka memandang bahwa angka mempunyai makna sakral pada semua bilangan. Angka satu merupakan prinsip dasar dari segala yang baik, yang materiil atau yang maknawi. Tujuan dari ilmu hitung dan ilmu ukur adalah membimbing jiwa melepaskan diri dari yang indrawi menuju kepada yang falsafi, yaitu melihat planet. Bagi Ikhwan as-Safa, bintang di langit dapat meramalkan kejadian pada masa yang akan datang.
(3) Mantik (logika). Mantik dapat meningkatkan kemam puan jiwa dengan nalar yang tinggi untuk mencapai wujud metafisik. Dengan mantik jiwa dapat dipahami filsafat ketuhanan. Menurut Ikhwan as-Safa, jenis (genus), spesies (an-nau‘), dan person (asy-syakhs) menunjuk kepada materi, sedangkan al-khaslah (perangai) dan al-‘ardh (hal yang melekat pada zat) menunjuk kepada makna. Untuk dapat memahami kategori itu, diperlukan sistematika, uraian (at-tahlil), definisi (al-hadd), dan argumentasi (al-burhan).
(4) Metafisika. Ikhwan as-Safa berpendapat bahwa alam semesta adalah emanasi Tuhan melalui akal dengan rentetan (a) akal aktif (al-‘aql al-fa‘‘al), (b) jiwa universal (an-nafs al-kulliyyah), (c) materi pertama (al-hayula al-ula), (d) potensi jiwa universal (at-tabi‘ah al-fa‘ilah), (e) materi absolut (al-hayula ats-tsani), (f) alam falak (‘alam al-aflak), (g) unsur alam yang lebih rendah (‘anasir al-‘alam as-sufla), dan (h) objek gabungan dari mineral, tumbuhan, dan hewan.
Delapan mahiyah ini ditambah dengan wujud Allah yang satu sebagai Zat Mutlak menjadi sembilan. Selanjutnya dikatakan bahwa segala sesuatu ada yang berupa materi, bentuk, jauhar (substansi), atau‘ardh. Jauhar yang pertama adalah materi dan bentuk, dan‘ardh yang pertama adalah tempat, gerak dan zaman.
(5) Jiwa. Alam semesta merupakan bentuk makro (macrocosmos) dari manusia, sedangkan manusia merupakan bentuk mikro (microcosmos) dari alam. Jiwa manusia berasal dari pancaran jiwa universal (jiwa alam). Jiwa manusia secara keseluruhan merupakan jauhar (manusia absolut). Jiwa manusia secara bertahap berkembang menjadi akal dan mempunyai potensi berpikir (an-natiqah) yang dapat menangkap pengetahuan yang menjadi esensi dari kehidupan jiwa.
Jadi, jiwa mempunyai indra lahir dan indra batin. Indra lahir menangkap objek yang lahir. Objek indrawi ini kemudian membentuk imajinasi pada bagian otak, kemudian meningkat pada kemampuan afektif (al-quwwah al-mufakkirah) pada bagian tengah otak, kemudian ke memori (al-quwwah al-hafizah) pada bagian belakang otak, dan kepada pengungkapan pikiran (al-quwwah an-natiqah) kepada orang lain, baik secara lisan maupun tulisan.
(6) Filsafat agama. Ikhwan as-Safa, seperti dikemukakan di atas, ingin memadukan filsafat dan agama. Tetapi, karena secara intelektual kemampuan manusia antara satu dan lainnya tidak sama, ada yang awam (biasa) dan ada yang khawas (tertentu), upaya ini sulit diwujudkan. Bagi mereka, ungkapan Al-Qur’an yang bersifat indrawi hanya cocok untuk golongan awam, dan bagi orang yang memiliki pengetahuan yang tinggi, hal itu harus ditakwilkan.
(7) Moral. Ukuran baik dan buruk menurut Ikhwan as-Safa ditentukan akal. Perbuatan dipandang terpuji apabila dikerjakan secara bebas atas kehendak sendiri, dan menjadi utama manakala didasarkan kepada logika akalnya. Kehidupan rohani dan zuhud menjadi prinsip hidup mereka. Karena itu, mengerjakan kewajiban yang berasal dari wahyu dapat mencapai alam malakut (malaikat), tetapi jiwa merindukan yang lebih tinggi dari itu. Di sini cinta dipandang sebagai puncak keutamaan, yaitu cinta yang menghasilkan ekstase, dan manifestasinya adalah pada kesabaran yang penuh rida dan ketakwaan.
Daftar Pustaka
Amin, Ahmad. huhr al-Islam. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1969.
Boer, T.J. De. Tarikh al-Falsafah fi al-Islam. Cairo: Lajnah at-Ta’lif wal Tarjamah. t.tp.: t.p., 1938.
Fakhry, Majid. A History of Islamic Philosophy. London: Longman Group Ltd., 1983.
Marquet, Y. “Ikhwan as-Safa,” The Encyclopaedia of Islam, ed. B. Lewis. Leiden: E.J. Brill, 1979.
Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Hasan Basri. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1989.
Ahmad Rofiq