Secara kebahasaan, ikhtilaf berarti “perbedaan”, “perselisihan”, “pertukaran”, atau “berlainan”. Ungkapan ikhtilaf ummati rahmah (“perbedaan pendapat umatku adalah rahmah”) biasanya disandarkan pada sabda Nabi SAW. Ikhtilaf juga ada dalam berbagai bidang ilmu lainnya, seperti fikih, kalam, filsafat, tasawuf, tafsir, dan hadis.
Kata “ikhtilaf” digunakan dalam Al-Qur’an pada 7 ayat serta kata jadiannya pada 9 tempat, 3 dari akar katanya dan masih banyak kata jadian lainnya; misalnya dalam surah Yunus (10) ayat 6, al-Mu’minin (23) ayat 80, ar-Rum (30) ayat 22, al-Baqarah (2) ayat 164, Ali ‘Imran (3) ayat 190, al-Jatsiyah (45) ayat 5, dan an-Nisa’ (4) ayat 82.
Ikhtilaf juga diartikan sebagai “perselisihan” sebagaimana tersebut pada surah al-Baqarah (2) ayat 176, 213, dan 253; Ali ‘Imran (3) ayat 105; an-Nisa’ (4) ayat 157; Yunus (10) ayat 19 dan 93; an-Nahl (16) ayat 39, 64, dan 124; al-Anfal (8) ayat 42; dan asy-Syura (42) ayat 10.
Dalam Islam, ikhtilaf selalu ada dalam memahami syariat sebagai hasil ijtihad. Kata “ikhtilaf” juga sering dipertentang kan dengan kata “ijmak” atau ittifaq yang berarti “konsensus” atau “kesepakatan”. Perbedaan pendapat di antara para mujtahid biasanya muncul dalam memahami Al-Qur’an dan sunah sebagai sumber hukum Islam melalui kias (analogi), al-Maslahah al-Mursalah, istihsan, dan istihsab.
Banyak buku yang menyajikan bahasan tentang ikhtilaf ulama, misalnya Ikhtilaf Abi hanifah wa Ibn Abi Laila karya Abu Yusuf (ulama Mazhab Hanafi; 113 H/731 M–182 H/798 M) dan Ikhtilaf Malik dalam kitab al-’Umm karya Imam Syafi‘i.
Ikhtilaf Matlak. (Ar.: al-ikhtilaf al-matla‘ = tempat terbitnya bulan). Istilah “ikhtilaf matlak” dalam fikih hanya terdapat dalam kajian tentang terbitnya hilal (bulan sabit) untuk menentukan awal dan akhir puasa Ramadan (Hari Raya Idul Fitri) di berbagai wilayah Islam serta penentu waktu bagi pelaksanaan ibadah haji di Arafah.
Pembahasan masalah ikhtilaf matlak senantiasa muncul ketika umat Islam akan menentukan awal dan akhir bulan Ramadan setiap tahun. Oleh sebab itu, pembahasan ikhtilaf matlak di berbagai wilayah Islam lebih ditekankan pada persoalan awal terbit hilal menjelang puasa Ramadan dan hilal di akhir bulan Ramadan.
Persoalan yang menjadi pembahasan ulama adalah apakah terbitnya hilal Ramadan atau hilal Hari Raya Idul Fitri di suatu wilayah (petunjuk dimulainya puasa atau diakhirinya puasa Ramadan) harus diikuti pula oleh wilayah lain yang belum melihat hilal.
Ulama fikih menyatakan bahwa tidak dapat diingkari bahwa waktu munculnya hilal pada setiap daerah berbeda-beda, apalagi jika daerah itu saling berjauhan. Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya yang berkaitan dengan hilal ini menyatakan,
“Jika kamu melihat (hilal) bulan (Ramadan), berpuasalah kamu, dan jika kamu melihat (hilal) bulan (Syawal), berbukalah kamu” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).
Secara umum hadis ini menunjukkan bahwa siapa saja di antara kaum muslimin yang telah melihat hilal, maka ia wajib mengikuti rukyat tersebut, karena lafal “kamu” dalam hadis itu bisa diartikan dengan “seluruh umat Islam yang akan berpuasa”.
Namun, para ahli fikih tidak sepakat tentang penafsiran tersebut, karena menurut jumhur ulama fikih, hadis ini lebih menunjukkan geografi orang yang melakukan rukyat, bukan untuk seluruh umat Islam. Oleh sebab itu, apabila di suatu daerah sudah ada orang yang melihat hilal, mereka wajib memulai puasa atau mengakhiri puasa.
Adapun umat Islam di daerah lain menunggu sampai mereka melihat hilal atau jika hilal tidak kelihatan, mereka menyempurnakan bilangan bulan Syakban sampai 30 hari (istikmal). Namun demikian, jumhur ulama menyatakan bahwa apabila beberapa daerah dipimpin oleh satu kepala negara, seperti Indonesia, sekalipun berjauhan, apabila kepala negara telah mengumumkan dimulainya puasa dengan rukyat yang telah dilakukan di suatu daerah kekuasaannya, seluruh umat Islam di negara tersebut wajib mengikuti pengumuman pemerintah tersebut.
Misalnya, ahli rukyat dari Aceh telah melihat hilal dan atas dasar itu pemerintah mengumumkan hari dimulainya puasa, maka umat Islam yang berada di Irian Jaya wajib mengikuti keputusan pemerintah tersebut. Hal ini, menurut mereka, sejalan dengan kaidah fikih yang menyatakan, “Keputusan pemerintah menghilangkan perbedaan pendapat.” Permasalahan matlak di daerah kutub maupun subtropis belum dibahas oleh ulama di zaman klasik.
Dalam literatur fikih modern, seperti dalam kitab al-Fiqh al-MuqÎran yang disusun oleh Muhammad Said Ramadan al-Buti (guru besar usul fikih di Universitas Damascus), ditemukan pendapat para ahli fikih yang menyatakan adanya kesulitan dalam mengidentifikasi bulan di kedua daerah tersebut, sehingga tidak mungkin untuk melihat hilal.
Untuk menentukan awal bulan Ramadan, awal bulan Syawal, dan awal setiap bulan Kamariah di kedua daerah itu, menurut Muhammad Said Ramadan al-Buti dan Wahbah az-Zuhaili (ahli fikih Suriah) dapat digunakan waktu yang berlaku di daerah terdekat dari daerah kutub atau subtropis tersebut; di daerah terdekat itu dapat diidentifikasi terbitnya awal bulan Ramadan.
Atas dasar itu, apabila daerah terdekatnya telah melihat hilal Ramadan, umat Islam di daerah kutub dan daerah subtropis wajib memulai puasa mereka; dan apabila daerah terdekat telah melihat hilal awal Syawal, umat Islam di daerah kutub dan subtropis itu pun harus mengakhiri puasa mereka dengan melaksanakan salat Idul Fitri.
Daftar Pustaka
al-Baghdadi, Abu Mansur Abdul Qahir bin Tahir at-Tamimi. al-Farq Bain al-Firaq. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1977.
al-Buti, Muhammad Said Ramadan. Dawabit al-Maslahah. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1397 H/1977 M.
–––––––. Muhadarah fi al-Fiqh al-Muqaran. Beirut: Dar al-Fikr, 1390 H/1970 M.
Hasan, Husain Hamid. Nazariyyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami. Beirut: Dar an-Nahdah, 1971.
Ibnu Qutaibah. Ta’wil Mukhtalaf al-hadits. Beirut: Darul Kitab al-Arabi, t.t.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1986.
ar-Rabi’ah, Abdul Aziz bin Abdur Rahman bin Ali. Adillah at-Tasyri‘ al-Mukhtalaf fi al-Ihtijaj biha. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1982.
AHMAD ROFIQ