Ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti “berusaha dengan sungguh-sungguh”. Di bidang fikih, ijtihad berarti “mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dengan syarat tertentu”. Menurut para ahli usul fikih, ijtihad berarti “mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syarak yang bersifat operasional dengan istinbat (mengambil kesimpulan hukum)”.
Menurut Imam al-Amidi dalam bukunya yang berjudul al-Ihkam fi Usul al-Ahkam (Penyempurnaan dalam Dasar Hukum), ijtihad mempunyai arti “mencurahkan semua kemampuan untuk mencari syarak yang bersifat zanni (dugaan) sampai merasa diri tidak mampu mencari tambahan kemampuan itu”.
Dasar Hukum Ijtihad. Dasar hukum ijtihad adalah dalil Al-Qur’an, sunah, dan ijmak. Dasar ijtihad dalam Al-Qur’an adalah surah an-Nisa’ (4) ayat 83, surah asy-Syu‘ara’ (26) ayat 38, surah al-Hasyr (59) ayat 2, dan surah al-Baqarah (2) ayat 59. Dasar ijtihad dalam sunah adalah sabda Nabi SAW yang berarti: “Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, tetapi apabila berijtihad lalu keliru maka baginya satu pahala” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini diucapkan Nabi SAW dalam rangka membenarkan perbuatan Amr bin As yang salat tanpa terlebih dahulu mandi, padahal ia dalam keadaan junub; Amr hanya melakukan tayamum. Hadis lain adalah hadis yang menjelaskan dialog Nabi SAW dengan Mu‘az bin Jabal (salah seorang sahabat) ketika hendak diutus ke Yaman. Pada intinya, Nabi SAW bertanya kepada Mu‘az bin Jabal tentang cara menetapkan hukum apabila ada kasus yang dihadapkan kepadanya.
Mu‘az bin Jabal mengatakan, “Apabila saya dapati dalam Al-Qur’an hukum yang terkait dengan kasus itu, maka saya terapkan ayat itu; apabila tidak ada dalam Al-Qur’an, saya cari dalam sunah Rasulullah SAW; dan apabila dalam sunah Rasulullah SAW juga tidak ada hukumnya maka saya akan berijtihad (HR. Abu Dawud, at-Tirmizi, dan ad-Darimi).
Adapun dasar dari ijma’ (ijmak) dimaksudkan bahwa umat Islam dalam berbagai mazhab telah sepakat atas kebolehan berijtihad dan bahkan telah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah SAW. Ijtihad yang dilakukan ulama merupakan alternatif yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan yang timbul dan persoalan yang terjadi dalam masyarakat karena tuntutan situasi dan perkembangan zaman. Ijtihad hanya dilakukan terhadap masalah yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti dalam Al-Qur’an dan sunah.
Ijtihad dilakukan ulama untuk menjawab persoalan dalam masyarakat yang bersifat dinamis dan senantiasa mengalami perubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman. Ijtihad banyak dilakukan dalam bidang fikih sesudah zaman sahabat dan tabiin (orang yang hanya bertemu dengan sahabat, tidak bertemu dengan Nabi SAW). Karena banyaknya ijtihad yang dipakai pada masa ini, timbul banyak perbedaan pendapat antara ulama fikih, yang kemudian melahirkan mazhab fikih.
Perkembangan Ijtihad. Ijtihad dalam sejarah telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Rasulullah SAW sendiri adalah mujtahid (ahli ijtihad) pertama. Ijtihadnya terbatas dalam masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh wahyu (Al-Qur’an). Apabila hasil ijtihad Rasulullah SAW itu benar, wahyu turun membenarkannya, dan jika ijtihad Rasulullah SAW salah, wahyu turun untuk meluruskan kesalahan itu.
Contoh ijtihad Rasulullah SAW yang mendapat pembenaran wahyu adalah ijtihadnya tentang pembebasan tawanan Perang Badar. Ketika itu umat Islam memenangkan pertempuran dan banyak tentara musuh yang tertawan.
Rasulullah SAW bertanya kepada sahabatnya mengenai tawanan perang tersebut. Umar bin Khattab menjawab, “Tawanan perang itu hendaknya dibunuh,” sedangkan Abu Bakar as-Siddiq menyatakan, agar tawanan itu dibebaskan dengan syarat membayar fidyah (denda). Rasulullah SAW lalu mengambil keputusan bahwa tawanan perang itu dibebaskan dengan membayar fidyah.
Keputusan ini merupakan ijtihad Rasulullah SAW meskipun dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan sahabatnya. Lalu turunlah surah al-Anfal (8) ayat 67–69 yang membenarkan ijtihad Rasulullah SAW.
Adapun contoh ijtihad Rasulullah SAW yang salah adalah keputusannya tentang pemberian izin bagi orang munafik untuk tidak ikut dalam peperangan. Lalu turun surah at-Taubah (9) ayat 43–45 yang menyatakan kekeliruan ijtihad Rasulullah SAW.
Pada masa sahabat, ijtihad mulai banyak dipakai karena dengan wafatnya Rasulullah SAW, wahyu dengan sendirinya tidak lagi diturunkan dan hadis juga tidak lagi bertambah. Sementara itu, masalah yang dihadapi umat Islam bertambah terus dan memerlukan ketentuan hukum.
Pada masa Abu Bakar, jika menghadapi sesuatu persoalan dan tidak menemukan nasnya dalam Al-Qur’an dan hadis, ia mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dan menentukan hukum dari masalah itu. Demikian pula pada masa Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Mereka menggunakan ijtihad terhadap masalah yang tidak didapati nasnya di dalam Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.
Akan tetapi, di antara keempat sahabat besar itu, hanya Umar yang diketahui paling banyak memakai ijtihad. Walaupun demikian, keempat sahabat itu sangat berhati-hati dalam mengeluarkan suatu pendapat yang merupakan hasil ijtihad. Abu Bakar, apabila berijtihad dengan pendapatnya, selalu berkata, “Ini adalah pendapatku. Jika benar, itu dari Allah dan jika salah, itu dari saya. Saya mohon ampun atas kesalahan itu.” Umar pernah mengatakan, “Ini pendapat Umar. Jika pendapat itu benar, itu adalah dari Allah dan jika salah, itu pendapat Umar.”
Selain dari keempat sahabat itu, ada pula beberapa sahabat yang terkenal dengan ijtihadnya, seperti Ibnu Mas‘ud, Abu Musa al-Asy‘ari, Mu‘az bin Jabal, Ubay bin Ka‘b, dan Zaid bin Sabit.
Sesudah masa sahabat, ijtihad semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan munculnya mujtahid besar, seperti Abdullah bin Umar bin Khattab, Ibnu Syihad az-Zuhri, Abdullah bin Abbas, Alqamah bin Qais, Anas bin Malik, Umar bin Abdul Aziz, Abdullah bin Amr, dan Wahhab bin Munabbih.
Ijtihad mengalami masa perkembangan yang paling pesat pada abad ke-2 sampai dengan abad ke-4 Hijriah. Masa itu dikenal dengan periode pembukuan sunah serta fikih dan munculnya mujtahid-mujtahid terkemuka yang kemudian dikenal sebagai imam mazhab, yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi‘i, dan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali).
Setelah abad ke-4 Hijriah, perkembangan ijtihad mengalami kemunduran, bahkan muncul pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Hal ini disebabkan antara lain karena umat Islam merasa cukup dengan pendapat mujtahid sebelumnya. Umat Islam memandang bahwa hukum bagi semua masalah telah ditetapkan oleh fukaha (ahli hukum Islam), sehingga mereka hanya boleh menjelaskan dan menafsirkan ajaran yang telah disepakati fukaha terdahulu.
Di samping itu, tidak ada lagi muncul mujtahid yang memiliki kemampuan dan keunggulan seperti yang dimiliki para mujtahid sebelumnya sehingga tidak ada lagi yang disebut mujtahid mutlak (mujtahid mustaqill). Yang ada hanya mujtahid fi al-madzhab (mujtahid yang mengikuti pendapat para imam mazhab sebelumnya) atau mujtahid murajjih (mujtahid yang menerangkan dan memperkuat pendapat imam mazhab sebelumnya).
Kemudian dalam perkembangan berikutnya, muncul ulama seperti Ibnu Taimiyah yang menyerukan agar umat Islam membuka kembali pintu ijtihad. Pendapat Ibnu Taimiyah memperoleh dukungan dari ulama dan tokoh pemikir serta pembaru sesudahnya, seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Rida.
Pada masa kini, ulama semakin dituntut untuk berusaha melakukan ijtihad, karena semakin banyak persoalan yang dihadapi umat sebagai akibat dari pengaruh perubahan yang begitu pesat.
Jenis Hukum Ijtihad. Begitu pentingnya ijtihad itu dilakukan, sehingga ahli usul fikih menetapkan bahwa hukum ijtihad itu ada tiga macam, yaitu fardu ain (wajib bagi setiap orang), fardu kifayah (cukup dilakukan sebagian orang), dan mandub (sunah). Penetapan seperti ini terdapat dalam kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din.
Hukum ijtihad menjadi fardu ain apabila timbul suatu persoalan yang sangat mendesak untuk ditentukan atau dicarikan kepastian hukumnya, baik untuk diri sendiri maupun untuk umat. Hukum ijtihad menjadi fardu kifayah apabila muncul persoalan yang diajukan kepada beberapa ulama untuk dijawab, dan kewajiban mereka menjadi gugur jika salah seorang di antara mereka memberi jawaban atas persoalan tersebut.
Ijtihad menjadi mandub apabila masalah yang akan dicarikan kepastian hukumnya adalah masalah yang belum mendesak, misalnya persoalan yang ditanyakan itu belum terjadi di masyarakat.
Mujtahid. Mereka adalah orang yang melakukan ijtihad atau ulama yang ahli dalam bidang fikih. Agar ijtihadnya dapat menjadi pegangan bagi umat, seorang mujtahid harus memiliki beberapa persyaratan. Persyaratan pokok untuk menjadi mujtahid, menurut Yusuf al-Qardawi (ahli usul dan fikih) dalam bukunya al-Ijtihad fi asy-Syari‘ah al-Islamiyyah, ada delapan, yaitu:
(1) memahami Al-Qur’an dengan asbab an-nuzul (sebab turunnya ayat Al-Qur’an) dan ayat nasikh dan mansukh (yang menghapuskan dan yang dihapuskan);
(2) memahami hadis, ilmu hadis dirayahnya, hadis yang nasikh dan mansukh, dan sebab wurud (sebab munculnya hadis);
(3) mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab;
(4) mengetahui tempat ijmak;
(5) mengetahui usul fikih;
(6) mengetahui maksud syariat;
(7) memahami masyarakat dan adat istiadatnya; dan
(8) memiliki sifat adil dan takwa.
Di samping delapan syarat ini, beberapa ulama menambahkan tiga syarat lagi, yaitu:
(1) mendalami ilmu usuluddin,
2) memahami ilmu mantik (logika), dan
3) menguasai cabang fikih.
Berdasarkan ijtihad yang dilakukan, ulama mengelompokkan mujtahid dalam beberapa tingkatan. Muhammad Abu Zahrah (ahli usul, fikih, dan kalam) dalam bukunya Usul al-Fiqh menyebut enam tingkatan.
(1) Mujtahid mustaqill, yaitu mujtahid yang mengeluarkan hukum dari Al-Qur’an dan sunah, melakukan kias, berfatwa, dan beristihsan. Mereka menempuh segala cara beristidlal (pengambilan dalil) yang ditentukan sendiri dan tidak mengikuti pendapat siapa pun. Mujtahid mustaqill adalah tingkatan mujtahid yang paling tinggi.
(2) Mujtahid muntasib, yaitu mujtahid yang memilih perkataan seorang imam dalam hal yang bersifat mendasar dan berbeda pendapat dengan mereka dalam hal furuk (cabang), walaupun pada akhirnya ia akan sampai pada hasil serupa dengan yang telah dicapai imam tersebut.
(3) Mujtahid fi al-madzhab, yaitu mujtahid yang mengikuti pendapat imam mazhab, baik dalam hal usul (pokok) maupun furuk. Usahanya hanya terbatas dalam meng-istinbatkan atau menyimpulkan hukum bagi persoalan yang belum ditemui hukumnya dalam pendapat imam mazhab.
(4) Mujtahid murajjih, yaitu mujtahid yang mengistinbatkan hukum yang tidak diijtihadkan ulama sebelumnya. Sebenarnya, mujtahid pada tingkat ini tidak mengistinbatkan hukum, tetapi mereka hanya melakukan tarjih (mencari pendapat imam mazhab yang lebih kuat).
(5) Mujtahid muhafiz, yaitu mujtahid yang mengetahui hukum yang telah ditarjihkan ulama sebelumnya.
(6) Mujtahid muqallid, yaitu mujtahid yang hanya sanggup memahami pendapat mujtahid lain, tidak mampu melakukan tarjih
Yusuf al-Qardawi menyebutkan empat tingkatan mujtahid, yaitu:
(1) mujtahid mustaqill,
(2) mujtahid muntasib,
(3) mujtahid fi al-madzhab, dan
(4) mujtahid murajjih (mujtahid fatwa).
Cara Melakukan Ijtihad. Dalam melakukan ijtihad, para fukaha menempuh beberapa cara. Yang umum dipakai adalah kias, istihsan, al-maslahah al-mursalah, dan ‘urf.
Kias adalah menyamakan hukum suatu masalah dengan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunah karena ilat (sebab)nya sama. Misalnya, hukum minum bir sama dengan hukum minum khamar, yaitu haram, karena ilat keduanya sama, yaitu sama-sama memabukkan (menghilangkan ingatan).
Masalah yang boleh dilakukan dengan cara ini adalah masalah atau kejadian yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan sunah.
Istihsan adalah mengecualikan hukum suatu masalah dari hukum masalah lain yang sejenis dan kemudian menetapkan bagi masalah itu suatu hukum yang lain karena adanya ala-san yang kuat bagi pengecualian itu. Ada dua macam istihsan, yaitu istihsan qiyas yang disebut juga qiyas al-khafi, dan istihsan dharurah.
Istihsan qiyas atau qiyas al-khafi adalah mengecualikan hukum suatu masalah yang telah ditetapkan dengan kias dan mencari kias yang lebih kuat atau yang paling kuat di antara beberapa kias yang bertentangan mengenai suatu masalah.
Istihsan darurah adalah membuat hukum yang menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dengan kias karena alasan darurat. Hal ini dimungkinkan apabila penerapan hukum yang ditetapkan secara kias akan menimbulkan kesulitan. Mujtahid yang banyak memakai istihsan dalam meng-istinbatkan hukum adalah Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi).
Al-maslahah al-mursalah adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nasnya dalam Al-Qur’an dan sunah untuk mencapai kebaikan. Mujtahid yang dikenal ban-yak memakai cara al-maslahah al-mursalah adalah Imam Hanbali dan Imam Malik.
Adapun yang dimaksud dengan‘urf adalah kebiasaan umum atau adat istiadat. Ditinjau dari pemakaiannya, ‘urf terbagi dua, yaitu ‘urf umum dan ‘urf khusus. ‘Urf umum adalah kebiasaan yang berlaku untuk semua orang di semua negeri dalam suatu masalah, sedangkan ‘urf khusus adalah ‘urf yang dipakai di negeri tertentu atau dalam masyarakat tertentu. ‘Urf dapat berupa perkataan dan dapat pula berupa perbuatan.
Daftar Pustaka
Amidi, Saifuddin Abu al-Hasan. al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.
al-Khatib, Abdul Karim. Sadd Bab al-Ijtihad wa Ma Tarattaba ‘Alaih. Beirut: Dar al-Isalah, 1984.
al-Madani, Muhammad. Mawatin al-Ijtihad fi asy-Syari‘ah al-Islamiyyah. Kuwait: Matba’ah al-Manar, t.t.
al-Qardawi, Muhammad Yusuf. al-Ijtihad fi asy-Syara‘ah al-Islamiyyah ma‘a NazarahTahliliyyah fi al-Ijtihad al-Mu‘asir. Kuwait: Dar al-Qalam, t.t.
al-Umri, Nadiyah Syarif. al-Ijtihad fi al-Islam, Usuluh, Ahkamuh, Afaquh. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1984.
Musdah Mulia