(Ar.: al-ijtihad)
Ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti “berusaha dengan sungguh-sungguh”. Di bidang fikih, ijtihad berarti “mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk me-nyelidiki dan mengeluarkan hukum yang terkandung dalam Al-Quran dengan syarat tertentu”. Menurut¬ para ahli ushul fikih, ijtihad berarti “mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syarak yang bersifat operasional dengan istinbat (mengambil kesimpulan hukum)”.
Menurut Imam al-Amidi dalam bukunya yang berjudul al-Ihkam fi Usul al-Ahkam (Penyempurnaan dalam Dasar Hukum), ijtihad mempunyai arti “mencurahkan semua kemampuan untuk mencari syarak yang bersifat zanni (dugaan) sampai merasa diri tidak mampu mencari tambahan kemampuan itu”.
Dasar Hukum Ijtihad
Dasar hukum ijtihad adalah dalil Al-Quran, sunah, dan ijmak. Dasar ijtihad dalam Al-Quran adalah surah an-Nisa’ (4) ayat 83, surah asy-Syu‘ara’ (26) ayat 38, surah al-Hasyr (59) ayat 2, dan surah al-Baqarah (2) ayat 59. Dasar ijtihad dalam sunah adalah sabda Nabi SAW yang berarti: “Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, tetapi apabila berijtihad lalu keliru, maka baginya satu pahala” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini diucapkan Nabi SAW dalam rangka membenarkan¬ perbuatan Amr bin As yang salat tanpa terlebih dahulu mandi,¬ padahal ia dalam keadaan junub; Amr hanya melakukan tayamum. Hadis lain adalah hadis yang men¬jelaskan dialog Nabi SAW dengan Mu‘az bin Jabal (salah seorang sahabat) ketika hendak diutus ke Yaman. Pada intinya, Nabi SAW bertanya kepada Mu‘az bin Jabal tentang cara menetapkan hukum apabila ada kasus yang dihadap¬kan kepadanya.
Mu‘az bin Jabal mengatakan, “Apabila saya dapati dalam Al-Quran hukum yang terkait dengan kasus itu, maka saya terapkan ayat itu; apabila tidak ada dalam Al-Quran, saya cari dalam¬ sunah Rasulullah SAW; dan apabila dalam sunah Rasulullah SAW juga tidak ada hukumnya maka saya akan berijtihad (HR. Abu Dawud, at-Tirmizi, dan ad-Darimi).
Adapun dasar dari ijma’ (ijmak) dimaksudkan bahwa umat Islam dalam berbagai mazhab telah sepakat atas kebolehan berijtihad dan bahkan telah diprak¬tikkan sejak¬ zaman Rasulullah SAW. Ijtihad yang dilakukan ulama merupakan alternatif yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan yang timbul dan persoalan yang terjadi dalam masyarakat, karena tuntutan situasi dan perkembangan¬ zaman. Ijtihad hanya dilakukan terha¬dap masalah yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti dalam Al-Quran dan sunah.
Ijtihad dilakukan ulama untuk menjawab¬ persoalan dalam masyarakat yang bersifat dinamis¬ dan senantiasa mengalami perubahan dan berkembang mengikuti peredaran¬ zaman. Ijtihad banyak dilakukan dalam bidang fikih sesudah zaman¬ sahabat dan tabiin (orang yang hanya bertemu dengan sahabat, tidak bertemu dengan Nabi SAW). Karena banyaknya ijtihad yang dipa¬kai pada masa ini, timbul banyak perbedaan pendapat¬ antara ulama fikih, yang kemudian melahirkan¬ mazhab fikih.
Perkembangan Ijtihad
Ijtihad dalam sejarah telah ada sejak zaman Rasulullah¬ SAW. Rasulullah SAW sendiri adalah mujtahid (ahli ijtihad) pertama. Ijtihadnya terbatas da¬lam masalah yang belum ditetapkan hu¬kumnya oleh wahyu (Al-Quran). Apabila hasil ijtihad¬ Rasulullah SAW itu benar, wahyu turun membenarkannya, dan jika ijtihad Rasulullah SAW salah, wahyu turun untuk meluruskan kesalahan itu.
Contoh ijtihad Rasulullah SAW yang mendapat pem¬benaran wahyu adalah ijtihadnya tentang pembebasan tawanan Perang Badar. Ketika itu umat Islam memenang¬kan pertempuran dan banyak tentara musuh yang tertawan.
Rasulullah SAW berta¬nya kepada sahabatnya mengenai tawanan perang tersebut. Umar bin Khattab menjawab, “Tawanan perang itu hendaknya dibunuh,” sedangkan Abu Bakar as-Siddiq menyatakan, agar tawanan itu dibebaskan dengan syarat membayar fidyah (denda). Rasulullah SAW lalu mengambil keputusan¬ bahwa tawanan perang itu dibebaskan dengan membayar fidyah.
Kepu¬tusan ini merupakan ijtihad Rasulullah SAW meskipun¬ dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan sahabatnya. Lalu turunlah¬ surah al-Anfal (8) ayat 67–69 yang membenarkan¬ ijtihad Rasulullah SAW.
Adapun contoh ijtihad Rasulullah SAW yang salah adalah keputusannya tentang pemberian izin bagi orang munafik untuk tidak ikut dalam peperangan. Lalu turun surah at-Taubah (9) ayat 43–45 yang menyatakan kekeliruan¬ ijtihad Rasulullah SAW.
Pada masa sahabat, ijtihad mulai banyak dipakai karena dengan wafatnya Rasulullah SAW, wahyu dengan sendirinya¬ tidak lagi diturunkan dan hadis juga tidak lagi bertambah. Sementara itu, masalah yang dihadapi umat Islam bertambah terus dan memerlukan ketentuan hukum.
Pada masa Abu Bakar, jika menghadapi sesuatu persoalan dan tidak menemukan nasnya dalam Al-Quran dan hadis, ia mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dan menentukan hukum dari masalah itu. Demikian pula pada masa Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Mereka menggunakan ijtihad terhadap masalah yang tidak didapati nasnya di dalam Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW.
Akan te¬tapi, di antara keempat sahabat besar itu, hanya Umar yang diketahui paling banyak memakai ijtihad. Walaupun demikian, keempat sahabat itu sangat berhati-hati dalam mengeluarkan suatu pendapat yang merupakan hasil ijtihad. Abu Bakar, apabila berijtihad dengan pendapatnya, selalu berkata,¬ “Ini adalah penda¬pat¬ku¬. Jika benar, itu dari Allah dan jika salah, itu dari saya. Saya mohon ampun atas kesalahan itu.” Umar pernah mengata¬kan, “Ini pendapat Umar. Jika pendapat itu benar, itu adalah dari Allah dan jika salah, itu pendapat Umar.”
Selain dari keempat sahabat itu, ada pula beberapa sahabat yang terkenal dengan ijtihadnya, seperti Ibnu Mas‘ud, Abu Musa al-Asy‘ari, Mu‘az bin Jabal, Ubay bin Ka‘b, dan Zaid bin Tsabit.
Sesudah masa sahabat, ijtihad semakin berkembang¬. Hal ini ditandai dengan munculnya mujtahid besar, seperti Abdullah bin Umar bin Khattab, Ibnu Syihad az-Zuhri, Abdullah bin Ab¬bas, Alqamah bin Qais, Anas bin Malik, Umar bin Abdul Aziz, Abdullah bin Amr, dan Wahhab bin Munabbih.
Ijtihad mengalami masa perkembangan yang paling¬ pesat pada abad ke-2 sampai dengan abad ke-4 Hijriah. Masa itu dikenal dengan periode pembukuan sunah serta fikih dan munculnya¬ mujtahid-mujtahid terkemuka yang kemudian dikenal sebagai imam mazhab, yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi‘i, dan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali).
Setelah abad ke-4 Hijriah, perkembangan ijtihad meng¬alami kemunduran, bahkan muncul pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Hal ini disebabkan antara lain karena umat Islam merasa cukup dengan pendapat mujtahid sebelumnya. Umat Islam memandang bahwa hukum bagi semua masalah telah ditetapkan oleh fukaha (ahli hukum Islam), sehingga mereka hanya boleh menjelaskan dan menafsirkan ajaran yang telah disepakati fukaha terdahulu.
Di samping itu, tidak ada lagi muncul mujtahid yang memiliki¬ kemampuan dan keunggulan seperti yang dimiliki para mujtahid sebelumnya, sehingga tidak ada lagi yang disebut mujtahid mutlak (mujtahid mustaqill). Yang ada hanya mujtahid fi al-madzhab (mujtahid yang mengikuti pendapat para imam mazhab sebelumnya) atau mujtahid murajjih (mujtahid yang menerangkan dan memperkuat pendapat imam mazhab sebelumnya).
Kemudian dalam perkembangan berikutnya, muncul ulama seperti Ibnu Taimiyah yang menyerukan agar umat Islam membuka kembali pintu ijtihad. Pendapat Ibnu Taimiyah memperoleh¬ dukungan dari ulama dan tokoh pemikir¬ serta pembaru sesudahnya, seperti¬ Jamaluddin al-Afghani, Muhammad bin Abdul¬ Wahhab, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Rida.
Pada masa kini, ulama semakin dituntut untuk berusaha melakukan ijtihad, karena semakin banyak persoalan yang dihadapi umat sebagai akibat dari pengaruh perubahan yang begitu pesat.
Jenis Hukum Ijtihad
Begitu pentingnya ijti¬had itu dilakukan, sehingga ahli ushul fikih menetapkan¬ bahwa hukum ijtihad itu ada tiga macam, yaitu fardu ain (wajib bagi setiap orang), fardu kifayah (cukup dilakukan se¬bagian orang), dan mandub (sunah). Penetapan seperti ini terdapat dalam kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din.
Hukum ijtihad menjadi fardu ain apabila timbul suatu persoalan yang sangat mendesak untuk ditentukan atau dicarikan kepastian hukumnya, baik untuk diri sendiri maupun untuk umat. Hukum ijtihad¬ menjadi fardu kifayah apabila muncul persoalan yang diajukan kepada beberapa ulama¬ untuk dijawab, dan kewajiban mereka menjadi gugur jika salah seorang di antara mereka memberi jawaban atas persoalan tersebut.
Ijtihad menjadi mandub apabila masalah yang akan dicarikan¬ kepastian hukumnya adalah masalah yang belum mendesak, misalnya persoalan yang ditanyakan itu belum terjadi di masyarakat.
Mujtahid
Mereka adalah orang yang melakukan ijtihad atau ula¬ma yang ahli dalam bidang fikih. Agar ijtihadnya dapat menjadi pegangan bagi umat, seorang mujtahid harus memiliki beberapa persyaratan. Persyaratan pokok untuk menjadi mujtahid, menurut Yusuf al-Qardawi (ahli ushul dan fikih) dalam bukunya¬ al-Ijtihad fi asy-Syari‘ah al-Islamiyyah, ada delapan, yaitu:
(1) memahami Al-Quran dengan asbab an-nuzul (sebab turunnya ayat Al-Quran) dan ayat nasikh dan mansukh (yang menghapuskan dan yang dihapuskan);
(2) memahami hadis, ilmu hadis dirayah¬nya, hadis yang nasikh dan mansukh, dan sebab wurud (sebab munculnya hadis);
(3) mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab;
(4) mengetahui tempat ijmak;
(5) mengetahui ushul fikih;
(6) mengetahui maksud syariat;
(7) memahami masyarakat dan adat istiadatnya;¬ dan
(8) memiliki sifat adil dan takwa¬.
Di samping delapan syarat ini, beberapa ulama me¬nambahkan tiga syarat lagi, yaitu:
(1) mendalami ilmu usuluddin,
2) memahami ilmu mantik (logi¬ka), dan
3) menguasai cabang fikih.
Berdasarkan ijtihad yang dilakukan, ulama mengelom¬¬pokkan mujtahid dalam beberapa tingkatan¬. Muhammad Abu Zahrah (ahli ushul, fikih, dan kalam) dalam bukunya Usul al-Fiqh menyebut enam tingkatan.
(1) Mujtahid mustaqill, yaitu mujtahid yang mengeluarkan hukum dari Al-Quran dan sunah, melakukan kias, berfatwa, dan beristihsan (menganggap sesuatu lebih baik). Mereka menempuh segala cara beristidlal (pengambilan dalil) yang ditentukan sendiri dan tidak mengikuti pendapat siapa pun. Mujtahid mustaqill adalah tingkatan mujtahid yang paling tinggi.
(2) Mujtahid muntasib, yaitu mujtahid yang memilih perkataan seorang imam dalam hal yang bersifat mendasar dan berbeda pendapat dengan mereka dalam hal furuk (ca¬bang), walaupun¬ pada akhirnya ia akan sampai pa¬da hasil serupa dengan yang telah dicapai imam tersebut.
(3) Mujtahid fi al-madzhab, yaitu mujtahid yang mengikuti pendapat imam mazhab, baik dalam hal ushul (pokok) maupun furuk. Usahanya hanya terbatas dalam meng-istinbatkan atau menyimpulkan hukum bagi persoalan yang belum ditemui hukumnya dalam pendapat imam mazhab.
(4) Mujtahid murajjih, yaitu¬ mujtahid yang mengistinbatkan hukum yang tidak diijtihadkan ulama sebelumnya. Sebenarnya, mujtahid pada tingkat ini tidak mengistinbatkan hukum, tetapi mereka hanya melakukan tarjih (mencari pendapat imam mazhab yang lebih kuat).
(5) Mujtahid muhafiz, yaitu mujtahid yang mengetahui hukum yang telah ditarjihkan ulama sebelumnya.
(6) Mujtahid muqallid, yaitu mujtahid yang hanya sanggup memahami pendapat muj¬tahid lain, tidak mampu melakukan tarjih
Yusuf al-Qardawi menyebutkan empat tingkatan mujtahid, yaitu:
(1) mujtahid mustaqill,
(2) mujtahid muntasib,
(3) mujtahid fi al-madzhab, dan
(4) mujtahid murajjih (mujtahid fatwa).
Cara Melakukan Ijtihad
Dalam melakukan ijtihad, para fukaha menempuh beberapa cara. Yang umum dipakai adalah kias, istihsan, al-maslahah al-mursalah (kemashlahatan yang tidak disebut dalam dalil) dan ‘urf (kebiasaan yang diakui).
Kias adalah menyamakan hukum suatu masalah dengan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam Al-Quran dan sunah karena ‘illat (sebab)nya sama. Misalnya,¬ hukum minum bir sama dengan hukum minum kha¬mar, yaitu haram, karena ‘illat keduanya sama, yaitu sama-sama memabukkan (menghilangkan ingat-an).
Masalah yang boleh dilakukan dengan cara ini adalah masalah atau kejadian¬ yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam Al-Quran dan sunah.
Istihsan adalah mengecualikan hukum suatu ma¬salah dari hukum masalah lain yang sejenis¬ dan kemudian menetapkan¬ bagi masalah itu suatu hukum yang lain karena adanya alasan yang kuat bagi pengecualian itu. Ada dua macam istihsan, yaitu istihsan qiyas yang disebut juga qiyas al-khafi, dan istihsan dharurah.
Istihsan qiyas atau qiyas al-khafi adalah mengecualikan hukum suatu masalah yang telah ditetapkan dengan kias dan mencari kias yang lebih kuat atau yang paling kuat di antara beberapa kias yang bertentangan mengenai suatu masalah.
Istihsan dharurah adalah membuat hukum yang menyimpang dari ketentuan¬ yang ditetapkan dengan kias karena alasan daru¬rat. Hal ini dimung¬kinkan apabila penerapan hukum yang ditetapkan secara kias akan me¬nimbulkan kesulitan. Mujtahid¬ yang banyak memakai istihsan dalam meng-istinbatkan hukum adalah Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi).
Al-maslahah al-mursalah adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nasnya dalam Al-Quran dan sunah untuk mencapai kebaikan. Mujtahid yang dikenal¬ banyak memakai cara al-maslahah al-mursalah adalah Imam Hanbali dan Imam Malik.
Adapun yang dimaksud dengan ‘urf adalah ke¬biasaan umum atau adat istiadat. Ditinjau dari pemakaiannya,¬ ‘urf terbagi dua, yaitu ‘urf umum dan ‘urf khusus. ‘Urf umum adalah kebiasaan yang berlaku untuk semua orang di semua negeri dalam suatu masalah, sedangkan ‘urf khusus adalah ‘urf yang dipakai di negeri tertentu atau dalam masyarakat tertentu. ‘Urf dapat berupa perkataan dan dapat pula berupa perbuatan.
Daftar Pustaka
Amidi, Saifuddin Abu al-Hasan. al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.
al-Khatib, Abdul Karim. Sadd Bab al-Ijtihad wa Ma Tarattaba ‘Alaih. Beirut: Dar al-Isalah, 1984.
al-Madani, Muhammad. Mawatin al-Ijtihad fi asy-Syari‘ah al-Islamiyyah. Kuwait: Matba’ah al-Manar, t.t.
al-Qardawi, Muhammad Yusuf. al-Ijtihad fi asy-Syara‘ah al-Islamiyyah ma‘a NazarahTahliliyyah fi al-Ijtihad al-Mu‘asir. Kuwait: Dar al-Qalam, t.t.
al-Umri, Nadiyah Syarif. al-Ijtihad fi al-Islam, Usuluh, Ahkamuh, Afaquh. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1984.
(Musdah Mulia)
Tambahan Redaksi:
Pintu Ijtihad Harus Dibuka Kembali
Kemandegan dalam melakukan ijtihad saat ini merupakan dampak dari kemunduran tradisi berpikir dalam Islam. Padahal Islam pernah mengalami zaman keemasan, yaitu sekitar abad ke-8 hingga abad ke-13 Masehi. Hal itu dimulai sejak Dinasti Abbasiyah (750 M) kemudian mengalami puncaknya pada masa Harun al-Rashid (786–809 M) dan putranya al-Ma’mun (813–833 M). Saat itu muncul para pemikir dan ilmuwan hebat yang jasanya terus diterapkan sampai sekarang.
Taqlid (mengikuti secara membabi buta) yang dilakukan oleh ulama-ulama sesudah era imam mazhab seperti Imam Syafi‘i menunjukkan ketiadaan cita-cita untuk berlomba di jalan kebaikan, yaitu untuk terus memperbaharui hukum-hukum Islam agar selaras dengan zaman. Umat Islam merasa nyaman dengan kodifikasi hukum yang telah dibuat oleh para imam tersebut. Bahkan ada semacam perasaan inferior, jika ada ulama yang ingin menyaingi para imam mazhab dalam merumuskan hukum atau metode ushul fikih yang baru.
Dewasa ini, pengembangan hukum Islam hanya ada di wilayah yang telah dibatasi oleh ushul fikih yang secara harfiah berarti dasar-dasar fikih atau prinsip-prinsip hukum Islam. Ketika suatu hukum seperti jilbab atau najisnya anjing hendak dibebaskan seluas-luasnya, kaidah ushul fikih dijadikan alasan untuk menolak niat tersebut. Akhirnya umat Islam dibatasi oleh metode dasar-dasar hukum (ushul fikih) yang awalnya dibuat untuk menyeragamkan penafsiran hukum.
Saat ini terdapat kecenderungan untuk menutup pintu ijtihad, terutama karena adanya keyakinan bahwa tidak ada lagi ulama yang mampu melakukan ijtihad secara mutlak (mujtahid mustaqill) sebagaimana para imam mazhab terdahulu. Pandangan ini menyebabkan hasil ijtihad para mujtahid klasik dianggap sebagai sesuatu yang bersifat qath‘i (pasti) dan tidak boleh diganggu gugat, padahal dalam kenyataannya, hasil ijtihad tidak lebih dari pendapat zanni (dugaan kuat), bukan kebenaran mutlak. Oleh karena itu, hasil ijtihad tidak boleh diposisikan seperti wahyu, melainkan harus terbuka terhadap kritik, evaluasi, dan pembaharuan sesuai dengan konteks zaman dan kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah.
Salah satu masalah utama yang muncul adalah bahwa dalam praktik beragama, umat Islam seringkali tidak membedakan antara nas syar‘i (teks Al-Quran dan hadis yang bersifat tetap) dengan hasil ijtihad ulama, yang sejatinya bersifat relatif. Akibatnya, muncul sikap taqlid terhadap pendapat-pendapat ulama terdahulu, tanpa adanya keberanian atau kapasitas untuk mengaktualisasikan hukum Islam terhadap permasalahan kontemporer. Bahkan ketika ada upaya penggalian hukum baru, biasanya metodologi yang digunakan pun tetap merujuk kepada kaidah-kaidah ushul fikih yang dibakukan oleh mujtahid klasik, seperti Imam Syafi‘i, tanpa membuka ruang kritis terhadap metodologi itu sendiri.
Padahal, kaidah ushul fikih itu bukan bagian dari wahyu, melainkan rumusan dan sistem logika hukum yang dibangun oleh para imam berdasarkan pemahaman mereka terhadap Al-Quran dan Sunah dalam konteks sosial dan sejarah tertentu. Maka, kaidah ushul fikih pun bersifat ijtihadi dan tidak bersifat mutlak; artinya, ia pun bisa diperbaharui, dikembangkan, bahkan dikritisi, sebagaimana hukum-hukum yang dihasilkan darinya.
Sebagai contoh, Imam al-Ghazali dalam karyanya al-Mustasfa fi Ilm al-Usul, memiliki pendekatan ushul fikih yang berbeda dari Imam Syafi‘i, meskipun secara mazhab yang dianutnya Syafi‘iyah. Al-Ghazali menekankan pentingnya maqasid al-shari‘ah (tujuan-tujuan syariat), yang mencakup lima hal pokok: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam pendekatan ini, ijtihad tidak hanya difokuskan pada teks dan lafaz, tetapi juga pada substansi dan tujuan hukum itu sendiri. Dengan demikian, seorang mujtahid harus mempertimbangkan kemaslahatan umum (maslahah mursalah) dan dampak sosial dari suatu keputusan hukum.
Al-Ghazali juga mengembangkan metode tahqiq al-manath (penelitian terhadap realitas hukum), yaitu proses mengaitkan antara ‘illat (sebab hukum) dengan realitas sosial yang sedang terjadi, sebelum mengambil keputusan hukum. Dalam konteks ini, ijtihad menjadi sangat kontekstual dan menuntut pemahaman mendalam terhadap realitas sosial, ekonomi, dan budaya umat, bukan hanya penguasaan terhadap teks.
Oleh karena itu, ijtihad harus dipahami bukan sebagai produk final, tetapi sebagai proses intelektual yang terus berjalan. Dengan memperkaya metodologi ijtihad melalui pendekatan berbagai ulama, seperti al-Ghazali, Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Syatibi, dan bahkan ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi, umat Islam sebenarnya memiliki warisan keilmuan yang sangat luas untuk mengembangkan hukum Islam yang lebih relevan, kontekstual, dan solutif terhadap tantangan zaman.
Di Indonesia, sikap menutup pintu ijtihad ini diperkuat oleh sistem pendidikan keislaman yang terlalu fokus pada pengulangan pendapat ulama terdahulu (taqlid) dan minim penekanan terhadap pengembangan kemampuan analisis hukum (istinbat) yang mandiri. Banyak lembaga keislaman dan tokoh agama lebih merasa aman mengutip pendapat Imam Syafi‘i atau Imam al-Nawawi, daripada mencoba merumuskan fatwa baru dengan metode ijtihad yang sah dan bertanggung jawab. Sikap ini, meskipun aman secara sosial, berisiko menjadikan Islam sebagai ajaran yang stagnan dan kurang responsif terhadap tantangan zaman modern seperti isu keadilan gender, bioetika, ekonomi digital, perubahan iklim, dan lain sebagainya.
Padahal, jika umat Islam Indonesia ingin menjadikan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam), maka ijtihad harus dibuka kembali dan dikembangkan secara luas, baik dalam bidang fikih, ushul fikih, maupun metodologi penetapan hukum. Perkembangan zaman yang sangat cepat menuntut hadirnya ulama dan intelektual Muslim yang tidak hanya menguasai ilmu-ilmu syariah klasik, tetapi juga memahami konteks dan dinamika sosial modern, serta mampu menggunakan pendekatan multidisipliner dalam merumuskan hukum Islam yang aplikatif dan relevan.
Singkatnya, ijtihad bukan hanya boleh, tetapi menjadi kewajiban zaman (fardhu ‘asri) yang harus dilakukan agar Islam tetap hidup, bergerak, dan hadir sebagai solusi atas problematika kehidupan modern. Penutupan pintu ijtihad bukanlah ajaran Islam, melainkan hasil dari ketakutan dan inferioritas intelektual yang bertentangan dengan semangat Al-Quran dan Sunah. Maka, membuka kembali pintu ijtihad adalah langkah strategis untuk mengembalikan dinamika hukum Islam kepada ruh aslinya.
Daftar Pustaka:
Auda, Jasser. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: IIIT, 2008.
Fazlur Rahman. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.
Ghazali, Abu Hamid al-. Al-Mustasfa fi ‘Ilm al-Usul. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah. I‘lam al-Muwaqqi‘in ‘an Rabb al-‘Alamin. Beirut: Dar al-Jil, 1973.
Shafi‘i, Muhammad bin Idris. Al-Risalah. Cairo: Dar al-Turath, 1979.
Zahrah, Muhammad Abu. Usul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.

