Ijarah

(Ar.: al-ijarah)

Secara kebahasaan, ijarah berarti “upah, sewa, jasa, atau imbalan”, Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah, seperti sewa-menyewa dan menjual jasa. Ulama fikih mendefinisikan ijarah sebagai “akad yang dilakukan atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa”, atau “pemilikan manfaat dari sesuatu yang halal dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan­ ganti rugi”. Pada dasarnya, ijarah adalah penjualan manfaat.

Sebagai suatu transaksi yang bersifat saling menolong,­ akad ijarah mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Qur’an dan hadis. Allah SWT berfirman yang berarti: “…jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka­ upahnya…” (QS.65:6). Dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman yang berarti:

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya’” (QS.28:26).

Kedua ayat ini menun­jukkan kebolehan transak­si dalam jasa menyusukan anak dan pelayanan berupa tenaga. Dalam hadis Nabi SAW dari Abu Hurairah, Ibnu Umar, Jabir, dan Anas yang masing-masing diri­wa­yat­kan­ Abu Ya’la, Ibnu Majah, at-Tabrani,­ dan at-Tirmizi dikatakan, “Berikan­lah­ upah/jasa kepada orang yang kamu peker­jakan sebelum ke­ring ke­ringat mereka.” Hadis ini populer dalam masalah jasa, sewa-menyewa, dan perburuhan.

Ijarah sebagai sebuah transaksi umum baru diang­gap­ sah apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya­. Menurut ulama Mazhab Hanafi, rukun ijarah hanya­ ijab dan kabul yang diungkapkan dengan­ lafal yang menunjuk pada akad ijarah.

Akan tetapi, jum­hur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa rukun ijarah itu sama dengan rukun yang berlaku dalam jual beli, yaitu orang yang melakukan­ akad, ijab dan kabul, imbalan, dan manfaat yang diberikan­. Orang yang melakukan­ akad disyaratkan­ telah cakap­ bertindak hukum. Transaksi­nya­ jelas menunjukkan­ ijarah. Imbalan dan jangka waktu pemanfaatannya­ juga jelas.

Adapun syarat ijarah sama dengan syarat yang berlaku dalam akad yang mengikat kedua belah pihak, antara lain barang yang disewa harus milik sendiri; ada kerelaan dari kedua belah pihak; dan sesuatu­ yang disewa itu jelas, baik dari segi kualitas, kuantitas maupun waktu.

Jangka waktu penyewaan perlu ditentukan agar akad yang di­lakukan tidak tergolong ke dalam akad mengenai sesuatu yang belum ada (al-ma‘dum). Dengan adanya penentuan­ waktu tersebut, kejelasan ijarah akan diketahui­. Selain itu, yang disewakan dalam akad ijarah adalah sesuatu yang dihalalkan syarak (hukum Islam), baik benda maupun pemanfaatannya.

Sebagai transaksi yang memiliki jangka waktu, ijarah berakhir setelah tenggang waktu yang disepakati­ kedua belah pihak jatuh tempo. Persoalannya­ adalah bagaimana­ jika dalam jangka waktu akad masih berlangsung terjadi sesuatu yang tidak diinginkan sehingga akad ini terganggu.

Ulama fikih mengemukakan­ analisis tentang­ hal-hal yang mungkin menyebabkan­ akad ijarah harus dibatalkan­ meskipun akad ini tidak dapat dibatalkan se­cara sepihak karena mengi­kat kedua belah pihak. Ulama Mazhab Hanafi menyebut­kan­ antara lain peluang tersebut.

(1) Pihak penyewa jatuh pailit atau pindah ke daerah lain dengan pekerjaan­ lain pula. Dalam keadaan­ demikian, pihak penyewa ti­dak mungkin menerus-kan sewaannya­. Untuk itu, ia harus memberikan bukti yang meyakinkan kepada pihak yang menyewakan.

(2) Pihak yang menyewakan­ dibebani utang yang tidak mungkin dibayar­ kecuali dengan menjual harta yang disewakannya­ kepada pihak penyewa. Dalam hal ini, pihak yang menyewakan harus membuktikan­ kebe­naran utang tersebut.

(3) Barang yang disewa itu hancur­ akibat sesuatu yang berada di luar kekuasaan­ manusia. Misalnya, rumah yang disewa itu terbakar atau hancur karena gempa. Dalam kasus seperti ini, akad ijarah secara otomastis batal.

Ada dua bentuk ijarah dilihat dari objek yang disewakan, yaitu ijarah manfaat dan ijarah pekerjaan. Ijarah manfaat terkait dengan harta benda, seperti rumah, kendaraan,­ dan hotel. Ijarah pekerjaan berkaitan dengan jasa yang diberikan­ seseorang,­ seperti tukang jahit, buruh bangunan,­ dan pembantu rumah tangga.

Ijarah pekerjaan dapat berbentuk khusus dan perserikatan. Yang berbentuk­ khusus adalah mempekerjakan seseorang­ untuk suatu pekerjaan dalam waktu tertentu,­ seperti­ pembantu rumah tangga. Adapun yang berbentuk perserikatan adalah mempekerjakan se­ jumlah orang untuk suatu pekerjaan dalam waktu tertentu, seperti buruh bangunan.

Sebagaimana akad lainnya, akad ijarah tidak terlepas dari risiko yang mungkin timbul dalam pe­makaian pe­nyewa. Dalam ijarah pekerjaan­ yang berbentuk khusus, seperti pembantu rumah tangga, jika terjadi kerusakan barang di tangannya selama akad berlangsung, ia tidak dikenakan ganti rugi, karena barang tersebut merupa­kan amanah di tangannya.

Hukum ini disepakati imam mazhab yang empat. Menurut Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi), para pekerja dalam ijarah al-a‘mal al-musytarakah (pekerjaan­ bersama)­ tidak dapat dikenakan ganti rugi apabila keru­sakan itu tidak disebabkan oleh kesengajaan atau kelalaian mereka.

Adapun ulama Mazhab Maliki mengata­kan bahwa dalam kasus pek-erjaan bersama tersebut para pekerja dikenakan ganti rugi jika terjadi kerusakan barang, baik sengaja maupun tidak, atau lalai maupun tidak.

Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, imam mazhab yang empat sepakat bahwa apabila kerusakan­ barang tersebut disengaja atau disebabkan kelalaian pihak penyewa,­ mereka harus dikenakan­ ganti rugi sesuai dengan kuantitas dan kualitas­ kerusakan barang yang bersangkutan­.

Akan tetapi, jika barang yang berada di tangan penyewa itu hilang atau rusak karena ulah pemilik sendiri, seperti­ pelayanan yang tidak sesuai perjanjian, ia tidak berhak mendapatkan­ imbalan/jasa.

Daftar Pustaka

Ibnu Qudamah. al-Mugni. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, t.t.

Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.

az-Zarqa, Ahmad Mustafa. Madkhal ila al-Fiqh al-‘amm: al-Fiqh al-Islami fi saubihi al-Jadid. Beirut: Dar al Fikr, 1968.

–––––––. al-‘Uqud al-Musamma. Damascus:­ Matabi’ Fata al-‘Arab, 1965.

az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1994.

Nasrun Haroen