Ijab Kabul

(Ar.: al-ijab al-qabul)

Ijab kabul terdiri dari kata ijab (kemestian) dan qabul (penerimaan). Dalam fikih Islam, ijab kabul merupakan salah satu rukun atau esensi suatu akad (transaksi). Menurut ulama Mazhab Hanafi, ijab adalah ucapan pertama dari orang yang berjual beli, baik dari pembeli maupun penjual. Kabul adalah ucapan kedua dari pihak kedua dalam suatu akad, yang menunjukkan­ persetujuan terhadap­ ucapan pihak pertama.

Ulama Mazhab Hanafi juga mendefinisikan ijab dengan ucapan yang diungkapkan oleh pemilik sesuatu, sekalipun ucapan itu diungkapkan belakangan. Adapun kabul adalah ucapan yang diungkapkan orang yang ingin memiliki sesuatu, sekalipun ucapan itu muncul­ lebih dahulu.

Dalam perbedaan pendapat ini, Wahbah az-Zuhaili, guru besar fikih dan usul fikih Universitas Damascus, mengomentari bahwa secara­ realitas penamaan ucapan satu pihak dengan­ ijab dan ucapan pihak lain dengan kabul ha­nya sekadar peristilahan, tidak ada perbedaan hukumnya sama sekali.

Secara umum, se­benarnya­ yang dikatakan ijab itu muncul dari penjual, misalnya: “saya jual baju ini pada engkau dengan­ harga sekian”; dan kabul muncul dari pembeli, mi­salnya: “saya beli baju ini dari engkau.”

Ungkapan Ijab Kabul. Ijab kabul dapat dilakukan­ dengan ungkapan yang menunjukkan­ keinginan­ untuk berakad menurut adat kebiasaan atau penggunaan­ bahasa yang lazim, baik ungkapan­ itu dipaparkan melalui perkataan, perbuatan, isyarat, maupun melalui sindiran.

Hal ini berlaku umum untuk bentuk transaksi dalam Islam. Akan tetapi, untuk persoalan ijab kabul dalam pernikahan, terdapat perbedaan pendapat ulama tentang lafal yang digunakan dan dianggap­ sah.

Ulama Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat­ bahwa pernikahan berlaku sah jika ijab kabul­nya diungkapkan dengan lafal yang menunjukkan keinginan memiliki sesuatu secara langsung, mi­salnya lafal at-tazwij (kawin), nikah, at-tamlik (pemilikan),­ hibah (penyerahan diri), atau al-‘atiyah (pemberian) dengan niat dan indikasi yang me­nun­juk ke arah perkawinan yang dipahami oleh para saksi nikah.

Alasan mereka adalah akad nikah sama saja dengan akad lain yang berlaku sah berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Oleh sebab itu, apa pun lafal yang dapat menunjukkan kein­ginan dan persetujuan kedua belah pihak, boleh­ digunakan dalam ijab kabul pernikahan.

Dalam Al-Qur’an lafal hibah digunakan dalam perkawin­an, seperti terdapat dalam surah al-Ahzab (33) ayat 50 yang berarti: “…dan perempuan mukmin yang menyerah­kan­ (hibah) dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya­….”

Ayat ini berbicara tentang wanita­ yang halal dikawini Nabi SAW. Lafal at-tamlik juga digunakan Nabi SAW ketika beliau menikahkan­ seorang sahabat yang tidak mempu­nyai harta sama sekali sebagai mahar dengan seorang­ wanita. Nabi SAW bersabda, “Saya jadikan ia milik engkau dengan (mahar) ayat Al-Qur’an yang engkau hafal” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hanbal). Mahar dalam perkawinan ini adalah mengajarkan ayat Al-Qur’an yang dihafal­ pengantin­ pria kepada pengantin wanita.

Menurut ulama Mazhab Syafi‘i dan Hanbali, ungkapan ijab kabul dalam perkawinan harus diucapkan­ dengan kata at-tazwij dan inkah, nikah, atau kata yang seakar dengannya, karena nikah merupakan permasalahan rumit, yang membatasi kebebasan wanita setelah bersuami,­ seperti terdapat dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 3 yang berbunyi:­ “Fa ankihu ma taba lakum min an-nisa’” (maka kawinilah wanita-wanita [lain] yang kamu senangi).

Ulama mempersoalkan bentuk kata yang digunakan dalam ijab kabul, apakah kata yang menunjukkan­ masa lalu, sedang berlangsung,­ atau perintah­. Mereka sepakat menyatakan bahwa suatu akad dikatakan sah jika bentuk kata dalam ijab kabul menunjukkan telah berlalu (fi‘l al-madhi), karena kata tersebut secara pasti menunjukkan keinginan­ dan kerelaan orang yang berakad­. Sementara­ kata yang sifatnya sedang dan akan berlangsung­ (fi‘l al-mudari‘) juga dapat disepakati ulama kebolehannya, apabila dibarengi dengan niat dan indikasi yang menunjukkan­ keinginan ber­akad saat itu.

Terdapat perbedaan pendapat ulama terhadap bentuk perintah (fi‘l al-amr) dalam ijab kabul, yang menunjukkan kehendak untuk masa datang, seperti­ ungkapan “juallah pada saya” atau “belilah dari saya”.

Ulama Mazhab Hanafi berpendapat, fi‘l al-amr tidak sah digunakan dalam akad, selain dari akad perkawinan,­ sekalipun niat orang yang meng­ucapkannya mengacu kepada kehendak yang berakad,­ kecuali apabila kata fi‘l al-amr dibarengi dengan­ ungkapan lain, seperti “saya jual pada engkau dan ambillah”­. Adapun akad perkawinan dengan memakai fi‘l al-amr dibolehkan, seperti ungkapan seorang laki-laki kepada seorang wanita: “kawin­ kan diri engkau dengan saya.” Lalu wanita itu menjawab,­ “saya kawini engkau.”

Sementara menurut jumhur ahli fikih, seluruh bentuk akad boleh dilangsungkan­ dengan menggunakan fi‘l al-amr tanpa harus diikuti dengan ungkapan lain, dan tidak ada perbedaan antara akad nikah dan akad lainnya, karena esensi akad itu adalah persetujuan kedua belah pihak. Oleh sebab itu, dengan bentuk kata apa pun suatu akad diungkapkan hukumnya sah.

Kemudian, seluruh ulama sepakat menyatakan bahwa apabila bentuk kata yang digunakan menun­jukkan masa yang akan datang dan dibarengi­ dengan­ huruf sin atau saufa (yang berarti masa yang akan datang), seperti ungkapan sa abi‘uka (saya akan jual pada engkau), akad tersebut tidak sah, karena ungkapan seperti ini hanya menun­jukkan keinginan untuk melakukan akad di masa yang akan datang; bukan ingin melakukan akad secara pasti saat itu.

Demikian juga apabila kata yang digunakan dalam akad itu berbentuk pertanyaan, seperti: “Apakah akan engkau jual barang ini pada saya?” Lalu dijawab oleh penjual: “Saya jual.” Ungkapan berbentuk pertanyaan tidak secara pasti menunjukkan keinginan saat berakad.

Syarat Ijab Kabul. Syarat ijab kabul adalah sebagai­ berikut:

(1) Ijab kabul harus jelas menunjuk kepada tujuan akad.

(2) Kabul menjawab ijab secara­ tegas. Ulama Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa kabul harus segera diucapkan setelah ijab diucapkan. Sementara jumhur ulama Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa kabul tidak harus segera muncul setelah ijab, ka­rena untuk menyatakan persetujuan terhadap sesuatu,­ seseorang memerlukan waktu untuk berpi­ kir.

(3) Ijab kabul pihak yang berakad masih berada dalam satu majelis, yaitu masih dalam pem­bicaraan transaksi yang dilangsungkan, wa­laupun majelis akad itu berlangsung lama dan tidak terjadi pembatalan transaksi sebelum adanya kabul. Jika topik pembicaraan sudah berbeda, tidak dikatakan­ lagi berada dalam satu majelis. Dalam hal ini, menurut Wahbah az-Zuhaili, ijab kabul melalui telepon atau surat-menyurat tetap sah menurut syariat Islam, selama pembicaraan masih menyang­kut permasalahan ijab kabul.

Demikian pula dengan­ ijab kabul yang dilakukan dalam perjalanan, seperti di atas kapal laut, pesawat udara, kereta api, atau alat transportasi lainnya. Majelis akad mereka dalam ijab-kabul, menurut ulama fikih, adalah pembicaraan transaksi­ yang dilakukan di atas alat transportasi tersebut. Masalah tempat, waktu, dan suasana tidak mengganggu keberlangsungan ijab kabul suatu transaksi.

Kesatuan majelis ijab kabul, menurut ulama fikih, tunduk kepada hukum adat istiadat yang berlaku di suatu tempat, karena adat istiadat itu bisa dijadikan sandaran hukum (al-‘adah muhakkamah).

Pembatalan Ijab Kabul. ­Ijab kabul dapat batal­ apabila:

(1) pihak yang berijab mencabut ijabnya­ sebelum adanya kabul;

(2) pihak lain menolak ijab, baik secara langsung maupun melalui indikasi sikap yang ditunjukkannya,­ seperti keluar dari majelis akad atau menga­lihkan pembicaraan kepada masalah lain;

(3) berakhirnya majelis akad;

(4) orang yang melakukan ijab kabul kehilangan kecakapan bertindak hukum sebelum munculnya ungkapan kabul, seperti mening­gal dunia atau gila; dan

5) objek ijab kabul hilang atau berubah sebe­lum terlaksananya kabul, seperti hewan yang di­transaksikan tiba-tiba cacat sebelum kabul.

Ijab Kabul Melalui Tindakan (al-Mu‘atah). Adakalanya akad dilakukan orang tanpa mengucapkan­ sepatah kata pun, seperti jual beli di pasar swalayan. Pembeli tidak perlu tawar-menawar, karena­ harga setiap barang sudah tercantum. Ulama Mazhab Hanafi dan Hanbali menyatakan bahwa akad seperti ini sah, karena su­dah menjadi adat kebiasaan manusia.

Imam Malik juga membolehkan bentuk akad seperti ini, baik sudah menjadi adat kebiasaan maupun belum. Menurutnya,­ setiap tindakan yang menun­jukkan jual beli, perserikatan, sewa-menyewa, perwakilan, dan bentuk transaksi lainnya, kecuali perkawin­an,­ boleh dilakukan dengan tindakan, ka-rena yang menjadi ukuran adalah persetujuan dan keridaan kedua belah pihak.

Namun ulama Syiah, Mazhab az-Zahiri, dan sebagian ulama Mazhab Syafi‘i berpendapat­ bahwa akad yang ditunjukkan­ melalui tindakan seperti ini tidak sah, karena tidak ada kekuatan yang menunjukkan keinginan mereka untuk­ berakad.

Di samping itu, masalah rida adalah masalah batin yang sulit untuk dilihat dalam ke­nyataan, karena tanpa ucapan. Ulama Mazhab Syafi‘i lainnya berpendapat,­ akad yang dilakukan dengan tindakan ini adalah sah, seperti yang dikemukakan­ Imam Nawawi.

Ijab Kabul Melalui Isyarat. Isyarat dapat muncul baik dari orang yang bisa berbicara­ mau­pun dari orang bisu. Menurut ulama Mazhab Maliki dan Hanbali,­ isyarat yang bisa dipahami sebagai keinginan untuk melakukan akad adalah sah secara hukum,­ karena cara ini lebih baik dibanding dengan akad yang hanya melalui tindakan.

Namun menurut ulama Mazhab Hanafi dan Syafi‘i, orang yang bisa berbicara tidak sah melakukan akad melalui­ isyarat, karena status isyarat yang ia lakukan tidak menunjukkan­ keinginannya secara pasti untuk­ melaksanakan­ akad.

Sementara ijab kabul yang dilakukan orang bisu melalui isyarat yang bisa dipahami dapat diterima seluruh ulama, sesuai­ dengan kaidah fikih yang mengatakan­ “al-isyarah al-ya’hudah li al-akhrasy ka al-bayan bi al-lisan” (isya­rat yang berlaku dan dapat dipahami dari orang bisu sama hukumnya dengan penjelasan dari lidah).

Ijab Kabul Melalui Tulisan. Ulama sepakat­ menyatakan bahwa ijab kabul melalui tulisan dalam melaksanakan akad dibolehkan, baik orang yang berakad itu dapat berbicara maupun bisu, berada di tempat maupun sedang di luar kota, pada satu tempat maupun berlainan tempat, dengan syarat­ tulisan itu jelas maksudnya, bersifat resmi, dan ditandatangani kedua belah pihak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada transaksi, dan ada pertinggalnya setelah transaksi dilaksanakan.

Ulama Mazhab Syafi‘i dan Hanbali dapat menerima­ transaksi­ melalui tulisan hanya apabila orang yang melakukan­ transaksi itu tidak berada di tempat. Dalam masalah perkawinan, ulama sepakat mengatakan bahwa akad nikah tidak sah jika dilaksanakan dengan tulisan atau surat-menyurat, jika kedua orang yang berakad itu hadir di tempat, kecuali­ bagi orang bisu.

Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. Nazariyyah al-‘Aqd fi al-IslÎm. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1978.

al-Jaziri, Abdurrahman. KitÎb al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba‘ah. Libanon: Dar al-Fikr, 1972.

al-Kahlani, Subul as-Salam. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960.

az-Zarqa, Ahmad Mustafa. Madkhal ila al-Fiqh al-‘amm: al-Fiqh al-Islami fi saubihi al-Jadid. Beirut: Dar al Fikr, 1967.

–––––––. Syar… al-Qanun al-Madani as-suri al-‘Uqud al-Musammah (‘Aqd al-Bai‘ wa al-Muqayadah). Damascus: Matba‘ah Fata al-‘Arab, 1384 H/1965 M.

az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.

Nasrun Haroen