Idah adalah periode tertentu yang wajib dijalani dan ditunggu wanita yang dicerai atau ditinggal mati suaminya dengan berpantang melakukan perkawinan baru. Penghitungan idah didasarkan pada saat melahirkan, masa qur’u (suci atau haid), atau tiga quru’ (sekitar 3 bulan). Idah sudah dikenal pada masa Jahiliah. Islam kemudian menetapkannya sebagai kewajiban dengan sejumlah syarat terperinci.
Idah diwajibkan dalam Islam sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 228 yang berarti: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” Idah yang disebutkan dalam surah ini ditujukan kepada istri yang sudah dicerai dan sudah disetubuhi serta mempunyai masa qur’u.
Periode menunggu ditetapkan tiga masa quru dan setelah itu ia diperkenankan menikah kembali jika mau. Selain itu, idah juga terdapat dalam hadis yang ditujukan Nabi SAW kepada Fatimah binti Qais yang berarti: “Jalanilah idahmu di rumah Ummu Maktum” (HR. Muslim, Ahmad bin Hanbal, an-Nasa’i, dan Abu Dawud).
Mengenai saat idah bagi wanita yang dicerai, masih ada perbedaan pendapat di antara ulama, karena mereka berpatokan pada kata qur’u (jamaknya quru’ dan aqra’) yang dalam bahasa Arab adalah lafal musytarak, yakni kata yang memiliki dua arti yang berbeda. Dalam hal ini kata qur’u berarti “suci” dan “haid”.
Ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa arti quru’ dalam surah al-Baqarah (2) ayat 228 adalah atar (jamak dari tuhr), yang berarti “masa suci”, bersih dari haid. Pendapat ini menurut Imam Malik dalam al-Muwatta’ berpegang pada penjelasan Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW.
Pendapat serupa juga muncul dari kalangan sahabat dan tabiin, yaitu Ibnu Abbas, Zaid bin Sabit, Salim, Qasim, Urwah, Sulaiman bin Yasar, Abu Bakar bin Abdurrahman, Abban bin Usman, Ata bin Abi Rabah, Qatadah, dan Zuhri. Dengan berpegang pada pendapat tersebut, masa idah wanita yang dicerai berakhir, apabila ia telah memasuki masa haid ketiga setelah masa suci ketiga, dan bebaslah ia dan mantan suaminya dari ikatan perkawinan.
Adapun ulama Mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa qur’u berarti “haid”, seperti juga pendapat al-Khulafa’ ar-Rasyidun (Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib) serta sahabat lain, seperti Abu Darda, Ubadah bin Samit, Anas bin Malik, Ibnu Mas‘ud, Mu‘az, Ubay bin Ka‘b, Abu Musa al-Asy‘ari, Sa‘id bin Musayyab, dan Alqamah.
Mereka berpegang pada hadis riwayat Abu Dawud dan an-Nasa’i tentang larangan Nabi SAW pada Fatimah binti Abi Hubaisy untuk bersalat pada hari qur’u, yaitu pada hari haid. Berdasarkan pendapat ini, idah berakhir setelah suci dari haid yang ketiga dan setelah mandi bersih.
Selain pendapat tersebut di atas, ada masa idah yang berlangsung selama 3 bulan, sampai bersalin/melahirkan, dan 4 bulan 10 hari. Idah selama 3 bulan berlaku untuk istri yang dicerai tanpa mendapat haid, baik karena belum akil balig maupun sudah memasuki usia menopause atau tidak pernah haid sama sekali.
Bagi wanita hamil, masa idah berlangsung setelah ia dicerai sampai bersalin. Semua peraturan idah tersebut ditetapkan dalam Al-Qur’an surah at-Talaq (65) ayat 4. Hal ini juga berlaku apabila wanita ini hamil dengan dua janin. Masa idahnya baru berakhir setelah kedua janin itu lahir. Idah wanita hamil ini juga berakhir apabila ia keguguran atau janin yang dilahirkannya tidak sempurna.
Adapun idah selama 4 bulan 10 hari berlaku bagi wanita yang tidak dalam keadaan hamil dan kematian suami. Hal ini didasarkan pada Al-Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 234. Masa idah terhitung mulai dari hari kematian suaminya dan berlaku bagi semua istri yang suaminya mati, baik sudah digauli maupun belum, kedatangan haid mau pun tidak atau tidak pernah mendapat haid sama sekali.
Ada pula masa idah yang berlangsung selama setahun. Menurut ulama dari Mazhab Maliki dan Hanbali, masa idah setahun berlaku bagi wanita yang dicerai yang biasa mendapatkan haid lalu terputus tanpa diketahui sebabnya. Dalam periode ini, 9 bulan dianggap sebagai jangka waktu untuk mengetahui kosongnya rahim dari janin dan ditam bah 3 bulan, seperti idah bagi wanita yang tidak mengalami haid.
Akan tetapi, menurut Imam Syafi‘i dan Imam Malik, idah wanita itu bukan setahun, melainkan harus menunggu sampai mendapatkan haid kembali lalu menjalani tiga kali waktu suci. Idah tiga kali waktu suci juga ditetapkan bagi istri yang pernah haid, tetapi ketika sedang menjalani idah tidak mendapatkan haid karena menyusui.
Sementara itu, idah bagi wanita yang dicerai dan tidak mengetahui atau ragu pada kebiasaan masa haidnya karena darah selalu keluar dari kemaluannya karena suatu penyakit, masih diperselisihkan ulama. Menurut ulama Mazhab Hanafi, idahnya 7 bulan; menurut ulama Mazhab Syafi‘i dan Hanbali idahnya sama dengan wanita yang tidak dapat haid, yaitu 3 bulan; sementara ulama Mazhab Maliki berpendapat, apabila wanita itu tak dapat membedakan antara darah haid dan bukan, idahnya setahun, dan bagi yang dapat membedakannya, idahnya selama tiga kali waktu suci.
Istri yang kehilangan suami dan tak mengetahui apakah ia sudah meninggal atau belum juga menjalani idah. Idah menurut ketetapan Umar bin Khattab adalah menunggu selama 4 tahun kemudian menjalani idah wafat selama 4 bulan 10 hari.
Adapun hikmah dan tujuan idah adalah sebagai berikut.
(1) Bagi wanita yang suaminya meninggal, idah merupakan pernyataan kesedihan atas meninggalnya suami sebagai kepala rumah tangga dan untuk menghapuskan tradisi Jahiliah yang menetapkan masa berkabung selama setahun, yang diganti oleh Islam dengan idah selama 130 hari, serta untuk menentukan wanita tersebut dalam keadaan hamil atau tidak.
(2) Bagi wanita hamil, idah dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekacauan garis keturunan karena janinyang dikandung masih hak suami yang menalak. Oleh sebab itu, wanita tersebut tidak diperbolehkan menikah dengan lelaki lain sebelum melahirkan.
(3) Bagi wanita yang tidak mendapatkan haid, idah dimaksudkan sebagai pernyataan menghormati akad nikah karena nikah bukanlah suatu permainan yang mudah diikat dan mudah ditanggalkan atau
diputuskan.
(4) Bagi wanita yang ditalak raj‘i (Talak), waktu
tunggu atau idah memberi kesempatan bagi suami istri yang bercerai untuk rujuk kembali pada ikatan perkawinan apabila keduanya menginginkan.
Hak dan Kewajiban Janda Selama Idah. Apabila perkaw-
inan putus karena talak, bekas istri (janda) berhak mendapat nafkah, tempat tinggal, dan pakaian dari bekas suaminya selama dalam idah. Ketentuan ini berlaku bagi janda karena talak raj‘i.
Bagi wanita yang dijatuhi talak ba’in (talak tiga) ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, antara lain:
(1) Abu Hanifah (Imam Hanafi) berpendapat, janda karena talak ba’in juga berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal;
(2) Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) berpendapat, janda karena talak ba’in tidak berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal; dan
(3) Imam Syafi‘i dan Imam Malik berpendapat bahwa janda itu berhak mendapat tempat tinggal dan tidak berhak mendapat nafkah, kecuali jika hamil, maka tetap berhak menerima nafkah dari bekas suaminya sampai melahirkan anak.
Janda yang menjalani idah, baik idah talak maupun idah wafat, diwajibkan menjaga dirinya, tidak menerima pinangan, dan tidak menikah dengan pria lain. Selain itu janda yang menjalani idah wafat wajib melakukan ihdad, yaitu meninggalkan pemakaian wewangian dan perhiasan.
Daftar Pustaka
Ibnu Kasir, al-Hafidz Imaduddin Abu al-Fida’ Isma’il. Tafsir Ibn Katsir. Beirut: Dar al-Andalus, 1966.
al-Khatib, Muhammad asy-Syarbaini. Mugni al-Muhtaj ila Ma‘rifah Ma‘ani Alfaz al-Minhaj. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1958.
Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru, 1990.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
as-San‘ani, Muhammad bin Ismail al-Kahlani. Subul as-Salam. Kuwait: Dar as-Salafiyah, 1985.
asy-Syairazi, Imam bin Ishaq. al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi‘i. Cairo:Matba’ah Isa al-Babi al-Halabi, t.t.
M. Rusydi Khalid