Ibrahim, Maqam

(Ar.: Maqam Ibrahim)

Bekas telapak kaki Nabi Ibrahim AS pada batu ketika membangun Ka’bah yang terdapat di dalam Masjidilharam di Mekah, Arab Saudi, disebut maqam Ibrahim. Untuk menjaganya dari kerusakan, sekarang­ maqam Ibrahim dilindungi dalam rumah kaca di samping Multazam dekat Ka’bah.

Maqam Ibrahim menjadi salah satu tempat berdoa yang mustajab, tempat yang disunahkan untuk mengerjakan salat sunah di sekitarnya, berdasarkan keterangan dalam surah al-Baqarah (2) ayat 125,

“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat salat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk, dan yang sujud.’” ketika memba­ngun Ka’bah. Bahkan ada yang lebih menegaskan bahwa maksud ayat itu adalah tempat maqam Ibrahim­ seperti yang ada sekarang.

Ibnu Jarir (perawi hadis, ahlulbait; 224–310 H) lebih condong dengan pendapat terakhir­ dengan alasan: Umar RA pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, bagaimana­ jika aku menjadikan maqam ini tempat salat?” Maka waktu itu turun ayat Al-Qur’an yang menyuruh salat di tempat maqam Ibrahim itu.

Hatim bin Ismail menyatakan bahwa Ja‘far bin Muhammad pernah mendengar ayahnya, Jabir, berkata,

“Sesudah memegang Hajar Aswad, Rasulullah­ SAW tawaf dengan cara tiga kali keliling ia berlari dan empat kali keliling ia berjalan biasa. Kemudian ia menuju maqam Ibrahim dan berkata, ‘Ambillah maqam Ibrahim ini menjadi tempat salat­.’ Lalu ia salat di antara maqam dan Ka’bah.’”

Ada perbedaan pendapat di antara mufasirin tentang ayat tersebut. Sebagian berpendapat bahwa­ yang di­maksudkan dengan maqam Ibrahim da­lam ayat tersebut bukanlah sekadar rumah kecil itu, tetapi seluruh ibadah haji. Sebagian lagi berpendapat bahwa maqam Ibrahim itu adalah Arafah, Muzdalifah, dan tempat jumrah. Akan tetapi, ada pula yang menerangkan bahwa yang dimaksud de­ngan maqam Ibrahim dalam ayat itu adalah batu tempat Nabi Ibrahim AS berdiri.

Jelaslah yang dimaksud dengan maqam Ibrahim yang tercantum dalam ayat itu adalah tempat maqam Ibrahim sebagaimana yang ada sekarang ini. Sejak dahulu sampai sekarang maqam itu tidak pernah berpindah-pindah. Araqi menerangkan berdasarkan keterangan yang didapatnya dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa tempat maqam Ibrahim sekarang ini terletak pada tempatnya semula sejak zaman Jahiliah, zaman Nabi Muhammad SAW, dan pada zaman dua khalifah sesudahnya sampai sekarang ini.

Hanya sekali terjadi pe-mindahan, yaitu­ pada 17 H/638 M, pada waktu terjadi banjir besar yang terkenal dengan nama Ummu Nasjal, maqam itu terbawa hanyut ke dekat pintu Ka’bah di sebelah timur. Tetapi Umar RA yang menjadi khalifah pada masa itu segera mengembalikannya ke tempatnya semula dengan disaksikan beberapa sahabat Nabi SAW.

Suatu cerita lain dari Mukib at-Tabari (ahli sejarah) yang rupanya diambil dari kitab Imam Malik menerangkan bahwa maqam itu pada masa Nabi Ibrahim AS memang terletak pada tempat seperti sekarang ini. Pernah oleh orang jahiliah maqam ini dipindahkan ke dalam Ka’bah karena takut dirusak banjir. Keadaan itu berlanjut sampai masa Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar RA. Kemudian­ pada masa Umar RA maqam itu dikembalikan ke tempat asalnya setelah diukur dengan sungguh-sungguh.

Abdullah bin Muhammad at-Tasi (seorang ahli sejarah, w. 1883) menentang kebenaran keterangan tersebut karena berlainan dengan yang dikemuka­kan Azraqi (seorang sastrawan Persia, w. 1132) dan Hadis Jabir (seorang sahabat dan periwayat hadis). Menurut pendapatnya, orang yang mengembalikan ke tempat asalnya mungkin Nabi SAW sendiri atau Umar RA atau orang lain. Yang jelas maqam itu berada pada tempat asalnya dari masa Nabi Ibrahim AS. Ia lebih condong bahwa penempatan kembali maqam Ibrahim dilakukan Umar RA pada 17 H/638 M.

Dalam sejarah sering kali disebut-sebut Khali­fah al-Mahdi (775–785) dari Bani Abbas sebagai orang yang berjasa dalam pembinaan maqam Ibrahim­ dan memperindah­ maqam itu dengan beberapa ukiran. Ketika penjaga Ka’bah memberi­ tahukan kepadanya bahwa batu yang bersejarah itu telah retak, al-Mahdi segera mengirim biaya seba­nyak 1.000 dinar untuk memperbaikinya. Perbaikan­ ini terjadi pada 161 H/780 M.

Perbaikan kedua terjadi pada masa pemerintahan Khalifah al-Mutawakkil (847–861) yang pada 236 H/850 M mengirim biaya untuk pemeliharaan­ maqam Ibrahim tidak kurang dari 8.000 kerat emas dan 70.000 dirham perak. Perhiasan emas ini terutama untuk tampuk kubah. Tetapi hiasan yang indah itu dibuka kembali oleh Ja‘far bin Fadl (gubernur Mekah) dan Muhammad bin Hatim dan dijadikan uang untuk pembiayaan perang melawan Ismail bin Yusuf al-Alawi yang waktu itu hendak menyerang dan meng­hancurkan Mekah dan Hijaz pada 251 H/865 M.

Perhiasan yang dibuat atas biaya al-Mahdi tetap tidak berubah sampai Muharam 256 H/870 M. Kemudian per­ hiasan itu dirombak untuk memperbaiki­ maqam itu. Pada waktu itu yang menjadi gubernur­ Mekah ialah Ali bin Hassan, juga keturunan Bani Abbas. Ia mendapat laporan bahwa batu maqam Ibrahim mulai rusak. Oleh karena itu, ia me­ merintahkan untuk membalut batu itu. Lalu dibuatlah dua buah gelang simpai emas 1.992 karat dan sebuah lagi dari perak untuk membalut batu yang bersejarah itu.

DAFTAR PUSTAKA

Atjeh, Aboe Bakar. Sejarah Ka’bah. Jakarta: CV Bulan Bintang, 1955.

‘Attar, Ahmad Abdul Gafur. Qamus al-Hajj wa al-‘Umrah. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayiyyin, 1979.

al-Azraqi, Abu al-Walid Muhammad bin Abdullah bin Ahmad. Akhbar Makkah wa ma Ja’a fiha min al-atsar. Mekah: Dar as-Saqafah, 1988.

Usep Dedi Rostandi