Ibnu Khaldun

(Tunis, 1 Ramadan 732/27 Mei 1332–Cairo, 25 Ramadan 808/19 Maret 1406)

Ibnu Khaldun adalah seorang sejarawan Arab dan ‘bapak sosiologi Islam’. Nama lengkapnya adalah Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad­ bin al-Hasan. Ia mengembangkan salah satu filsafat sejarah masa lalu yang bersifat non-religius dalam karya utamanya Muqaddimah (Mukadimah). Ia juga menulis sejarah muslim Afrika Utara.

Keluarga Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut (kini Ya­man) dan silsilahnya sampai kepada seorang sahabat­ Nabi SAW yang bernama Wail bin Hujr dari kabilah Kindah. Salah seorang cucu Wail, Khalid bin Usman, memasuki daerah Andalusia bersama orang Arab penakluk pada awal abad ke-3 H (ke-9 M).

Anak cucu Khalid bin Usman membentuk satu keluarga­ besar dengan nama Bani Khaldun. Dari bani inilah berasal nama Ibnu Khaldun. Bani itu lahir dan berkembang di kota Qarmunah (kini Carmona) di Andalusia (Spanyol) sebe-lum hijrah ke kota Isy­bilia (Sevilla). Di kota yang terakhir ini Bani Khaldun berhasil menduduki beberapa jabatan penting.

Sewaktu kecil Ibnu Khaldun sudah menghafal Al-Qur’an dan mempelajari tajwid. Gurunya yang pertama adalah ayahnya sendiri. Waktu itu Tunisia menjadi pusat hijrah ulama Andalusia yang meng­alami kekacauan akibat pe­rebutan kekuasaan. Ke­hadiran mereka bersamaan dengan naiknya Abul Hasan, pemimpin Bani Marin (1347). Dengan demikian,­ Ibnu Khaldun mendapat kesempatan bela­jar dari para ulama itu selain dari ayahnya.

Ia mempelajari ilmu syariat: tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, dan fikih Mazhab Maliki. Ia juga mempelajari ilmu bahasa (nahu, sharaf, dan balaghah atau kefasihan), fisika, dan matematika­. Dalam semua bidang studinya, ia mendapat nilai yang sangat memuaskan dari gurunya.

Akan tetapi, studinya secara tiba-tiba terhenti akibat berjangkitnya penyakit pes pada 749 H/1348 M di sebagian besar belahan dunia bagian timur. Wabah itu merenggut ribuan nyawa. Akibatnya lebih jauh, penguasa bersama ulama hijrah ke Magribi Jauh (Maroko) pada 750 H/1349 M. Oleh karena itu, ia berusaha mendapatkan pekerjaan dan mencoba mengikuti jejak kakeknya di dunia politik. Komunikasi yang dijalinnya dengan ulama dan tokoh terkenal­ banyak membantunya dalam mencapai jabatan­ tinggi.

Waktu itu Afrika Utara dan Andalusia sedang diguncang banyak peperangan. Dinasti al-Muwahhidun sejak permu­ laan­ abad ke-5 H telah mendekati masa kehancurannya­. Dari dinasti besar ini muncul banyak dinasti dengan negara dan wilayah­ kekuasaan kecil. Dinasti yang terkenal di antaranya­ adalah Dinasti Hafs di Magribi Dekat (Tunisia)­.

Pada 751 H/1350 M, dalam usia 21 ta­hun, Ibnu Khaldun diangkat sebagai sekretaris sultan Dinasti Hafs, al-Fadl, yang berkedudukan di Tunisia. Tetapi ia berhenti dari jabatannya karena penguasa yang didukungnya­ kalah dalam suatu pertempuran pada 753 H/1352 M, dan ia pun terdampar di Baskarah, sebuah kota di Magribi Tengah (Aljazair).

Dari sana ia berusaha bertemu dengan Sultan Abu Anan, penguasa Bani Marin yang sedang berada di Tilmisan (ibukota Magribi Tengah), dan berusaha untuk menarik ke­percayaannya. Pada 755 H/1354 M, ia diangkat­ menjadi anggota Majelis Ilmu Pengetahuan dan setahun kemudian­ menjadi sekretaris sultan.

Dengan dua kali diselingi pemenjaraannya, jabatan itu didudukinya sampai 763 H/1362 M, ketika Wazir Umar bin Abdillah (pejabat Umayah) murka kepadanya dan meme­rintahkannya untuk meninggalkan­ negeri itu.

Pada 764 H/1363 M Ibnu Khaldun berangkat ke Granada. Oleh sultan Bani Ahmar, ia diberi tugas menjadi duta negara di Castilla (kerajaan Kristen yang berpusat di Sevilla) dan berhasil dengan gemilang. Akan tetapi, tidak lama setelah itu, hu­bungannya­ dengan sultan menjadi retak.

Pada 766 H/1363 M ia pergi ke Bijayah (daerah pesisir Laut Tengah di Aljazair) atas undangan penguasa Bani Hafs, Abu Abdillah Muhammad, yang kemudian menjadikannya­ perdana menteri dan pada­ waktu yang sama juga berperan sebagai khatib dan guru.

Namun, setahun kemudian­ Bijayah jatuh ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad, gubernur Qasanthinah (sebuah kota di Aljazair). Untuk beberapa­ lama, Ibnu Khaldun menduduki jabatan yang sama di bawah penguasa ini, kemudian ia berangkat ke Baskarah.

Dari Baskarah ia berkirim surat kepada Abu Hammu, sultan Tilmisan dari Bani Abdil Wad. Kepada­ sultan ia menjanjikan dukungan. Sultan menyambutnya­ dengan baik dan memberinya jabatan penting. Ibnu Khaldun menolak jabatan itu karena ia akan melanjutkan studinya secara autodidak, teta­pi bersedia berkampanye untuk mendukung Abu Hammu. Setelah berhasil, ia pergi ke Tilmisan.

Tatkala Abu Hammu diusir Sultan Abdul Aziz (Bani Marin), Ibnu Khaldun beralih berpihak kepada­ Abdul Aziz dan tinggal di Baskarah. Namun dalam waktu singkat, Tilmisan kembali direbut Abu Hammu. Maka Ibnu Khaldun menyelamatkan­ diri ke Fez pada 774 H/1372 M.

Ketika Fez jatuh ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad (776 H/1374 M), Ibnu Khaldun pergi ke Granada untuk kedua kalinya. Tetapi sultan Bani Ahmar di Granada meminta Ibnu Khaldun untuk meninggalkan wilayah kekuasaannya dan kembali ke Afrika Utara.

Sesampainya di Tilmisan, Ibnu Khaldun tetap diterima Abu Hammu, meskipun ia sudah pernah bersalah kepada penguasa Tilmisan itu. Ia berjanji pada diri sendiri untuk tidak terjun lagi dalam du­nia politik. Akhirnya ia menyepi di Qal’at Ibnu Salamah dan menetap di sana sampai 780 H/1378 M.

Di tempat inilah ia mengarang sebuah karya monumental yang berjudul Kitab­ al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, atau al-‘Ibar (Sejarah Umum), terbitan Cairo 1284. Kitab ini (7 jilid) berisi kajian sejarah, didahului Muqaddimah (jilid I), yang berisi pembahasan tentang masalah sosial manusia.

Muqaddimah itu membuka jalan menuju pembahasan ilmu sosial. Oleh karena itu, dalam sejarah Islam, Ibnu Khaldun dipandang sebagai­ peletak­ dasar ilmu sosial dan politik Islam. Menurut­ pendapatnya, politik tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan,­ dan masyarakat dibedakan antara masyarakat desa (badawah) dan kota (hadarah).

Studi Islam, menurut pendapatnya, terdiri dari ‘ulum Tabi‘iyyah dan‘ulum naqliyyah. ‘Ulum Tabi‘iyyah meliputi ilmu filsafat (misalnya­ mantik atau logika), aritmatika­ dan hisab, handasah­ (geometri),­ alhaia (astronomi), tib (kedokteran), dan al-falahah (pertanian);­ sedangkan ‘ulum naqliyyah meli­puti agama/wahyu dan syariat, Al-Qur’an, fikih, kalam­ (teologi), dan tasawuf.

Pada 780 H/1378 M Ibnu Khaldun kembali ke tanah airnya, Tunisia, untuk menelaah beberapa­ kitab yang dibutuhkan sebagai bahan revisi atas kitab­ al-‘Ibar. Pada 784 H/1382 M) ia berangkat ke Iskandariyah (Mesir) dengan maksud menghindari kekacau­an dunia politik di Magribi. Setelah sebulan di Iskandariyah, ia pergi ke Cairo.

Di Cairo, ulama dan penduduk menyambutnya dengan gembira. Di al-Azhar ia membentuk halaqah dan memberi kuliah. Pada 786 H/1384 M raja menunjuknya menjadi dosen dalam ilmu fikih Mazhab Maliki di Madrasah al-Qamhiyah. Beberapa waktu kemudian ia diangkat men­jadi ketua peng­adilan kerajaan.

Tetapi setahun kemudian, keluarganya mendapat musibah. Kapal yang membawa istri, anak-anak, dan harta bendanya tenggelam tatkala merapat di Iskandariyah. Maka ia mengundurkan­ diri dari jabatannya, tetapi raja segera mengangkatnya­ kembali menjadi dosen di beberapa madrasah, termasuk di Khanqah Beibers, semacam tarekat. Pada 789 H/1387 M ia pergi menunaikan ibadah haji dan kembali ke Cairo tahun berikutnya. Pada 801 H/1399 M ia kembali diangkat sebagai ketua pengadilan dan pergi ke Baitulmakdis (Yerusalem).

Tiga bulan setelah itu, ia mengundurkan diri. Pada 803 H/1401 M ia ikut menemani sultan ke Damascus dalam satu pasukan untuk menahan serangan Timur Lenk, penguasa Mughal. Setelah kembali ke Cairo, ia kembali ditunjuk untuk menduduki jabatan ketua pengadilan kerajaan, dan tetap­ dalam jabatan itu hingga akhir hayatnya.

Selama di Mesir, Ibnu Khaldun kembali merevisi­ dan menambah pasal kitab Muqaddimah (al-‘Ibar). Peristiwa terbaru dimasukkannya, demikian juga temuan ilmiahnya, seperti konsep sosiologis.

Selain kitab al-‘Ibar, Ibnu Khaldun juga menulis sejumlah­ kitab yang juga bernilai sangat tinggi, kitab tersebut antara lain kitab at-Ta‘rif bi Ibn Khaldun, sebuah autobiografi,­ catatan dari kitab sejarahnya. Ia juga menulis sebuah kitab teologi, Lubab al-Muhassal fi Usul ad-Din, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhkhirin­ (karya Imam Fakhruddin ar-Razi) dan memuat­ pendapatnya tentang masalah teologi.

Daftar Pustaka

Baali, Fuad. Social Institutions: Ibnu Khaldun’s Social Thought. London: t.p., 1992.
Gibb, Hamilton A.R. “The Islamic Background of Ibn Khaldun’s Political Theory,” Studies on the Civilization of Islam, eds. Stanford J. Shaw and Willian R. Polk. Boston: Beacon Press, 1962.
Ibnu Khaldun. Muqaddimah Ibnu Khaldun, terj. Ahmadie Thaha. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1986.
–––––––. Tarikh Ibn Khaldun. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.
Issawi, Charles. An Arab Philosophy of Historis: Selections from the Prolegomena of Ibn Khaldun of Tunis. London: t.p., 1950.
Wafi, Ali Abdul Wahid. Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karya. Jakarta: Grafiti Pers, 1985.

BADRI YATIM