Akhir hayat menjelang kematian yang dilalui manusia dalam keadaan ingat kepada Allah SWT disebut husn al-khatimah. Istilah ini terdiri dari dua kata, yakni husn yang berarti “baik” dan al-khatimah yang berarti “kesudahan atau akhir”. Dengan demikian, secara kebahasaan istilah husn al-khatimah berarti “kesudahan atau akhir yang baik”.
Akhir hayat yang ditempuh manusia sering kali disebut sakratulmaut. Sakratulmaut yang amat dahsyat itu sering membuat orang lupa kepada Allah SWT menjelang akhir hayatnya. Sakratulmaut adalah peristiwa dahsyat yang dihadapi setiap insan yang akan mengakhiri hidupnya di dunia ini dalam keadaan wajar.
Rasulullah SAW menggambarkan keadaan sakratulmaut itu sebagai peristiwa kiamat yang dihadapi seseorang. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dunia berarti telah terjadi kiamatnya” (HR. Ibnu Abi ad-Dunia). Para ahli usuluddin biasanya menyebut peristiwa kiamat yang digambarkan Nabi SAW ini sebagai kiamat kecil (qiyamah as-sugra), yang dialami manusia secara individual.
Dalam hadis lain Nabi SAW menyebutkan, “Sesungguhnya seorang hamba akan mengalami pedih dan mabuknya kematian. Di kala itu masing-masing ruas badannya saling mengucapkan selamat berpisah dengan ucapan: ‘alaik as-salam (semoga engkau selamat), kita akan saling berpisah sampai datangnya kiamat” (HR. ad-Dailami).
Karena peristiwa menjelang kematian ini pedih dan berat, banyak orang yang menghadapinya menjadi lupa diri. Kelakuan orang ketika itu akan menampakkan kebiasaannya dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang selalu gelisah dalam hidup akan tampil di ujung kehidupannya dalam keadaan gelisah pula. Apalagi orang yang hidup bergelimang dosa, niscaya akan menghadapi akhir hayatnya dalam keadaan tersiksa, ketakutan, dan hilang akal.
Selain dari itu pada saat menjelang maut itu diperlihatkan pula oleh Allah SWT tempat yang akan kita huni kelak, seperti digambarkan dalam sabda Nabi SAW: “Tidak akan keluar seseorang kamu dari dunia ini sebelum diperlihatkan kepadanya tempat kembalinya, sehingga dia melihat tempatnya itu, di surga atau di neraka” (HR. Ibnu Abi ad-Dunia).
Di samping hadis ini, Nabi SAW mengatakan pula bahwa kepada orang yang beriman akan diberitahukan rida Allah SWT, sedangkan kepada orang kafir diberitahukan pula azab Allah SWT atas dirinya. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya orang yang beriman, apabila ia hampir mati diberi kabar gembira dengan rida Allah dan penghormatan-Nya, dan sesungguhnya orang kafir apabila ia sudah dekat akan mati diberi kabar duka dengan azab Allah dan hukuman-Nya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Orang yang senantiasa berbuat buruk dalam hidupnya akan menghadapi kematian dalam keadaan lupa kepada diri dan Tuhannya. Keadaan ini disebut su’u al-khatimah. Adapun orang yang beriman dan senantiasa berbuat kebaikan dalam kehidupannya akan menghadapi kematian dalam keadaan ingat akan diri dan Tuhannya.
Akan tetapi sering terjadi orang yang pada mulanya ingat akan Allah SWT tiba-tiba menjadi lupa kepada-Nya karena sakratulmaut sangat sakit. Karena itu Rasulullah SAW sendiri, ketika ajalnya telah dekat dan sedang menghadapi sakratulmaut, memohon kepada Allah SWT, “Wahai Allah, mudahkanlah saya dalam menghadapi sakitnya kematian” (HR. Bukhari dan Muslim).
Atas dasar itu pula Rasulullah SAW menyuruh mengajari orang yang hampir meninggal (talkin) dengan kalimat la ilaha illa Allah. Nabi bersabda, “Ajarkanlah orang yang hampir mati di antara kamu dengan la ilaha ill Allh (HR. Muslim).
Guna mengajarkan kalimat tersebut tidak lain adalah agar orang yang sedang menghadapi kematian itu dapat ingat kepada Allah SWT dan lidahnya dapat menyebut nama Allah SWT, sehingga ia meninggal dalam keadaan ingat kepada Allah SWT (husnul khatimah). Husnul khatimah mencakup antara lain:
(1) Mengakhiri ucapan dengan kalimat la ilaha illa Allah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud, Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang akhir ucapannya la ilaha illa Allah akan masuk surga.”
(2) Meninggal dengan tiba-tiba. Nabi SAW bersabda, “Mati mendadak merupakan kesenangan bagi orang beriman dan menjadi penyesalan bagi orang durjana” (HR. Ahmad).
(3) Meninggal dalam berperang di jalan Allah SWT yang disebut ulama fikih dengan syahid dunia akhirat. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya” (QS.2:154). Yang dimaksud dengan hidup dalam ayat ini adalah hidup di alam lain, tempat mereka mendapat nikmat di sisi Allah SWT.
(4) Meninggal sebagai syahid akhirat. Dalam hadis yang diriwayatkan Malik, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Hibban, Rasulullah SAW bersabda, “Selain berperang pada jalan Allah ada lagi tujuh syahid, yaitu: mati karena sakit perut, mati tenggelam, mati karena sakit rusuk, mati karena penyakit cacar, mati karena terbakar, mati ditimpa reruntuhan, dan mati karena melahirkan.”
(5) Meninggal sebagai syahid dunia. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Muslim dan Ahmad dikatakan: “Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW. Laki-laki itu bertanya kepada beliau: ‘Bagaimana jika seseorang datang hendak mengambil hartaku?’ Jawab Rasul: ‘Jangan engkau berikan hartamu kepadanya!’ Kata laki-laki itu pula: ‘Bagaimana kalau ia hendak membunuhku?’ Jawab Nabi: ‘Engkau lawan ia berbunuhan.’ Kata laki-laki itu: ‘Bagaimana kalau ia membunuhku?’ Jawab Rasul: ‘Engkau mati syahid.’ Kata laki-laki itu pula: ‘Bagaimana kalau aku membunuhnya?’ Sabda Rasulullah SAW: ‘Dia masuk neraka.’”
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril. Pelita Hidup Menuju Rida Ilahi. Jakarta: Kalam Mulia, 1991.
Gazalba, Sidi. Maut, Batas Kebudayaan dan Agama. Jakarta: Tintamas, 1975.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1929.
Usman, M. Ali. Maut dan Persoalannya. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Yunasril Ali