Perang Hunain merupakan sebuah konflik bersenjata antara pasukan muslimin di bawah pimpinan Nabi SAW dan 30 ribu prajurit musyrikin Mekah, yang terdiri dari Bani Hawazin, Saqif, Nasr, dan Jusyam di bawah pimpinan Malik bin Auf dari Bani Nasr. Pada 10 Safar 8, sekitar 2 minggu setelah fath al-Makkah (penaklukan Mekah), perang ini terjadi di Lembah Hunain, sekitar 70 km di sebelah timur Mekah.
Peristiwa fath al-Makkah (bulan Muharam 8) merupakan kemenangan besar bagi kaum muslimin, karena dengan kemenangan itu mereka dapat melaksanakan ibadah haji sebagaimana diperintahkan ajaran Islam. Lebih-lebih kaum Muhajirin dapat mengunjungi lagi kampung halaman dan bertemu dengan keluarga mereka.
Akan tetapi, tidak semua penduduk Mekah menerima kenyataan itu; masuknya kaum muslimin ke Mekah dipandang sebagai kekalahan. Kabilah yang disebutkan di atas, yang kebetulan berdomisili di sekitar Mekah, mengadakan perlawanan bersenjata. Mereka sepakat mengangkat Malik bin Auf sebagai pimpinan mereka. Atas komandonya, mereka mengumpulkan anak-istri beserta harta benda mereka di balik sebuah bukit dekat Lembah Hunain untuk menjadi pembangkit semangat jika pertempuran terjadi.
Dalam pada itu, sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud dari seorang sahabat Nabi SAW bernama Suhail al-Handalaiyyah, Nabi SAW mengutus seseorang untuk melihat situasi yang terjadi di kalangan kaum musyrikin itu. Sekembalinya, utusan itu melaporkan bahwa Bani Hawazin dan sekutunya sedang bergerak ke Hunain dengan anak-istri, harta benda, serta ternak mereka. Nabi SAW hanya menjawab bahwa semuanya itu besok paginya akan menjadi ganimah (rampasan perang) kaum muslimin.
Untuk menghadapi para pemberontak itu, kaum muslimin di bawah komando Nabi Muhammad SAW bergerak menuju Hunain. Mereka terdiri dari lebih kurang 10.000 orang yang mengikuti fath al-Makkah ditambah 2.000 orang Mekah yang sudah memeluk Islam, antara lain Abu Sufyan (Ibnu Harb).
Sore harinya pasukan muslimin tiba dekat sebuah celah yang merupakan jalan masuk ke Lembah Hunain dan di sana mereka beristirahat. Pada waktu fajar keesokan harinya, kaum muslimin mulai bergerak menyusuri tebing terjal dekat Wadi Tihamah. Pasukan paling depan adalah dari Bani Sulaim, yang dipimpin Khalid bin Walid, sedangkan Nabi Muhammad SAW berada di barisan paling belakang dengan menunggang seekor bagal putih.
Sementara pasukan muslimin sedang menuruni lembah itu, tiba-tiba datang serangan mendadak berupa hujan panah yang dilontarkan pasukan kaum musyrikin yang sudah lama mengintai di balik bebukitan atas komando Malik bin Auf. Dalam keadaan remang-remang, pasukan muslimin menjadi panik dan kacau-balau, lari pontang-panting menyelamatkan diri masing-masing. Pasukan Malik bin Auf turun dari bebukitan, bergerak mengepung pasukan kaum muslimin yang semakin kucar-kacir.
Melihat suasana demikian, Abu Sufyan bin Harb, yang dalam hatinya masih menyimpan dendam terhadap kaum muslimin, bergumam, “Mereka tidak akan berhenti lari sebelum sampai ke laut.” Syaiba bin Usman bin Talha, seorang bekas pemimpin musyrikin Mekah seperti Abu Sufyan, berkata, “Kini saatnya aku membalas Muhammad atas kematian bapakku di Uhud dulu.” Sementara Kalada bin Hanbal, seperti mereka berdua, berkomentar, “Sekarang sihir Muhammad sudah tidak mempan lagi.”
Dalam keadaan panik, Nabi Muhammad SAW memanggil pamannya, Abbas bin Abdul Abbas bin Abdul Muthalib, dan memerintahkan untuk memanggil kaum muslimin yang sedang panik. Ia berseru ke segenap penjuru, “Wahai, Saudara-saudara kaum Ansar, wahai Saudara-saudara kaum Muhajirin, wahai orang-orang yang telah berbaiat di bawah pohon, mari kita terus berjuang, Muhammad masih hidup.”
Seruan itu diucapkannya berulangulang. Ketika itulah pasukan kaum muslimin saling menyahut dari segenap penjuru, “Ya, aku datang, aku siap.”
Pertempuran mulai terarah. Pasukan kaum muslimin mulai terkonsolidasi; pada diri mereka timbul semangat baru. Sementara itu, hari mulai terang, sehingga antara sesama teman sudah saling melihat. Mereka bisa membedakan mana kawan dan mana lawan.
Dalam keadaan perang berkecamuk, Nabi SAW turun dari bagalnya, lalu mengambil segenggam pasir dan melemparkannya ke arah musuh sambil berkata, “Wajah-wajah buruk, hancurlah kalian, demi Allah, Tuhannya Muhammad.”
Abbas bin Abdul Muthalib menceritakan, sebagaimana diriwayatkan Muslim, bahwa tidak lama setelah Nabi SAW melemparkan pasir, semangat kaum musyrikin mulai patah dan kepanikan menyelimuti mereka. Mereka kalang kabut meninggalkan medan pertempuran, dengan meninggalkan wanita, anak-anak, dan harta mereka, di samping banyak anggota pasukan mereka yang menjadi tawanan kaum muslimin. Setelah dihitung, seluruhnya terdiri dari 22.000 unta, 40.000 kambing, 4.000 ’uqiya perak, dan 6.000 orang tawanan.
Pengejaran terhadap pasukan Bani Hawazin dan sekutunya yang melarikan diri terus dilakukan sampai ke Lembah Autas, bagian dari Lembah Hunain. Di tempat ini mereka digempur habis-habisan. Sebagian kecil dari sisa pasukan musuh, termasuk pemimpinnya Malik bin Auf, melarikan diri dan bersembunyi di Ta’if. Tetapi kemudian mereka dikepung dan sebagian besar menyerah dan masuk Islam.
Perihal kemenangan demi kemenangan yang dicapai kaum muslimin, termasuk kemenangan dalam Perang Hunain, difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur’an surah at-Taubah (9) ayat 25–28.
DAFTAR PUSTAKA