Hudud

(Ar. al-hudud)

Istilah hudud (Arab: jamak dari hadd) awalnya bermakna “batas”, “larangan”, atau “pagar”. Dalam perkembangannya, istilah ini kemudian digunakan dalam ranah hukum Islam untuk menunjuk pada kategori hukuman pidana tertentu yang batasan dan bentuknya telah ditetapkan secara tegas melalui Al-Quran dan Sunnah. Hukuman-hukuman ini dirancang bukan semata sebagai hak mutlak dari Tuhan secara tekstual, melainkan sebagai upaya menjaga kemaslahatan masyarakat dengan menegakkan keadilan dan ketertiban sosial, sehingga penerapannya harus mempertimbangkan konteks dan tujuan utama syariah dalam melindungi hak dan kesejahteraan umat manusia.

 

Dalam pandangan ilmu fikih klasik, hudud adalah jenis hukuman pidana yang telah ditetapkan secara pasti oleh syariat Islam. Hukuman ini berlaku untuk pelanggaran tertentu (jarimah hudud) dan sifatnya tetap, sehingga tidak boleh ditambah atau dikurangi oleh siapa pun. Hudud dipandang sebagai hak Allah SWT, sehingga tidak dapat dihapus atau diintervensi oleh korban maupun oleh lembaga negara. Contoh hukuman hudud antara lain rajam (hukuman mati dengan melempari batu), potong tangan bagi pencuri, dan cambuk bagi pelanggar zina yang belum menikah.

Namun pengertian dan penerapan hudud secara literal itu mendapatkan kritikan keras dari ulama kontemporer. Karena hukum tersebut merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat pra modern. Pemaknaan dan penerapan hudud sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat modern. Hukuman sosial harus diputuskan oleh masyarakat setempat, di lingkungan mereka tinggal, sesuai nilai dan asas kebudayaan yang patut diterima oleh masyarakat modern.

Kata hudud disebut dalam beberapa ayat Al-Quran seperti Surah Al-Baqarah (2): 187, 229, dan 230; An-Nisa’ (4): 13–14; At-Taubah (9): 97 dan 112; serta At-Talaq (65): 1. Dalam ayat-ayat ini, hudud dipahami sebagai “ketetapan” atau “batasan” yang ditetapkan Allah SWT dalam menjaga tatanan kehidupan dan moral masyarakat.

 

Jenis-Jenis Jarimah Hudud

Hukum hudud diterapkan pada tujuh jenis tindak pidana:

  1. Zina

  2. Qadzf (tuduhan zina tanpa bukti)

  3. Minum khamar (minuman memabukkan)

  4. Sariqah (pencurian)

  5. Hirabah (perampokan bersenjata atau pemberontakan)

  6. Riddah (kemurtadan)

  7. Baghy (pemberontakan terhadap otoritas sah)

 

Setiap kategori dari hudud itu memiliki bentuk sanksi tersendiri yang diuraikan dalam kitab-kitab fikih klasik. Misalnya, hukuman bagi pezina muhsan (yang sudah menikah) adalah rajam hingga mati, berdasarkan hadis sahih (HR. Bukhari dan Muslim), sementara bagi yang belum menikah dikenakan 100 cambukan (QS. An-Nur: 2).

Namun pelaksanaan hudud di negara-negara Islam itu juga tidak sesuai ketentuan Al-Quran dan Sunnah. Karena penerapannya bias penguasa, pelaku yang memiliki kaitan dengan kekuasaan terhindar dari pelaksanaan hudud. Sementara rakyat kecil atau mereka yang dianggap warga kelas dua di negara tersebut, mendapatkan hukuman keras.

Contohnya pelaksanaan hudud di Arab Saudi untuk kasus pembunuhan, masih ada proses membayar denda bagi pelaku warga Arab Saudi yang diberikan oleh dermawan setempat. Tapi untuk warga kelas dua, misalnya orang kulit hitam (biasanya disebut dengan istilah peyoratif: takaroni / keturunan Afrika Barat), Pakistan, atau imigran lain, proses tersebut hampir tidak berlaku. Bahkan ada beberapa kasus pekerja migran asal Indonesia dihukum mati tanpa memberitahu pihak Indonesia sejak awal. Sehingga bantuan hukum yang diberikan tidak maksimal karena terlambat.

Untuk pencurian, Al-Quran menetapkan: “Potonglah tangan keduanya…” (QS. Al-Ma’idah: 38), namun dengan ketentuan nilai minimum barang yang dicuri, sebagaimana disebutkan dalam hadis: “Tidak dipotong tangan kecuali jika barang curian senilai seperempat dinar atau lebih” (HR. Jama‘ah).

Ketentuan batasan dari potong tangan itu juga tidak pasti, sehingga penerapan hudud tersebut juga bias penguasa, tergantung eksekutornya. Beberapa kajian dalam fikih klasik telah membuat batasan tertentu, misalnya tergantung banyaknya barang yang dicuri (minimal ¼ dinar emas, sekitar 4.25 gram emas). Pertimbangan lainnya adalah karena alasan keterdesakan si pencuri. Jika perbuatan itu dilakukan sebagai profesi, bukan karena terpaksa, maka bisa diterapkan hudud.

Namun dalam praktik penerapannya menurut fikih imam mazhab, terutama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, terdapat perbedaan interpretasi hukum. Artinya, hudud yang awalnya didefinisikan sebagai hukum yang tak boleh dikurangi maupun ditambahi itu, ternyata tidak bisa diterapkan secara tekstual. Hukum ilahian itu pada akhirnya tergantung versi siapa yang menerapkannya, dan untuk siapa diterapkannya.

Mazhab Hanafi cenderung paling ketat dalam menetapkan syarat, dan sering menolak penerapan jika ada kemungkinan syubhat (keraguan). Mazhab Maliki lebih tegas dalam menerapkan hukum, bahkan mencatat urutan hukuman fisik jika pencurian dilakukan berulang kali. Mazhab Syafi’i dan Hanbali berada di tengah, menerapkan hukuman secara bertahap: pertama potong tangan kanan, kedua potong kaki kiri, dan seterusnya, namun tetap memperhatikan syarat dan bukti yang ketat.

Penafsiran para mazhab yang berbeda itu masih ditafsirkan lagi oleh masing-masing hakim di suatu negara tertentu. Setiap negara biasanya memiliki standar fikih yang berbeda dari negara lain, meskipun mazhabnya sama. Hal demikian itu menampilkan gambaran Hudud sebagai suatu bentuk hukuman Arab pra modern yang menyeramkan, tidak pasti dan tebang pilih. Apalagi, keadilan yang diharapkan tidak tercapai karena penerapan hudud untuk pencurian kecil dan korupsi besar sama saja.

 

Kritik dan Reinterpretasi Kontemporer

Meskipun hudud memiliki dasar skriptural yang kuat, banyak pemikir Islam modern memandang bahwa penerapan literal terhadap hukum hudud perlu ditinjau ulang. Penekanan utamanya adalah pada kesesuaian konteks sosial dan prinsip keadilan dalam Islam. Hukum hudud diturunkan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Arab waktu itu. Hal tersebut tidak relevan lagi dengan situasi masyarakat global yang sudah modern.

Menurut Fazlur Rahman, hukum Islam tidak dapat dipahami secara kaku dan literal semata, melainkan harus melalui pendekatan double movement, yaitu sebuah metode dua arah yang menekankan pentingnya pemahaman historis sekaligus relevansi moral.

Pertama, seorang mufasir atau pemikir harus kembali ke konteks historis saat wahyu diturunkan, dengan memahami latar belakang sosio-kultural, politik, dan ekonomi masyarakat Arab pada masa Nabi Muhammad. Ini dilakukan untuk menangkap maksud dan semangat moral yang terkandung dalam teks wahyu. Langkah kedua adalah memproyeksikan nilai-nilai etis dan prinsip-prinsip universal dari wahyu tersebut ke dalam konteks modern, sehingga ajaran Islam tetap hidup, dinamis, dan mampu menjawab tantangan zaman.

Pendapat ini diperkuat oleh Mohammad Hashim Kamali yang menyatakan bahwa hukum hudud tidak dapat diberlakukan tanpa keadilan substantif dan prosedural (Kamali, Shari’ah Law, 2008).

Abdullahi Ahmed An-Na’im, dalam Islam and the Secular State (2008), menegaskan bahwa penerapan hukum pidana Islam seperti hudud dalam negara modern harus melalui proses reformulasi yang berpijak pada hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. Ia menyatakan bahwa perlindungan terhadap martabat manusia lebih utama daripada sanksi fisik literal.

Sementara itu, Muhammad Shahrur memperkenalkan konsep hudud al-aqsa (batas maksimum) yang menafsirkan bahwa hukuman hudud bersifat batas atas, bukan keharusan absolut. Dengan demikian, sanksi lain yang lebih ringan dan sesuai nilai keadilan kontemporer dapat diterapkan jika tujuan syariah tetap tercapai.

Berbagai kritik dan reinterpretasi modern itu menuntut penerapan hudud yang bias penguasa dan tidak pasti batasannya itu tidak perlu diterapkan lagi. Karena tujuan memberikan hukuman itu sebenarnya demi mencapai kemaslahatan dalam kehidupan bermasyarakat. Hukuman modern merupakan evolusi dari hukuman yang tidak manusiawi dalam kehidupan manusia di masa lalu, jadi lebih tepat untuk diberlakukan saat ini.

 

Perspektif Historis dan Sosial

Para akademisi seperti Wael B. Hallaq dalam Shari’a: Theory, Practice, Transformations (2009), menunjukkan bahwa sistem hudud dikembangkan dalam masyarakat Arab abad ke-7 yang bersifat tribal, patriarkis, dan non-institusional. Masyarakat pada masa itu belum mengenal sistem pemasyarakatan, peradilan berjenjang, atau pendekatan rehabilitatif. Oleh karena itu, bentuk-bentuk hukuman seperti rajam, cambuk, dan potong tangan dirancang untuk memberikan efek jera cepat di tengah komunitas kecil yang sangat bergantung pada kontrol sosial langsung.

Dalam struktur sosial yang berbasis suku (tribal), pelanggaran tidak hanya dilihat sebagai kesalahan individu, tetapi sebagai ancaman terhadap stabilitas kelompok. Maka, sanksi fisik yang keras dianggap wajar dan bahkan dibutuhkan untuk menjaga kehormatan dan keseimbangan kolektif. Hukuman seperti itu terpaksa dilakukan di tengah keterbatasan saat itu.

Namun, dalam masyarakat modern yang kompleks, pluralistik, dan berbasis hukum negara, pendekatan ini menjadi tidak relevan. Negara modern memiliki sistem hukum tertulis, pengadilan, aparat penegak hukum profesional, dan mekanisme banding yang tidak ada dalam masyarakat tribal masa lalu. Oleh karena itu, penerapan hudud secara literal di zaman sekarang justru dapat menyimpang dari semangat keadilan Islam jika tidak disesuaikan dengan konteks sosial dan hukum modern.

Yusuf al-Qaradawi, meskipun dikenal konservatif, dalam Fiqh al-Jihad (2009) menyatakan bahwa hudud tidak dapat ditegakkan dalam situasi sosial yang timpang, dan penegakan hukum hanya adil bila masyarakat telah diberdayakan secara ekonomi, politik, dan hukum.

Dengan kata lain, hudud itu, bahkan jika ingin diterapkan sesuai prinsip Islam, tetap harus melihat kondisi masyarakat. Hudud bisa diabaikan jika situasi tidak mendukung. Itu artinya, hukuman penuh risiko yang tidak bisa dibatalkan ketika telah dieksekusi itu bukan satu-satunya pilihan. Apalagi jika situasi masyarakat modern bisa menerapkan keadilan tanpa harus menggunakan cara-cara penuh kekerasan dan tidak manusiawi.

 

Penerapan di Negara-Negara Muslim

Dalam praktiknya, negara dengan mayoritas Muslim tidak menerapkan hukum hudud secara formal dan menyeluruh. Negara-negara seperti Indonesia, Turki, Tunisia, dan Maroko lebih memilih sistem hukum nasional yang memadukan prinsip-prinsip Islam dengan hukum positif modern, demi menyesuaikan diri dengan kebutuhan sosial, politik, dan ekonomi kontemporer.

Bahkan di Arab Saudi, yang dikenal sebagai negara konservatif, penerapan hudud dilakukan secara selektif dan sering kali bergantung pada keputusan politik dan pertimbangan sosial. Ini menunjukkan bahwa penerapan hukum pidana Islam tidak bersifat seragam di dunia Muslim, melainkan sangat dipengaruhi oleh konteks nasional masing-masing negara.

Negara lain seperti Brunei Darussalam secara resmi mengesahkan hukum pidana syariah melalui Syariah Penal Code Order (SPCO) 2013, yang mencakup ketentuan hudud, qisas, dan ta’zîr. Meskipun demikian, penerapan hukuman hudud di Brunei berjalan sangat hati-hati dan bertahap. Sejak diberlakukan pada 2014, belum ada hukuman hudud berat seperti rajam atau amputasi yang benar-benar dijatuhkan, karena berbagai faktor seperti kesiapan sistem peradilan, syarat pembuktian yang ketat, serta tekanan internasional terkait hak asasi manusia.

Sebaliknya, di beberapa negara seperti Iran dan Pakistan, upaya penerapan hudud kerap memicu kontroversi. Kritik keras datang dari komunitas internasional terkait kasus-kasus hukuman rajam terhadap perempuan atau kriminalisasi terhadap penganut agama minoritas atas tuduhan murtad. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa reformasi struktural, hukum hudud dapat berpotensi menjadi alat represi penguasa atau kelompok mayoritas.

Praktik penerapan hudud yang berbeda-beda itu menunjukkan bahwa ijtihad masyarakat Muslim global terhadap penerapan hudud terus mengalami proses pembalikan. Semakin modern dan demokratis suatu negara mayoritas Muslim, penerapan hukumnya juga semakin disesuaikan dengan kode etik global. Hudud tidak lagi dianggap relevan dengan situasi yang mereka hadapi sekarang.

 

Perspektif Ulama Indonesia

Di Indonesia, pandangan terhadap hudud juga mengalami perkembangan seiring dengan konteks kebangsaan dan keislaman yang inklusif. Para ulama dan cendekiawan Islam moderat menekankan bahwa penerapan hukum Islam, termasuk hudud, harus selaras dengan prinsip keadilan sosial dan konstitusional dalam negara-bangsa modern.

Organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menyuarakan pentingnya pendekatan kontekstual terhadap teks-teks fikih klasik. Dalam berbagai forum bahtsul masail dan publikasi keislaman, kedua organisasi ini menyatakan bahwa substansi keadilan lebih penting daripada bentuk hukum yang tekstual, terutama jika sistem sosial belum mampu memberikan jaminan keadilan prosedural.

  1. Ma’ruf Amin menyatakan bahwa hukum hudud memang memiliki dasar dalam syariat, namun penerapannya membutuhkan pertimbangan maslahat, kondisi masyarakat, dan sistem hukum nasional yang berlaku. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya ijtihad kolektif untuk membaca ulang teks hukum agar sesuai dengan realitas zaman.

Sementara itu, Abdul Moqsith Ghazali, dari Lembaga Bahtsul Masail PBNU, menegaskan bahwa hukum Islam tidak bisa dilepaskan dari konteks dan perkembangan zaman. Menurutnya, penerapan hudud secara literal tanpa mempertimbangkan nilai-nilai hak asasi manusia dan prinsip negara hukum justru dapat mencederai maqashid syariah: keadilan, rahmah, dan kemaslahatan.

Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, menyatakan bahwa fikih Islam dalam tradisi Muhammadiyah disusun berdasarkan jenjang norma, yang dimulai dari nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), dilanjutkan dengan prinsip universal, dan berakhir pada ketentuan hukum praktis. Dengan kerangka ini, setiap hukum praktis, termasuk hukum pidana Islam yang bersifat berat, tidak dapat diterapkan secara sembarangan, melainkan harus selaras dengan nilai-nilai dasar seperti keadilan, kemaslahatan, dan prinsip-prinsip moral universal.

Pandangan ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah mendukung pendekatan kontekstual dan etis dalam memahami serta menerapkan hukum Islam di tengah masyarakat modern.

Dalam ushul fikih, prinsip maqashid al-syariah menekankan lima hal: perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Para cendekiawan kontemporer melihat bahwa tujuan ini dapat dicapai tanpa harus terpaku pada bentuk hukuman fisik yang eksplisit dalam teks klasik. Kemaslahatan adalah kunci yang semestinya dijadikan patokan dalam menerapkan hukuman di tengah masyarakat.

 

Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islami. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
Al-Qaradawi, Yusuf. Fiqh al-Jihad. Beirut: Maktabah Wahbah, 2009.
An-Na’im, Abdullahi Ahmed. Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari’a. Harvard University Press, 2008.
BBC News Indonesia. (2018, 30 Oktober). Eksekusi Tuti Tursilawati: Cerita Pertemuan Terakhir dengan Ibunda dan Keinginan Berziarah ke Makam. Diakses pada 1 Oktober 2025, dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46020157
Hallaq, Wael B. Sharī’a: Theory, Practice, Transformations. Cambridge University Press, 2009.
Kamali, Mohammad Hashim. Principles of Islamic Jurisprudence. Islamic Texts Society, 2003.
Muhammadiyah.or.id. (2021, 1 Oktober). Syamsul Anwar: Fikih Tidak Hanya Soal Ketentuan-Ketentuan Praktis. Diakses pada 1 Oktober 2025, dari https://muhammadiyah.or.id/2021/10/syamsul-anwar-fikih-tidak-hanya-soal-ketentuan-ketentuan-praktis/
NU Online. (2022, 7 Juni). 4 Tingkatan Sanksi dalam Hukum Islam, dari Hudud hingga Ta’zir. Diakses pada 1 Oktober 2025, dari https://islam.nu.or.id/syariah/4-tingkatan-sanksi-dalam-hukum-islam-dari-hudud-hingga-ta-zir-S0FXq
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University of Chicago Press, 1982.
Ridho, Mohammad Rasyid. (2018). Kritik Terhadap Teori Ḥudūd Muhammad Syahruŕ dan Implementasinya dalam Ayat-ayat Hudūd. Sophist: Jurnal Sosial, Politik, Kajian Islam Dan Tafsir, 1(2), Desember 2018.
Shahrur, Muhammad. The Qur’an, Morality and Critical Reason: The Essential Muhammad Shahrur. Translated by Andreas Christmann. BRILL, 2009.
Syaltut, Mahmud. al-Islam ‘Aqidah wa Syari‘ah. Cairo: Dar al-Qalam, 1966.
Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damascus: Dar al-Fikr, 1985.