Secara kebahasaan, hiwalah berarti “pemindahan”. Dalam hukum Islam hiwalah berarti “suatu cara memindahkan tanggung jawab penyelesaian utang dari pihak yang berutang yang tidak sanggup lagi membayarnya kepada orang lain yang memiliki kemampuan untuk mengambil alih”.
Penyelesaian utang dengan cara pemindahan utang dapat diilustrasikan sebagai berikut: A mempunyai utang sebesar Rp1.000.000, kepada B dan C mempunyai utang kepada A. Karena A pailit, tanggung jawab penyelesaian utang A diambil alih sepenuhnya oleh C, sehingga utang piutang tersebut menjadi urusan antara B dan C (dalam uraian berikutnya contoh ini akan digunakan dalam menjelaskan persoalan).
Dalam banyak hal, ada kesamaan antara hiwalah dan kafalah. Perbedaannya adalah sebagai berikut. Dalam kafalah yang dipertanggungjawabkan mencakup utang (uang atau barang) dan diri atau jiwa; dari yang berutang masih dituntut tanggung jawab atas penyelesaian utang atau persoalan yang dihadapi; antara yang berutang dan pengambil alih utang masih ada sangkutan hukum.
Adapun pada hiwalah, yang dipertanggungjawabkan hanyalah uang dan tanggung jawab orang yang berutang sudah lepas karena telah diselesaikan oleh pengambil alih utang. Hubungan antara yang berutang dan pengambil alih sematamata karena perbuatan baik (tabarru‘ atau istihbab).
Menurut ulama Mazhab Hanafi, seperti Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (w. 189 H/805 M), Zufar bin Hudail (w. 158 H/775 M), dan Imam Abu Yusuf (w. 182 H/798 M), ada dua macam hiwalah:
(1) hiwalah muthlaqah, yaitu akad pengambilalihan beban/utang seseorang tanpa menyebutkan jenis, batas, dan jumlahnya;
(2) hiwalah muqayyad, yaitu pengambil alihan utang seseorang dengan menyebutkan batas dan jumlahnya. Mayoritas ulama sepakat untuk membolehkan bentuk hiwalah kedua berdasarkan hadis Nabi SAW: “Penangguhan (pertolongan atas orang pailit) dari orang kaya adalah zalim; dan apabila ada seseorang (pailit) dipindahkan (utangnya) kepada orang kaya, hendaklah (orang pailit itu) menerimanya, falyattabi‘ (ikutilah)” (HR. al-Baihaqi).
Hadis yang senada juga diriwayatkan at-Tabrani dan Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) dengan menggunakan kalimat perintah falyahtal (pindahkanlah).
Mayoritas ulama fikih berpendapat bahwa kalimat perintah falyattabi‘ dan falyahtal pada hadis tersebut hanya menunjukkan anjuran untuk melakukan hiwalah sebagai perbuatan yang baik. Namun, Abu Dawud (w. 275 H/888 M) dan Ahmad bin Hanbal memandang perintah pada kedua hadis tersebut wajib.
Ada beberapa unsur yang terkait dalam transaksi hiwalah, yaitu al-mahil (pengambil alih utang, dalam contoh di atas C); al-mahal ‘alaihi (yang berutang, A); al-mahal (orang yang memberi utang, B); dan al-mahal bihi (utang, Rp1.000.000,-). Di samping itu perlu ada ijab kabul, yakni ijab dari al-mahil serta kabul dari al-mahal dan al-mahal ‘alaihi. Ijab kabul harus tertulis dan ditandatangani semua pihak yang terkait dan saksi.
Ada dua syarat al-mahil: (1) balig, berakal, dan memiliki kompetensi (ahliyyah) untuk melakukan transaksi; dan (2) rela; jika ada rasa keterpaksaan, hiwalah tidak sah.
Syarat al-mahal dan al-mahal ‘alaihi ada tiga: (1) balig, berakal, dan memiliki kompetensi untuk melakukan transaksi; jika yang meminjamkan itu anak kecil, transaksi dapat dilakukan walinya; (2) adanya kerelaan dalam melakukan pengambilalihan; dan (3) ijab kabul dilaksanakan dalam suatu tempat dan disaksikan semua pihak terkait.
Adapun syarat al-mahal bihi adalah sebagai berikut: (1) berbentuk utang; jika tidak, akadnya berubah menjadi wakalah (perwakilan); dan (2) status utang itu pasti; budak yang memerdekakan dirinya dengan cara mencicil tidak bisa dijadikan objek hiwalah karena pencicilan tidak dianggap utang secara pasti.
Konsekuensi hukum hiwalah ada tiga: (1) pengambil alih utang tidak ada sangkutan utang-piutang dengan yang berutang; (2) yang diselesaikan oleh pengambil alih dari yang berutang adalah utang (ad-dain) dan sekaligus tuntutan (al-mathalib); dan (3) jika yang memberikan utang menuntut setelah terjadi akad hiwalah, maka itu ditujukan kepada pengambil alih, karena keterkaitan hanya ada antara al-mahil dan al-mahal.
Menurut jumhur ulama, perjanjian hiwalah berakhir jika terjadi hal-hal berikut.
(1) Perjanjian itu rusak. Misalnya, ketika sampai pada masa jatuh tempo, pengambil alih utang ternyata tidak membayar utang yang menjadi tanggung jawabnya kepada yang memberi utang meskipun ia mempunyai kesanggupan untuk itu. Dalam keadaan seperti ini, tanggung jawab utang kembali lagi kepada yang berutang untuk mencari pengambil alih yang lain.
(2) Hak pengambil alih rusak. Misalnya, pengambil alih meninggal atau pailit.
(3) Pengambil alih membayar utang yang menjadi tanggung jawabnya kepada yang memberi utang.
(4) Yang memberi utang meninggal. Dalam keadaan ini, harta hiwalah menjadi hak ahli warisnya.
(5) Yang memberi utang menghibahkan hartanya kepada yang berutang.
(6) Yang memberi utang menyedekahkan hartanya kepada yang berutang.
(7) Yang memberi utang menghapuskan (memutihkan) tuntutan utang terhadap yang berutang atau pengambil alih. Karena dalam kajian hukum hibah, sedekah, dan ibra’ (penghapusan/pemutihan) memiliki konsekuensi yang berbeda-beda, para ahli fikih memperincinya (butir 5, 6, dan 7).
Meskipun hiwalah didasarkan atas perbuatan baik, dalam fikih masih ada ketentuan yang menyangkut hubungan antara yang berutang dan pengambil alih.
(1) Jika ternyata orang yang berutang dalam masa tempo hiwalah bangkit dan mampu membayar kembali utangnya, beban pengambil alih lepas.
(2) Jika yang berutang mendapat hibah, sedekah, atau warisan dari yang memberi utang, pengambil alih mempunyai hak untuk memperoleh sebagian harta itu.
(3) Jika pengambil alih menyelesaikan utang yang menjadi tanggung jawabnya, yang berutang tidak perlu lagi mengembalikan utang kepadanya.
Perselisihan antara pengambil alih utang dan yang memberi utang dapat diselesaikan dengan menggunakan prinsip al-bayyinah ‘ala al-mudda‘i wa al-yaminu ‘ala man ankara (bukti autentik bagi yang menuntut, sumpah bagi yang menyangkal). Jika keduanya mengemukakan alasan yang sama-sama kuat, maka hal itu dapat diselesaikan melalui pengadilan perdata. Selain itu, penyelesaian kasus ini dapat juga dilakukan melalui lembaga arbitrase yang dalam istilah fikih disebut tahkim.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi. 1960.
as-San‘ani, Muhammad bin Ismail al-Kahlani. Subul as-Salam. Bandung: Dahlan, t.t.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nail al-Authar. Cairo: Dar al-Fikr, t.t.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
Atjeng Achmad Kusaeri