Hasyim Asy’ari

(Jombang, 14 Februari 1871–25 Juli 1947)

Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama terkemuka, perintis Nahdlatul Ulama (NU), dan juga tokoh paling banyak memberi isi serta mengembangkan NU. Pada 1899 ia mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Ia berasal dari keluarga kiai yang cinta ilmu dan dibesarkan di lingkungan pesantren, sehingga jiwanya melekat pada tradisi pesantren. Pada 1964 ia dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Hasyim Asy’ari mula-mula belajar pada ayahnya sendiri, kemudian bergabung bersama santri lainnya di pondok pesantren ayahnya. Sejak kecil sudah tampak kecerdasan dan kesungguhannya dalam menuntut ilmu. Ia memiliki minat baca yang sangat tinggi. Ketika berusia 13 tahun, ia masuk Pesantren Wonokojo di Probolinggo, kemudian pindah ke Pesantren Pelangitan di Trenggilis.

Dua tahun kemudian ia belajar di Pesantren Bangkalan, Madura. Ia tidak lama di sini, lalu pindah lagi ke Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo yang dipimpin Kiai Ya’kub. Akhlaknya yang terpuji, ketekunan, dan kecerdasannya memikat gurunya, Kiai Ya’kub, dan karena itu Hasyim Asy’ari dinikahkan pada 1892 dengan putrinya, Chadijah.

Tidak berapa lama setelah menikah, Hasyim berangkat ke Mekah bersama istri dan mertuanya. Di samping beribadah, ia juga bertujuan untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama. Dasar pengetahuan agama yang telah dimilikinya selama belajar di pondok pesantren memudahkannya memahami pelajaran di Mekah. Ia sangat tertarik pada ilmu hadis dan tasawuf dan ini yang membuatnya di kemudian hari senang mengajarkan hadis dan tasawuf.

Sesudah 7 bulan di Mekah, istrinya melahirkan seorang putra yang diberi nama Abdullah. Namun, beberapa hari setelah melahirkan, istrinya meninggal, kemudian disusul putranya yang baru berusia 40 hari. Untuk menghilangkan rasa dukanya, Kiai Ya’kub mengajak menantunya, Hasyim pulang ke Indonesia.

Tahun berikutnya Hasyim kembali melanjutkan pelajarannya di Mekah. Kali ini ia disertai adiknya, Anis. Selama 7 tahun di Mekah ia melengkapi dirinya dengan berbagai pengetahuan yang bermanfaat, khususnya ilmu agama. Usahanya tidak sia-sia. Berkat ketekunan dan kesungguhannya, Hasyim Asy’ari berhasil menyelesaikan pendidikannya dan menjadi ulama yang berpengetahuan luas. Karena itu, ia digelari hadrah asy-Syaikh.

Mengajar merupakan profesi yang ditekuninya sejak muda. Sejak masih di pondok pesantren, ia sering dipercayakan mengajar santri yang baru masuk oleh gurunya. Bahkan, ketika di Mekah ia pun sudah mengajar. Sepulang dari Mekah, ia membantu ayahnya mengajar di pondok pesantren ayahnya, Pondok Nggedang. Kemudian ia mendirikan pondok pesantren sendiri di Desa Tebuireng, Jombang.

Hasyim Asy’ari sengaja memilih lokasi yang penduduknya banyak dikenal sebagai penjudi, perampok, dan pemabuk. Pada mulanya pilihan itu ditentang sahabat dan sanak keluarganya. Akan tetapi, Hasyim Asy’ari meyakinkan mereka bahwa dakwah Islam harus lebih banyak ditujukan kepada masyarakat yang jauh dari kehidupan beragama. Demikianlah, pada 1899 di Tebuireng berdiri sebuah pondok yang sangat sederhana.

Bertahun-tahun Kiai Hasyim membina pesantrennya, menghadapi berbagai rintangan dan hambatan, terutama dari masyarakat sekelilingnya. Akhirnya, pesantren itu tumbuh dan berkembang dengan pesat. Santri yang semula hanya berjumlah 28 orang bertambah terus dari tahun ke tahun sampai mencapai ribuan orang. Mereka datang dari berbagai pelosok tanah air.

Kehidupan Kiai Hasyim Asy’ari banyak tersita untuk pembinaan santri itu. Dalam kehidupan sehari-hari Kiai Hasyim Asy’ari dikenal sebagai orang yang sangat disiplin dengan waktu. Waktunya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sedikit pun yang berlalu tanpa aktivitas yang berarti. Biasanya ia mengajar sejam sebelum dan sejam sesudah salat lima waktu.

Ia terbiasa mengajar sampai larut malam. Pada bulan Ramadan, ia mengajar hadis Bukhari dan Muslim, yang diikuti santri dari berbagai pesantren untuk mendapat ijazahnya. Demikianlah kerja rutin Kiai Hasyim. Seluruh waktunya diabdikan untuk agama dan ilmu.

Pada 1926 bersama KH Abdul Wahab Hasbullah dan sejumlah ulama lainnya di Jawa Timur Kiai Hasyim memprakarsai lahirnya Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU). Sejak awal berdirinya, Kiai Hasyim dipercayakan memimpin organisasi itu sebagai Rais Akbar. Jabatan ini dipegangnya dalam beberapa periode kepengurusan.

Pada 1930 dalam Muktamar NU ke-3, Kiai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan pokok pikirannya mengenai organisasi NU. Pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal sebagai­ qanun asasi Jamiah NU (Undang-undang Dasar Jamiyah NU).

Intisari dari qanun asasi itu mencakup:

1) latar belakang berdirinya Jamiyah NU;

2) hakikat dan jati diri Jamiyah NU;

3) potensi umat yang diharapkan akan menjadi pendukung NU;

4) perlunya ulama bersatu (ijtima‘), saling mengenal (ta‘aruf), rukun bersatu (ittihad), dan saling mengasihi satu sama lain (ta’aluf) dalam satu wadah yang dinamakan NU; dan

5) keharusan warga NU bertaklid pada salah satu pendapat imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali.

Diceritakan oleh H Abu Bakar Atjeh dalam Sejarah Hidup KH Abdul Wahid Hasyim bahwa pada 1937 datang seorang amtenar tinggi penguasa Belanda. Ia menjumpai Kiai Hasyim untuk menyampaikan tanda kehormatan pemerintah Belanda kepadanya, berupa sebuah bintang emas. Dengan tegas Kiai Hasyim menolak pemberian itu karena khawatir keikhlasan hatinya beramal akan ternoda oleh hal yang bersifat materiil.

Pada masa revolusi fisik melawan penjajah Belanda, KH Hasyim dikenal karena ketegasannya terhadap penjajah dan seruan jihadnya yang menggelorakan para santri dan masyarakat Islam. Ia mengajak mereka untuk berjihad melawan penjajah dan menolak bekerjasama dengan penjajah.

Resolusi Jihad NU dipelopori oleh Hasyim Asy’ari, karena melihat kemungkinan perjuangan kemerdekaan masih belum berakhir, kendati proklamasi sudah dilantangkan pada 17 Agustus 1945. Hal ini disebabkan kedatangan Brigade 49 Divisi India Tentara Inggris pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby, yang merupakan buah dari rencana Agresi Militer II Belanda.

Pada 21 dan 22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad (perang suci) melawan penjajah. Beberapa tokoh yang dikumpulkan Hasyim Asy’ari di dua hari itu adalah Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syamsuri, dan para kiai lainnya. Mereka berkumpul di kantor PBNU, Bubutan, Surabaya. Pertemuan itu turut dihadiri panglima Hizbullah, Zainul Arifin.

Forum pun menyepakati untuk mengeluarkan Resolusi Jihad yang secara umum berisikan dua kategori dalam berjihad. Itu dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad NU 22 Oktober. Resolusi Jihad NU punya dampak besar di Jawa Timur. Pada hari-hari berikutnya, ia menjadi pendorong keterlibatan Laskar Hizbullah, kaum santri, dan jamaah NU untuk ikut serta dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Penetapan Hari Santri Nasional yang diperingati setiap 22 Oktober tak lepas dari sejarah Resolusi Jihad NU bertahun-tahun lampau. Berkat perjuangan kaum santri inilah, Presiden Joko Widodo, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 menetapkan Hari Santri jatuh pada 22 Oktober.

Sikap gigih Hasyim Asy’ari juga ditunjukkan di masa pendudukan Jepang di Indonesia. Pada 1942, tatkala penguasa Jepang menduduki Jombang, KH Hasyim dimasukkan ke dalam tahanan. Ia kemudian diasingkan ke Mojokerto untuk ditawan bersama-sama dengan serdadu sekutu. Berbulan-bulan ia dipenjara tanpa mengetahui kesalahan apa yang dituduhkan atas dirinya.

Hasyim pernah memangku jabatan Ketua Besar Masyumi ketika NU menjadi anggotanya. Dalam suatu kesempatan pidato di hadapan ulama seluruh Jawa, pada 30 Juli 1946 di Bandung, ia melontarkan kritik tajam terhadap kekejaman Belanda dan mengimbau agar tetap waspada terhadap politik bangsa Jepang.

Kedua bangsa itu dicap kafir dan umat Islam dilarang mempercayai orang kafir. Nama KH Hasyim Asy’ari diabadikan menjadi nama universitas (1969) di lingkungan Pondok Pesantren Tebuireng.

DAFTAR PUSTAKA

Asy’ari, Hasyim. Qanun Asasi Nahdah al-‘Ulama’. Kudus: Menara Kudus, 1971.
Mawardi, A. Chalid. Nahdlatul Ulama Mendayung di Tengah Gelombang. Jakarta: Yayasan Pendidikan Practica, t.t.
Panitia Buku Peringatan Almarhum KH A. Wahid Hasyim. Sejarah Hidup KH A. Wahid Hasyim. Jakarta: 1957.
Pengurus Besar NU. Hasil-Hasil Muktamar NU ke-28. t.p., PBNU, 1989.
Thahir, Anas. Kebangkitan Umat Islam dan Peran NU di Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu, 1980.
https://tirto.id/sejarah-resolusi-jihad-yang-dipelopori-hasyim-asyari-kakek-gus-dur-f6e7, diakses pada 28 Maret 2022.

Musdah Mulia

Data telah diperbarui oleh Tim Redaksi Ensiklopediaislam.id (Maret 2022)