Hamzah Bin Abdul Muthalib

Hamzah bin Abdul Muthalib (w. Uhud, Madinah, 3 H/625 M) adalah paman sekaligus saudara sesusuan Rasulullah SAW. Tanggal lahir dan kisah masa kecilnya tidak diketahui, diperkirakan sebaya dengan Rasulullah SAW. Paman dan keponakan ini adalah teman sepergaulan dan sepermainan sejak kecil. Hamzah adalah pahlawan pasukan muslim dalam Perang Badar (624) dan Perang Uhud (625).

Hamzah merupakan orang paling dekat dan mengenal secara mendalam kepribadian, kesempurnaan, dan kejujuran keponakannya. Antara Hamzah dan Muhammad SAW terjalin ikatan yang kuat dan kasih sayang yang mendalam, baik dalam hubungannya sebagai paman dan keponakan, maupun sebagai saudara sesusuan.

Hamzah adalah seorang laki-laki yang kuat, disegani, dan ditakuti di kalangan suku Quraisy. Ia mempunyai kegemaran berburu dan terkenal sangat mahir menggunakan panah. Ia juga dikenal sebagai pemuda yang kuat memegang keyakinan serta taat melaksanakan ajaran agama kaumnya. Biasanya, sekembali dari berburu ia terlebih dahulu pergi ke Ka’bah untuk melakukan tawaf sebelum pulang ke rumahnya.

Sebagaimana Bani Muthalib lainnya, Hamzah juga tidak langsung menerima dan memeluk ajaran baru yang dibawa oleh keponakannya walaupun dalam hati dan benaknya ia tidak dapat mengingkari kejujuran, kemuliaan, dan kebenaran keponakannya. Hamzah tidak pernah memperlihatkan perasaan tidak suka terhadap Rasulullah SAW, bahkan tetap melindunginya dari segala kemungkinan marabahaya yang mengancam keselamatan dirinya.

Semakin agung nama Muhammad SAW dan semakin besar kedengkian kaum musyrik Mekah, semakin ketat pula penjagaan Bani Muthalib, terutama Hamzah, terhadap keselamatan Rasulullah SAW.

Suatu saat, sepulang dari berburu, Hamzah bermaksud melakukan tawaf di Ka’bah. Dalam perjalanan menuju Ka’bah ia bertemu dengan seorang wanita yang memberitahukan kepadanya bahwa Abu Jahal, tokoh Quraisy yang sangat benci kepada Muhammad SAW, telah menghina dan memaki keponakannya.

Mendengar cerita wanita itu, hati Hamzah membara dan mukanya memerah seketika. Tanpa berdiam diri terlalu lama, ia mencabut busur panahnya dan bergegas menuju Ka’bah untuk mencari Abu Jahal. Sesampainya di Ka’bah ia melihat Abu Jahal sedang berbincang-bincang dengan beberapa tokoh kafir Quraisy. Tanpa mengucapkan salam seperti biasanya, ia langsung menghampiri Abu Jahal dan dengan emosional ia memukul kepala Abu Jahal dengan busur sampai mencucurkan darah.

Hamzah berkata kepada Abu Jahal, “Bukankah kamu telah menghina Muhammad, aku sungguh telah memeluk agamanya, cegahlah aku kalau kamu berani.” Abu Jahal hanya berdiam diri dan tidak berkutik sama sekali, sementara darah terus bercucuran di kepalanya.

Begitu besar cinta dan kasih sayang Hamzah terhadap keponakannya sehingga ia tidak pernah memberi ampun kepada siapa pun yang mencoba mengganggu dan menghinanya. Mendengar ucapan dan pengakuan Hamzah, hati Abu Jahal dan orang di sekelilingnya tersentak dan kecut seketika.

Abu Jahal dan tokoh kafir Quraisy lainnya betul-betul menyaksikan Hamzah berdiri tegar di barisan kaum muslimin. Mereka menyadari bahwa peperangan pasti terjadi. Mereka berhenti menghasut kaum Quraisy untuk menyakiti Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sejak saat itu mereka mulai mengarahkan perhatian pada persiapan perang.

Allah SWT telah memperkuat agama-Nya dengan masuknya Hamzah ke dalam Islam. Dia berdiri tegar dan siap membela Rasulullah SAW dan para sahabat yang lemah. Sejak memeluk Islam, Hamzah mengabdikan pikiran, tenaga, dan hidupnya semata-mata untuk syiar agama Allah SWT, sehingga Rasulullah SAW memberinya gelar yang agung, Asad Allah wa Asad Rasulih (Singa Allah dan Rasul-Nya).

Ketika pasukan kaum muslimin bertemu dengan pasukan kafir pada Perang Badar, Hamzah betul-betul memperlihatkan keberanian, kecakapan perang, dan kepahlawanan yang luar biasa. Pada perang berikutnya, Perang Uhud, perhatian kaum kafir tertuju pada Hamzah. Selain Rasulullah SAW, mereka bermaksud membunuh Hamzah.

Untuk itu, kaum kafir menugaskan Wahsyi, seorang budak kulit hitam yang sangat mahir memanah, untuk menghabisi Hamzah di medan laga. Hindun, istri Abu Sufyan, yang menaruh dendam kesumat karena ayahnya terbunuh oleh Hamzah dalam Perang Badar, menjanjikan kemerdekaan kepada Wahsyi apabila ia berhasil dalam tugasnya dan bersumpah akan memakan hati Hamzah mentah-mentah.

Dalam Perang Uhud tersebut, anak panah Wahsyi berhasil mengenai tubuh Hamzah. Ia mengembuskan napasnya yang terakhir sebagai syahid. Kepergiannya ditangisi orang yang paling mulia, Muhammad SAW, keponakannya dan rasul Allah SWT. Dia mengakhiri tugas suci menyebarkan dan membela Islam dalam usia kira-kira 57 tahun.

Daftar Pustaka

Haekal, Muhammad Husain. Hayah Muhammad. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1971.
Ibnu Asir. al-Kamil fi at-Tarikh. Beirut: Dar al-Ma’arif, 1977.
al-Kandahlawi, Muhammad Yusuf. Hayah as-Sahabah. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Khalid, Khalid Muhammad. Rijal Haul ar-Rasul. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Muththalabi, Abu Abdullah Muhammad. Sirah Muhammad. Cairo: Mathba’ah al-Maidani, 1963.

Suryan A Jamrah