Halal dan Haram

(Ar.: al-halal wa al-haram)

Secara leksikal, halal dan haram berasal dari bahasa Arab halla, yahillu, hillan wa halalan, yang berarti “melepas”, “memecahkan”, “membubarkan”, dan “membolehkan”; dan haruma, yahrumu, hirman wa haraman, yang berarti “menghalangi”, “tertutup”, “membatasi”, dan “melarang”. Istilah ini merujuk pada dua konsep hukum at-taklifi (perintah untuk melakukan atau meninggalkan) yang bertentangan secara diametral.

Menurut Yusuf al-Qardawi, seorang ulama fikih kontemporer dari Mesir, dalam kitabnya al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, halal adalah kebolehan (al-mubah) yang dilepas dari ikatan larangan dan diizinkan syari‘ (syariat) untuk dilakukan. Adapun haram adalah perkara yang dilarang dengan sangat oleh syari‘ untuk dilakukan.

Ada beberapa istilah lain yang dikenal untuk menyebut istilah halal, antara lain Thayyibat (yang baik), mubah (yang diperbolehkan), jawaz (boleh), dan hasan (baik). Adapun istilah yang semakna dengan haram, antara lain, adalah khaba’its (perbuatan buruk), mamnu‘ (yang dilarang), ma‘siyah (maksiat), dzanb (dosa), mahzur (yang dihindari), qabih (yang jelek), sayyi’ah (buruk), dan mazjur ‘anhu (yang dicegah).

Menurut al-Qardawi, postulat awal yang ditetapkan Islam dan menjadi salah satu kaidah usul fikih adalah bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT adalah halal. Tidak boleh ada penetapan haram kecuali memang ada nas sahih dan Sarih (pengertiannya jelas) yang menjelaskan demikian.

Ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 29, surah Luqman (31) ayat 20, dan surah al-Jatsiyah (45) ayat 13. Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa wilayah dan kuantitas sesuatu yang diharamkan dalam syariat Islam sangat sempit dan terbatas, karena telah dijelaskan secara terperinci.

Firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah telah memperinci segala sesuatu yang diharamkannya buat kalian” (QS.6:119).

Sebagai bagian dari norma hukum dalam Islam, penetapan halal dan haram tidak boleh dilakukan dengan arbiter. Semua ketentuan tentang halal dan haram dalam Islam harus bersumber dari dan berdasar pada ketentuan Allah SWT. Atas dasar itulah, Imam Syafi‘i (767–820) dalam kitab al-’Umm menukil perkataan Abi Yusuf, salah seorang kadi yang menganut Mazhab Hanafi, yang berbunyi:

“Saya saksikan bahwa para guru saya memakruhkan untuk berfatwa bahwa ini halal dan ini haram, kecuali memang telah termaktub secara jelas dalam kitab Allah tanpa perlu penafsiran.”

Di antara kejelasan halal dan haram terdapat suatu bagian abu-abu yang disebut syubhat (keraguan). Hal ini dijelaskan dalam hadis masyhur yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, dan at-Tirmizi dari Nu’man bin Basyir yang berbunyi: “Yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas.

Di antara keduanya terdapat sesuatu yang syubhat.” Syubhat oleh Imam al-Ghazali (1058– 1111) didefinisikan sebagai “sesuatu yang masalahnya tidak jelas karena di dalamnya terdapat dua macam keyakinan yang berlawanan yang timbul dari dua faktor yang menyebabkan adanya dua keyakinan tersebut.”

Sifat ambigu (bermakna ganda) dalam syubhat harus dihindari karena dikhawatirkan akan menjerumuskan orang ke dalam perbuatan haram. Menghindari syubhat, menurut al-Ghazali, terkait dengan sifat wara‘ (menjaga diri dari hal yang dilarang Allah SWT).

Ulama usul fikih membagi konsep haram dalam dua klasifikasi: menurut esensi dan menurut jenis. Haram menurut esensinya terbagi dalam dua bagian. Pertama, haram li dzatih, yaitu suatu keharaman yang muncul dari dirinya sendiri karena telah ditetapkan syari‘, misalnya keharaman makan daging babi, berzina, dan berjudi.

Keharaman contoh ini disebabkan esensi yang ada dalam diri perbuatan atau benda tersebut dan ditentukan syari‘ sendiri. Kedua, haram li gairih, yaitu sesuatu yang keharamannya disebabkan perbuatan lain atau alasan lain yang mengikutinya, misalnya puasa di hari raya Idul Fitri atau Idul Adha dan transaksi jual beli pada saat azan salat Jumat.

Menurut jenisnya, haram terbagi dalam haram al-mu‘ayyan dan haram al-mukhayyar. Haram al-mu‘ayyan adalah haram yang secara spesifik diatur syari‘ dan berdiri sendiri serta tidak terikat pada kondisi tertentu, seperti keharaman membunuh dan berzina.

Adapun haram al-mukhayyar adalah keharaman yang ditentukan syari‘ pada salah satu di antara dua hal saja; apabila yang satu dikerjakan, yang lain menjadi haram. Jumlah haram al-mukhayyar sangat terbatas, misalnya keharaman menikahi ibu seorang gadis karena telah menikahi anaknya dan keharaman menikahi dua orang wanita bersaudara secara bersamaan.

Penentuan haram menurut ulama Mazhab Hanafi harus didasarkan pada suatu dalil yang bersifat qath‘i (pasti), bukan hanya bersifat zanni (dugaan). Jika dasarnya zanni, menurut mereka, hukum yang lahir dari dalil tersebut tidak disebut haram, melainkan makruh tahrim. Misalnya, larangan bagi laki-laki memakai pakaian sutra, emas, atau perhiasan perak. Karena itu, menurut mereka, hukum at-taklifi tidak berjumlah lima seperti dikatakan jumhur ulama, melainkan tujuh, dengan penambahan makruh tahrim dan fardu.

Jumhur ulama tidak membedakan dalil qath‘i atau zanni dalam penetapan hukum haram. Menurut jumhur, jika dalil tersebut mengacu pada makna pelarangan dengan memakai ungkapan yang jelas kepada hukum tersebut, baik dalilnya qath‘i atau zanni, maka istinbat (penyimpulan hukum) yang lahir dari dalil tersebut adalah haram.

Ketentuan tentang halal dan haram dalam Islam tidak hanya terkait dengan kepentingan Allah SWT dan hamba, namun memiliki makna signifikan dalam kehidupan sosial manusia, misalnya pengharaman berzina dan membunuh yang jelas-jelas bersinggungan dengan kepentingan antar­ sesama manusia.

Karena itu, meskipun disebutkan bahwa wilayah dan kuantitas sesuatu yang diharamkan terbatas dan sempit, konsep haram memiliki keluwesan dalam mewujudkan tujuannya untuk menjaga kepentingan kemanusiaan. Ulama usul fikih membuat sebuah kaidah yang memperluas jangkauan haram sehingga tidak saja terbatas pada esensi perbuatan atau bentuknya, namun juga melingkupi sarana dan perbuatan yang akan mengantarkan orang kepada perbuatan haram tersebut (wasilah).

Kaidah yang dimaksud adalah: “Segala sesuatu yang dapat mengarahkan seseorang kepada sesuatu yang haram, adalah haram secara hukum.” Misalnya, Allah SWT mengharamkan zina, karena segala sesuatu yang dapat mengarahkan seseorang kepada terlaksananya perbuatan tersebut adalah haram, seperti pornografi, pornoaksi, pergaulan bebas, dan pakaian yang menarik syahwat. Pengharaman wasÓlah ini dimaksudkan sebagai tindakan preventif.

Islam membatasi perbuatan manusia dengan menggariskan ketetapan tentang perbuatan yang diharamkan. Namun demikian, sesuai dengan asas kemudahan yang diberikan Allah SWT dalam Islam (QS.2:173, 185; QS.4:28; dan QS.5:6), ada suatu kondisi alamiah yang membuat pelaksanaan aturan haram dapat tidak dijalankan.

Ulama usul fikih membuat rumusan kondisi ini dalam sebuah kaidah, “Keadaan darurat dapat membolehkan hal yang diharamkan,” misalnya mengonsumsi narkotika untuk alasan medis dan makan daging babi dalam keadaan terpaksa karena sangat lapar. Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan sisi kemanusiaan dengan memberikan alternatif solusi kesulitan yang dihadapi manusia.

Ini juga menunjukkan bahwa sesuatu yang halal dalam Islam mencakup dimensi yang sangat luas, bahkan –dengan kondisi tertentu– memasuki wilayah yang diharamkan.

Daftar Pustaka

Haroen, Nasrun, et al. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997.
al-Qardawi, Yusuf. al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, atau Halal dan Haram dalam Islam, terj. Muammal Hamidy. Surabaya: Bina Ilmu, t.t.

Ahmadie Thaha