Hadis

(Ar.: al-Hadits)

Secara kebahasaan, al-Hadits berarti “baru, tidak lama, ucapan, pembicaraan, atau cerita”. Menurut ahli hadis, hadis berarti “segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi SAW”; atau “segala berita yang bersumber dari Nabi SAW, baik ucapan, perbuatan, takrir (peneguhan kebenaran), maupun deskripsi sifatnya”. Menurut ahli usul fikih, hadis adalah “segala perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi SAW yang berkaitan dengan hukum”.

Istilah lain untuk sebutan hadis adalah sunah, kabar, dan atsar. Menurut sebagian ulama, sunah mencakup makna yang lebih luas karena diberi pengertian “segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, pengajaran, sifat, kelakuan, maupun perjalanan hidupnya”, baik itu terjadi sebelum masa kerasulan maupun sesudahnya.

Selain itu titik berat penekanan sunah adalah kebiasaan normatif Nabi SAW. Kabar yang berarti “berita atau warta”, selain kepada Nabi SAW, bisa juga dinisbahkan kepada sahabat dan tabiin. Dengan demikian kabar lebih umum dari hadis karena di dalamnya termasuk semua riwayat yang bukan dari Nabi SAW. Atsar yang juga berarti “nukilan” lebih sering digunakan untuk sebutan bagi perkataan sahabat Nabi SAW, meskipun kadang-kadang dinisbahkan kepada Nabi SAW.

Misalnya, doa yang dinukilkan dari Nabi SAW disebut doa ma’tsur. Dalam lingkup pengertian yang sudah dijelaskan, kata “tradisi” juga dipakai sebagai padanan kata hadis.

Perbedaan pengertian yang diberikan tentang hadis dan tentang pengertian kata yang semaksud dengannya (sunah, kabar, dan atsar) disebabkan adanya perbedaan sudut pandang ulama dalam melihat Nabi SAW dan peri kehidupannya.

Ulama hadis melihat Nabi SAW sebagai pribadi panutan umat manusia. Ulama usul fikih melihatnya sebagai pengatur undang-undang dan pencipta dasar untuk berijtihad. Fukaha (ahli fikih) melihatnya sebagai pribadi yang seluruh perbuatan dan perkataannya menunjuk pada hukum Islam (syarak).

Perbedaan sudut pandang tersebut mengakibat kan perbedaan pengertian pada hadis, baik yang memberi penekanan yang amat terbatas dan tertentu, maupun yang memahaminya dengan cakupan yang lebih luas, asal saja itu dinukilkan dari Nabi SAW.

Istilah “hadis” juga dikenal dalam teologi Islam. Dalam bidang ini kata “hadis” (jamak: hawadits) digunakan untuk pengertian “suatu wujud yang sebelumnya tidak ada atau sesuatu yang tidak azali” (lawannya: kadim). Misalnya, dikatakan bahwa eksistensi alam ini hadis. Maksudnya, alam ini pernah tidak ada, lalu menjadi ada karena diciptakan Tuhan.

Jenis Hadis Berdasarkan Sumbernya.

Dilihat dari segi sumbernya, hadis dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hadis qudsi dan hadis nabawi. Hadis qudsi yang juga disebut dengan istilah hadis Ilahi atau hadis Rabbani, adalah suatu hadis yang berisi firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi SAW, kemudian Nabi SAW menerangkannya dengan menggunakan susunan kata-katanya sendiri serta menyandarkannya kepada Allah SWT.

Dengan kata lain, hadis qudsi adalah hadis yang maknanya berasal dari Allah SWT, sedangkan lafalnya berasal dari Nabi SAW. Hadis qudsi berbeda dengan hadis nabawi, yaitu hadis yang lafal maupun maknanya berasal dari Nabi Muhammad SAW sendiri.

Hadis qudsi juga berbeda dengan Al-Qur’an. Perbedaannya antara lain:
(1) lafal dan makna Al-Qur’an berasal dari Allah SWT, sedangkan hadis qudsi hanya maknanya yang berasal dari Allah SWT;
(2) Al-Qur’an mengandung mukjizat;
(3) membaca Al-Qur’an termasuk perbuatan ibadah, sedangkan membaca hadis qudsi tidak termasuk ibadah;
(4) Al-Qur’an tidak boleh dibaca atau bahkan disentuh oleh orang yang berhadas, sedangkan hadis qudsi boleh dipegang dan dibaca juga oleh orang yang berhadas;
(5) periwayatan Al-Qur’an tidak boleh hanya dengan maknanya, sedangkan hadis qudsi boleh diriwayatkan hanya dengan maknanya;
(6) Al-Qur’an harus dibaca pada waktu salat, sedangkan hadis qudsi tidak harus dan bahkan tidak boleh dibaca pada waktu salat;
(7) semua ayat Al-Qur’an disampaikan dengan cara mutawatir, sedangkan tidak semua hadis qudsi diriwayatkan secara mutawatir, tetapi kata dan maknanya berasal dari Allah SWT.

Hadis qudsi bukan merupakan suatu kelompok tersendiri dalam buku hadis, tetapi merupakan beberapa himpunan yang disusun dari al-Kutub as-Sittah (Kitab Enam) dan lain-lain. Himpunan yang lebih luas adalah al-Idhafat ats-saniyyah fi al-Ahadits al-Qudsiyyah (Sandaran Kedua dalam Hadis Qudsi), karya yang dibuat Muhammad al-Madani (w. 881 H/1476 M) dan diterbitkan di Hyderabad pada 1905.

Kitab ini memuat 858 hadis yang dibagi atas tiga kelompok, yaitu:
(1) yang dimulai dengan kata qala (berkata),
(2) yang dimulai dengan kata yaqilu (dikatakan), dan
(3) yang disusun menurut abjad. Himpunan ini tidak menjelaskan isnad (kesinambungan antara dua rawi hadis) meskipun menyebutkan asal setiap hadis yang dimuatnya.

Sebuah himpunan lain yang memuat 101 hadis qudsi adalah Misykat al-Anwar (Pengatur Cahaya) karya Ibnu Arabi, diterbitkan di Aleppo (1927) bersama himpunan yang memuat 40 hadis yang disusun Mullah Ali al-Qari (w. 1605). Himpunan karya Ibnu Arabi tersebut diperinci ke dalam tiga bagian, dua bagian masing-masing berisi 40 hadis dan satu bagian berisi 21 hadis.

Himpunan ini juga memuat isnad di bagian pertama, terkadang di bagian kedua, dan biasanya juga di bagian ketiga. Adapun himpunan karya Ali al-Qari hanya menyebut sahabat yang dikenal mendengar hadis dari Nabi SAW. Sebuah himpunan hadis qudsi lainnya yang tidak diterbitkan adalah karya Muhammad bin Tajuddin al-Munawi (w. 1621).

Ada ulama yang menjelaskan bahwa hadis qudsi adalah segala hadis yang berpautan dengan zat dan sifat Allah SWT. Contoh hadis qudsi adalah sebagai berikut. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Allah SWT berfirman, ‘Aku adalah menurut persangkaan hamba-Ku dan Aku bersamanya di mana saja dia menye­ but (mengingat)-Ku’” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).

Dibandingkan dengan hadis qudsi, jumlah hadis nabawi jauh lebih banyak. Hadis nabawi juga memiliki kedudukan yang penting dalam Islam meskipun nilainya tidak setinggi hadis qudsi.

Periode Perkembangan Hadis.

Sebagai sumber kedua ajaran Islam, hadis telah melewati proses sejarah yang sangat panjang. Para ahli mengatakan bahwa sampai masa sekarang hadis telah melewati sedikitnya tujuh masa atau periode perkembangan.

Periode Pertama.

Periode pertama adalah masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya (Masa Kerasulan, 13 SH/609 M–11 H/633 M). Pada masa ini, Nabi SAW hidup di tengah masyarakat pada umumnya dan di tengah para sahabat pada khususnya, baik ketika tinggal di Mekah maupun setelah hijrah ke Madinah.

Seperti anggota masyarakat pada umumnya, Nabi SAW pun bergaul dan berbicara dengan orang lain dan para sahabatnya di rumah, di masjid, di pasar, di jalan, dan dalam keadaan musafir ataupun tidak. Para sahabatnya pun dengan bebas mengunjungi dan berbicara dengannya kapan dan di mana saja, kecuali pada waktu dan situasi tertentu seperti yang diajarkan oleh Al-Qur’an, misalnya larangan menemui Nabi SAW pada saat sedang beristirahat.

Kemudahan untuk melihat dan berjumpa dengan Nabi SAW membuat seluruh ucapan, tingkah laku serta perbuatan, dan sikapnya dengan mudah pula menjadi tumpuan perhatian dan pengamatan para sahabat. Segala segi sosok Nabi SAW mereka jadikan teladan kehidupan.

Pada sisi lain, Nabi SAW kalau berbicara perlahan, jelas, dan kalau perlu mengulangi ucapannya memiliki kemampuan menggunakan dialek mitra bicaranya atau orang yang dihadapinya. Ide dan ucapannya seringkali dirasakan oleh mitra dialognya sebagai sesuatu yang sangat memukau. Nabi SAW dengan sangat sempurna telah tampil sebagai idola di mata sahabatnya.

Di masa ini, Nabi SAW memerintahkan untuk menulis setiap wahyu yang turun. Di masa ini juga terdapat larangan menulis hadis. Tetapi dengan berbagai alasan, sebagian sahabat berinisiatif menulisnya di samping wahyu Al-Qur’an. Larangan tersebut dibuat bukan karena adanya kekhawatiran akan bercampur-baur dengan Al-Qur’an, tetapi sematama ta supaya semua potensi ditujukan dan diarahkan pada Al-Qur’an.

Walaupun demikian, perhatian penuh sahabat untuk tidak hanya mencatat Al-Qur’an tetap tumbuh dan terpelihara. Sahabat Anas bin Malik misalnya mengatakan, “Ketika kami berada di sisi Nabi, kami simak hadisnya, dan ketika kami bubar, kami mendiskusikan hadis tersebut hingga kami menghafalnya.”

Pada masa ini, dapat disebutkan beberapa cara sahabat dalam menerima hadis. Pertama, hadis diterima secara langsung dengan cara berikut.

(1) Melalui majelis pengajian Nabi SAW yang diadakan pada waktu tertentu.

(2) Adanya perilaku umat yang disaksikan Nabi SAW, yang menghendaki penjelasan langsung dari Nabi SAW. Contoh dalam hal ini tergambar dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad, yang sanad (kesinambungan antara dua rawi hadis)-nya berujung pada Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW memergoki seorang penjual makanan, yang karena tampaknya mencurigakan, lalu bertanya kepadanya tentang bagaimana cara ia menjual dagangannya itu. Lalu orang itu pun menjelaskan kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi SAW meminta orang tersebut memasukkan tangannya ke dalam barang dagangannya itu. Permintaan Nabi SAW dipenuhinya, tetapi kemudian terlihat oleh Nabi SAW bahwa tangannya basah setelah ia menarik barang dagangannya. Artinya, bagian atas barang dagangannya itu kering, sedangkan bagian bawahnya basah. Menyaksikan cara berjualan yang tidak jujur ini, Nabi SAW bersabda, “Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu.”

(3) Pertanyaan yang diajukan sahabat kepada Nabi SAW. Contoh dalam hal ini adalah hadis riwayat Bukhari dari Uqbah bin Haris. Seorang wanita menerangkan kepada Uqbah bahwa ia telah menyusui Uqbah dan istrinya ketika keduanya masih kecil. Setelah mendengar hal itu dan karena ia tinggal di Mekah, Uqbah segera berangkat ke Madinah untuk menemui dan menceritakan keterangan wanita tersebut kepada Nabi SAW. Uqbah menginginkan penjelasan tentang hukum mengenai seorang laki-laki, yang karena tidak tahu, menikahi seorang wanita sepersusuan. Ketika itu lahirlah hadis Nabi SAW dengan sabdanya: “Bagaimana lagi, padahal telah diterangkan orang.” Serta-merta setelah itu Uqbah menceraikan istrinya, kemudian istrinya pun menikah lagi dengan orang lain.

(4) Adanya peristiwa yang langsung dialami Nabi SAW dan sahabat yang menyaksikan reaksi Nabi SAW terhadap peristiwa tersebut. Contoh dalam hal ini adalah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim bahwa Khalid bin Walid makan dab (sejenis­ biawak) yang dihidangkan orang kepada Nabi SAW, padahal Nabi SAW sendiri enggan memakannya. Maka Khalid bertanya, “Apakah kita diharamkan memakan dab, ya Rasulullah?” Nabi SAW menjawab, “Tidak, hanya binatang ini tidak ada di negeri saya, karena itu saya tidak memakannya. Makanlah, sesungguhnya ia itu halal.”

Kedua, hadis diterima secara tidak langsung karena beberapa faktor.

(1) Kesibukan yang dialami sahabat. Hal ini tercermin, misalnya, pada kesepakatan antara Umar bin Khattab dan Ibnu Zaid, tetangganya, untuk saling bergantian hadir dalam majelis pengajian Nabi SAW apabila salah seorang dari mereka terpaksa berhalangan hadir.

(2) Tempat tinggal sahabat yang jauh. Dalam hal ini mereka menerima hadis dari tangan/orang kedua sesudah Nabi SAW.

(3) Perasaan malu untuk bertanya langsung kepada Nabi SAW. Contoh dalam hal ini adalah riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah binti Abu Bakar. Seorang wanita datang kepada Nabi SAW untuk bertanya tentang bagaimana semestinya melakukan mandi untuk membersihkan diri dari haid. Nabi SAW menjawab, “Ambillah sepotong kain perca (bekas potongan) yang sudah dikesturikan, lalu berwudulah dengannya.”

Jawaban Nabi SAW tersebut tidak segera dipahami oleh wanita itu, sehingga ia bertanya lagi, “Bagaimana saya berwudu dengannya?” Nabi SAW tetap dengan jawaban semula, yang tetap saja tidak dipahami oleh wanita tersebut. Nabi SAW pun meminta Aisyah, istrinya, menjelaskan hal tersebut secara terperinci dan Aisyah menerangkannya untuk wanita tersebut. Contoh ini bisa pula diterapkan pada faktor berikut ini.

(4) Nabi SAW sendiri yang menghendaki adanya perantara. Dengan demikian, sejak periode ini terdapat perbedaan tingkat cara penerimaan hadis di kalangan sahabat. Selain sebab yang telah disebutkan, masih ada faktor lain, yaitu tingkat kemampuan, termasuk tingkat kecerdasan di antara mereka. Hal ini telah ikut menentukan kualitas penerimaan dan juga penyampaian hadis.

Periode ini menunjukkan beberapa ciri tertentu, antara lain sebagai berikut.

(1) Keaktifan para sahabat dalam menerima hadis dan menyalinnya pada catatan mereka sendiri yang disebut sahifah, yaitu tulisan pada pelepah kurma, kulit kayu, dan tulang hewan. Tetapi karena pada masa ini terdapat larangan menulis hadis, maka para sahabat dalam menerima hadis berpegang pada kekuatan hafalan mereka. Selain itu, pada masa ini sangat sedikit sahabat Nabi SAW yang bisa menulis.

(2) Hadis diterima dan disampaikan dengan mengandalkan kekuatan hafalan.

Para sahabat yang banyak menerima hadis pada masa ini ada beberapa kelompok:

(1) mereka yang mula-mula masuk Islam yang dinamai as-sabiqun al-awwalun, misalnya para al-Khulafa’ ar-Rasyidin (empat khalifah pertama) dan Abdullah bin Mas‘ud;

(2) mereka yang selalu berada di samping Nabi SAW dan bersungguh-sungguh menghafal hadisnya, seperti Abu Hurairah, atau yang mencatatnya, seperti Abdullah bin Amr bin As;

(3) mereka yang berusia panjang, seperti Anas bin Malik dan Abdullah bin Abbas; dan

(4) mereka yang secara pribadi berhubungan erat dengan Nabi SAW, yaitu para istri Nabi SAW, seperti Aisyah dan Ummu Salamah.

Adanya larangan menulis hadis pada masa ini oleh para ulama dipahami sebagai sesuatu yang bersifat umum. Tetapi Nabi SAW tetap membolehkan adanya penulisan hadis. Kebolehan ini bersifat sangat khusus, yaitu hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak dikhawatirkan akan mencampur­ baurkan catatan wahyu Al-Qur’an dengan hadis.

Larangan penulisan hadis pun mencakup larangan pembukuan hadis secara resmi. Sesungguhnya, semuanya itu bisa dipahami karena pada masa itu wahyu Al-Qur’an dalam proses turun secara bertahap dan dengan bimbingan wahyu Nabi SAW membangun serta membentuk masyarakat. Karena itu, masa ini disebut ‘Asr al-Wahy wa Takwin (Masa Turunnya Wahyu dan Pembentukan Masyarakat).

Di antara sahabat yang menulis hadis adalah Abdullah bin Amr bin As (7 SH/615 M–65 H/685 M) dengan naskahnya yang berjudul as-Sahifah as-Sadiqah dan Jabir bin Abdullah al-Ansari (16 H/637 M–73 H/693 M) dengan naskahnya yang berjudul Sahifah Jabir.

Periode Kedua.

Periode ini disebut Zaman at-Tatsabbut wa al-Iqlal min ar-Riwayah (Periode Membatasi Hadis dan Menyedikitkan Riwayat), yaitu pada masa khalifah empat (Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib).

Persoalan yang sangat menonjol dan menyita banyak perhatian para sahabat pada masa ini –di samping usaha penyebarluasan Islam– antara lain adalah soal ketatanegaraan dan soal kepemimpinan umat. Tanpa mengabaikan usaha mendasar yang telah dilakukan oleh keempat khalifah tersebut, situasi politik dengan dampak tumbuhnya perpecahan di kalangan intern kepemimpinan umat telah melahirkan bermacam-macam fitnah dan berbagai intrik.

Hadis pun tidak luput dari dampak tersebut. Dapat dimengerti kalau Khalifah Abu Bakar dan kemudian penggantinya, Umar bin Khattab, menyerukan kepada umat untuk bersikap hati-hati dan cermat dalam meriwayatkan hadis serta meminta kepada para sahabat untuk memeriksa dengan teliti riwayat hadis yang mereka terima.

Ada riwayat bahwa Abu Bakar sendiri telah bersedia membakar sahifah miliknya. Tindakan Abu Bakar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) mungkin Abu Bakar merasa bahwa catatan hadisnya tersebut tidak persis dengan apa yang telah disampaikan oleh Nabi SAW dan (2) mungkin, menurut Abu Bakar sendiri, apa yang dibakarnya itu sudah sama dengan yang terdapat pada sahabat lainnya.

Terdapat riwayat lain bahwa di depan Abu Salamah, Abu Hurairah mengaku bahwa seandainya ia meriwayatkan hadis pada masa Umar menjadi khalifah, seperti yang ia lakukan pada masa itu (setelah Umar wafat), niscaya Umar akan mencambuknya. Riwayat lain mengatakan bahwa Umar menentang keras riwayat hadis atau mereka yang datang membawa kabar (hadis) hukum tanpa diperkuat oleh seorang saksi. Ia juga menekankan kepada para sahabat agar menyedikitkan riwayat.

Pada beberapa sumber disebutkan bahwa Abu Bakar dan Umar tidak menerima hadis jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seseorang yang lain. Sementara terdapat pula sumber lainnya yang menyatakan bahwa kedua sahabat itu menerima riwayat secara perseorangan (tanpa saksi). Sumber yang pertama menunjukkan betapa ketat kedua sahabat dan juga sahabat lainnya dalam menerima hadis.

Pada sumber kedua bisa dijelaskan bahwa saksi tidak merupakan syarat mutlak; saksi hanya merupakan jalan untuk menguatkan hati dalam menerima suatu riwayat. Dengan penjelasan serupa dapat dipahami adanya sumber yang menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak menerima hadis sebelum yang meriwayatkannya disumpah.

Periwayatan hadis pada masa kekhalifahan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib meneruskan ciri dari dua khalifah pendahulunya. Tetapi, perkembangan masyarakat pada waktu itu sudah berbeda dengan waktu sebelumnya.

Banyak sahabat yang sudah berpencar ke daerah baru. Perkembangan dan perubahan tersebut membawa pengaruh. Misalnya, pada zaman Umar larangan periwayatan hadis dapat dilakukan dengan tegas, sedangkan pada zaman Usman dan Ali larangan itu tidak setegas zaman sebelumnya. P

ara sahabat sebagai narasumber hadis tidak lagi hanya bermukim di Madinah sebagai akibat kebijakan yang diterapkan Umar yang melarang para sahabat pindah ke luar kota tersebut, tetapi mereka terpencar­pencar ke beberapa daerah baru. Akibatnya, penyebaran dan pengembangan riwayat secara lebih jauh mulai tak terhindarkan.

Periode Ketiga.

Disebut Zaman Intisyar ar-Riwayah ila al-Amtsar (Periode Penyebaran Riwayat ke Kota), berlangsung pada masa sahabat­ kecil dan tabiin besar. Penaklukan yang dilakukan tentara Islam atas wilayah Syam (Suriah) dan Irak (17 H/638 M), Mesir (20 H/641 M), Persia (21 H/642 M), Samarkand (56 H/676 M), dan Spanyol (93 H/712 M) mengharuskan para sahabat berpindah ke tempat baru tersebut untuk keperluan mengajarkan agama Islam bagi penduduk setempat.

Pada perkembangan selanjutnya, seorang sahabat yang mendengar suatu riwayat (hadis) yang belum pernah didengarnya merasa perlu berkunjung ke kota tempat tinggal sahabat yang disebutkan meriwayatkan hadis tersebut. Berita kedatangan seorang sahabat di suatu daerah mengundang perhatian tabiin untuk mendatanginya dan berkerumun di sekitar sahabat tersebut untuk mendengarkan pengajaran darinya, termasuk pengajaran tentang hadis.

Dalam riwayat Bukhari, Ahmad, at-Tabari, dan al-Baihaqi disebutkan bahwa Jabir pernah pergi ke Syam (Suriah) dengan maksud menanyakan sebuah hadis pada seorang sahabat yang tinggal di sana. Hal yang sama telah dilakukan pula oleh Abu Ayyub al-Ansari yang melawat ke Mesir untuk menemui Uqbah bin Amr untuk menanyakan sebuah hadis.

Dengan demikian periode ini ditandai oleh aktifnya generasi tabiin mencari dan menyerap hadis dari generasi sahabat yang masih hidup. Pada periode ini, terkenallah sahabat yang dijuluki sebagai “bendaharawan” hadis, yaitu mereka yang meriwayatkan lebih dari seribu hadis. Di antara mereka adalah:

(1) Abu Hurairah, meriwayatkan­ 5.374 hadis;
(2) Abdullah bin Umar bin Khattab, 2.630 hadis;
(3) Anas bin Malik, 2.266 hadis;
(4) Aisyah, 1.210 hadis;
(5) Abdullah bin Abbas, 1.660 hadis;
(6) Jabir bin Abdullah, 1.540 hadis; dan Abu Sa‘id al-Khudri, 1.170 hadis.

Pada masa ini terdapat pula sahabat yang menyedikitkan riwayat karena takut terjerumus dalam dusta atau takut karena berusia lanjut sehingga banyak hadis yang terlupakan. Az-Zubair dan Zaid bin Arqam adalah contoh dari sekian sahabat yang mengambil sikap seperti ini.

Adapun di antara tabiin yang tercatat sebagai tokoh hadis pada periode ini adalah Sa‘id dan Urwah di Madinah, Ikrimah dan Ata bin Abi Rabah di Mekah, asy-Sya‘bi dan Ibra­ him an-Nakha‘i di Kufah, Abu Qatadah dan Muhammad bin Sirin di Basrah, Umar bin Abdul Aziz dan Qabisah bin Zuaib di Syam (Suriah), Abu Khair Marsad al-Yazini dan Yazid bin Habib di Mesir, dan Tawus bin Kaisan al-Yamani serta Wahab bin Munabbih di Yaman. Kota dan wilayah yang disebutkan di atas juga sekaligus menjadi pusat hadis.

Perkembangan tersebut, di samping pengaruh politik serta fitnah dan intrik lain dari masa sebelumnya, memberi peluang bagi berkembangnya pemalsuan hadis. Pada periode ini corak Riwayat yang palsu semakin bertambah dan beragam. Menurut versi pengarang kitab Nahj al-Balagah (Metode Balaghah), Ibnu Abi al-Hadid (seorang ulama Syiah), pemalsuan hadis mula-mula dilakukan oleh golongan Syiah sendiri dalam bentuk pemujaan terhadap keutamaan pribadi. Tragisnya, perbuatan mereka ini ditandingi oleh golongan Suni. Karena di masa ini Irak merupakan pusat orang Syiah, kuat dugaan bahwa daerah tersebut menjadi asal mula munculnya hadis palsu.

Periode Keempat.

Disebut ‘Asr al-Kitabah wa at-Tadwin (Periode Penulisan dan Kodifikasi Resmi), berlangsung dari masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99 H/717 M–102 H/720 M) sampai akhir abad ke-2 H. Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dikenal jujur dan mempunyai minat pada ilmu pengetahuan mengambil langkah dan kebijakan terhadap hadis yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh semua khalifah pendahulunya.

Khalifah ini menangkap kenyataan bahwa jumlah penghafal hadis semakin berkurang karena meninggal. Tumbuh rasa khawatir dalam diri Khalifah, apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan, maka hadis berang­surangsur akan hilang.

Rasa khawatir itulah yang menyebabkan Khalifah memerintahkan gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm (w. 117 H/735 M), supaya membukukan hadis Nabi SAW yang terdapat pada penghafal wanita terkenal dan seorang ahli fikih murid Aisyah RA, Amrah binti Abdurrahman bin Sa’ad bin Zurarah bin Ades, serta hadis yang ada pada Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq, seorang pemuka tabiin dan salah seorang dari tujuh fukaha (ahli fikih) Madinah.

Umar bin Abdul Aziz juga mengirim surat kepada semua gubernur di wilayah kekuasaannya untuk mengambil langkah serupa pada penghafal dan ulama hadis di tempat mereka masing-masing. Kebijakan Khalifah Umar bin Abdul Aziz ini dicatat oleh sejarah sebagai kodifikasi hadis yang pertama secara resmi.

Istilah “resmi” di sini berarti bahwa kebijakan itu dilaksanakan atas perintah penguasa yang sah dan disebarluaskan ke seluruh jajaran kekuasaannya. Abu Bakar Muhammad bin Syihab az-Zuhri (w. 124 H/742 M) tercatat sebagai ulama besar pertama yang membukukan hadis. Selanjutnya, kodifikasi hadis dilakukan oleh ulama atas anjuran dan dukungan para khalifah, seperti Khalifah Abu Abbas as-Saffah dan khalifah keturunannya dari Dinasti Abbasiyah.

Periode pendewanan hadis yang disponsori khalifah Abbasiyah ini melahirkan ulama hadis, seperti Ibnu Juraij (w. 150 H/767 M) di Mekah, Abu Ishaq (w. 151 H/768 M) dan Imam Malik (w. 179 H/795 M) di Madinah, ar-Rabi bin Sabih (w. 160 H/777 M) dan Hammad bin Salamah (w. 176 H/793 di Basrah, Sufyan as-Sauri (w. 161 H/778 M) di Kufah, dan Abdurrahman al-Auza’i (w. 156 H/773 M) di Syam (Su­riah).

Oleh karena mereka hidup dalam generasi yang sama, yaitu pada abad ke-2 H, sukar untuk ditetapkan siapa di antara mereka yang lebih dahulu muncul. Namun jelas bahwa mereka itu sama-sama berguru kepada Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab az-Zuhri.

Di antara ciri-ciri hadis yang dibukukan pada abad ke-2 H ini adalah mereka tidak menghiraukan atau belum sempat menyeleksi apakah yang mereka bukukan itu hadis Nabi SAW semata­mata ataukah termasuk juga di dalamnya fatwa sahabat dan tabiin.

Bahkan lebih jauh dari itu, mereka belum membuat pengelompokan kandungan nas (teks) hadis menurut kelompoknya. Dengan demikian karya ulama abad ini masih bercampur aduk antara hadis Rasulullah SAW dan fatwa sahabat serta tabiin.

Dengan demikian, dalam kitab hadis karya ulama tersebut belum dipisahkan antara hadis yang marfu‘ (yang disandarkan kepada Nabi SAW), mauquf (yang disandarkan kepada sahabat), dan maqthu‘ (yang disandarkan kepada tabiin) serta antara hadis sahih, hasan, dan daif (lemah).

Dalam periode keempat ini sejumlah hadis berhasil dihimpun dalam buku yang dinamakan al-Jami‘, al-Musannaf, al-Musnad, dan lain-lain. Misalnya, al-Musnad karya Imam Syafi‘i, al-Musannaf karya al-Auza’i, dan al-Muwaththa’ karya Imam Malik disusun atas permintaan Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur (159 H/775 M).

Dalam periode ini pemalsuan hadis juga meluas. Yang agak menonjol adalah pemalsuan hadis dalam rangka kepentingan politik, di samping pemalsuan yang dilakukan golongan zindik dan tukang kisah untuk menarik minat para pendengarnya.

Ada kemungkinan, kisah itu banyak yang disandarkan pada hadis maudhu ‘ (lemah). Kenyataan tersebut mendorong lahirnya ulama di bidang hadis yang memusatkan perhatiannya dalam persoalan rawi, jarh (penolakan terhadap rawi), dan ta‘dil (penerimaan terhadap rawi). Walaupun demikian, kegiatan penulisan dan kodifikasi hadis tetap berjalan dan semakin berkembang.

Periode Kelima.

Disebut ‘Asr at-Tajrid wa at-Tashih wa at-Tanqih (Periode Pemurnian, Penyehatan, dan Penyempurnaan), dari awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-3 H. Periode ini menanggung dan mencarikan pemecahan terhadap permasalahan hadis yang muncul dan belum diselesaikan pada periode sebelumnya.

Pemisahan antara hadis Nabi SAW dan fatwa sahabat yang mulai terasa keperluannya dan adanya pemalsuan hadis yang telah menarik perhatian ulama pada masa sebelumnya pada periode ini semakin terasa mendesak untuk ditangani. Para ulama pun di masa ini menghimpun dan membukukan hadis Nabi SAW ke dalam buku hadis dan memisahkannya dari fatwa sahabat.

Kegiatan lainnya pada masa ini mencakup antara lain:
(1) perlawatan ke daerah yang semakin jauh guna menghimpun ha­dis dari para rawi semakin meningkat;
(2) membuat klasifikasi hadis pada yang marfu‘, yang mauquf, dan yang maqthu ‘; dan menghimpun kritik yang diarahkan baik kepada rawi (yang meriwayatkan) maupun matan (teks) hadis, dan memberikan jawaban atas kritik tersebut.

Sebagai tindak lanjut dari usaha pemisahan antara hadis dan fatwa sahabat, di masa ini lahirlah buku hadis dalam corak lebih baru yang dinamakan kitab Shahih, kitab Sunan, dan kitab Musnad. Kitab Shaih adalah kitab yang memuat hadis sahih saja. Kitab Sunan adalah kitab yang memuat seluruh hadis, kecuali hadis yang sangat daif dan munkar (sangat lemah). Adapun Musnad adalah kitab yang memuat semua hadis, baik sahih, hasan, maupun daif.

Pada masa ini bangkit imam hadis yang besar, Ishaq bin Rahawaih, yang merintis usaha memisahkan hadis yang sahih dari yang tidak. Usaha ini dilanjutkan dengan sangat baik oleh Imam Bukhari dan muridnya, Imam Muslim, dengan menyusun kitab hadisnya, yang masing-masing dinamai kitab shahih Imam hadis terkenal lainnya, seperti Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah, mulai pula menyusun kitab Sunan mereka.

Begitu pula Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) dengan kitab Musnadnya. Penyusun kitab Musnad lainnya antara lain adalah Musa al-Abbasi, Musaddad al-Basri, Asad bin Musa, dan Nu’aim bin Hamad al-Khaza’i.

Kitab itu oleh pengarangnya juga dimaksudkan sebagai jawaban atas usaha pemalsuan hadis dari pihak yang telah disebutkan dan dari kalangan mazhab fikih, aliran kalam/teologi, dan tasawuf yang fanatik dalam membela golongannya.

Periode Keenam.

Disebut ‘Aœr at-Tahdzib wa at-Tartib wa al-Istidrak wa al-Jam‘ (Periode Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan Penghimpunan), mulai abad ke-4 H sampai jatuhnya kota Baghdad (656 H/1258 M). Ulama hadis telah menetapkan bahwa para ahli yang hidup sebelum abad ke-4 H atau periode ini disebut mutakadimin (pendahulu), sedangkan sesudahnya disebut muta’akhkhirin.

Ulama hadis mutakadimin pada umumnya melakukan kegiatan mereka secara mandiri, dalam arti mengumpulkan hadis dan memeriksanya sendiri dengan menemui para penghafalnya yang tersebar di banyak pelosok negeri. Adapun kegiatan ulama hadis muta’akhkhirin pada umumnya bersandar pada karya ulama mutakadimin, dalam arti hadis yang mereka kumpulkan merupakan petikan atau nukilan dari kitab mutakadimin.

Pada periode ini tumbuh asumsi untuk merasa cukup dengan hadis yang telah dihimpun oleh ulama mutakadimin. Oleh karena itu dirasakan tidak perlu lagi melakukan lawatan ke berbagai negeri untuk mencari hadis. Semangat di masa ini adalah semangat memelihara apa yang telah dikerjakan oleh para pendahulu mereka.

Para ulama hadis dalam periode ini saling berlomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadis yang telah dibukukan, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal ratusan ribu hadis. Sejak periode ini timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadis, seperti al-hakim dan al-Hafiz.

Selain itu, ulama dalam periode keenam ini berusaha untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang masih berserakan, dan memudahkan jalan pengambilan hadis. Pengumpulan hadis untuk disusun dalam bagian yang lebih sistematis, misalnya menghimpun dan membukukan hadis tentang hukum, lebih digiatkan.

Pada masa ini pula bermunculan kitab syarh atau syarah, yaitu kitab yang mengomentari kitab hadis tertentu, yang lebih banyak dibuat dari masa sebelumnya. Kegiatan lain di masa ini adalah istikhraj, yaitu mengambil suatu hadis dari ulama hadis tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain dari sanad ulama hadis tersebut.

Kitab hadis yang dibuat dengan metode ini disebut mustakhrij. Selain itu, di masa ini lahir kitab hadis yang disebut kitab Athraf, yang menyebut hanya sebagian dari matan atau teks hadis, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad dari kitab hadis yang dikutip maupun dari kitab lain; kitab Mustadrak, yang menghimpun hadis yang memilikisyarat Bukhari dan Muslim atau salah satu dari keduanya saja; dan kitab Jami‘, yang menghimpun hadis yang telah termuat dalam kitab yang telah ada.

Ulama pada periode ini memberikan perhatian besar terhadap kegiatan memperbaiki susunan kitab hadis dan mengumpulkan hadis yang sudah terdapat dalam kitab sebelumnya ke dalam sebuah kitab hadis yang lebih besar.

Kitab yang masyhur hasil karya ulama abad ke-4 H meliputi antara lain:

(1) al-Mu‘jam al-Kabir, (2) al-Mu‘jam al-Ausath, (3) al-Mu‘jam as-shagir; ketiganya karya Imam Sulaiman bin Ahmad at-Tabarani (w. 360 H/971 M), (4) Sunan ad-Daruquthni karya Imam Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad Daruqutni (306 H/919 M–385 H/995 M), (5) Shahih Abi ‘Auwanah karya Abu Auwanah Ya’qub bin Ishaq Ibrahim al-Asfarayini (w. 354 H/965 M), dan (6) Shahih Ibn Khuzaimah karya Ibnu Khuzaimah Muhammad bin Ishaq (w. 316 H/928 M).

Adapun kitab hadis yang lahir pada abad ke-5 H hingga akhir periode keenam ini antara lain adalah:

(1) as-Sunan al-Kubra karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi (384 H/994 M–458 H/1066 M);

(2) Muntaqa al-Akhbar karya Majdudin al-Harrani (w. 652 H/1254 M);

(3) Nail al-Authar, sebagai syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya Muhammad bin Ali asy-Syaukani (1172 H/1758 M–1250 H/1834 M);

(4) at-Targib wa at-Tarhib karya Imam Zakiyu’ddin Abdu’l ’Adim al-Munziri (w. 656 H/1258 M); dan

(5) Dalil al-Falihan karya Muhammad bin Allan as-Siddiqi (w. 1057 H/1647 M), sebagai syarah Kitab Riyadh as-shalihin karya Imam Muhyiddin Abi Zakariya an-Nawawi (w. 676 H/1277 M).

Periode Ketujuh

Disebut ‘Ahd asy-Syarh wa al-Jam‘ wa at-Takhrij wa al-Bahts (Periode Pensyarahan, Perhimpunan, Pentakhrijan atau Pengeluaran Riwayat, dan Pembahasan), mulai jatuhnya kota Baghdad sampai sekarang.

Periode ketujuh masih meneruskan beberapa kegiatan dari periode sebelumnya, di samping kegiatan lainnya. Penghancuran Baghdad sebagai pusat pemerintahan Abbasiyah oleh pasukan Hulagu Khan (656 H/1258 M) telah menggeser kegiatan di bidang hadis ke Mesir dan India.

Banyak kitab hadis yang beredar di tengah masyarakat Islam berasal dari usaha penerbitan yang dilakukan oleh ulama India. Contoh dalam hal ini adalah penerbitan kitab ‘Ulum al-Hadits (Ilmu-ilmu Hadis) karya al-Hakim.

Cara penerimaan dan penyampaian hadis di masa ini juga mengalami pergeseran. Cara yang digunakan kadang-kadang berupa pemberian izin oleh seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan hadis dari guru tersebut dan kadang-kadang berupa pemberian catatan hadis dari seorang guru kepada seseorang yang ada di dekatnya atau yang jauh, baik catatan itu dibuat sendiri oleh guru tersebut atau menyuruh orang lain. Cara yang pertama dikenal dengan nama ijazah, sedangkan yang kedua dengan nama mukatabah (penulisan).

Pada periode ini tidak banyak lagi dapat dijumpai ulama hadis yang mampu menyampaikan periwayatan hadis beserta sanadnya secara hafalan yang sempurna. Kegiatan yang umum pada masa ini adalah mempelajari kitab hadis yang telah ada, mengembangkannya, dan membuat pembahasannya atau juga membuat ringkasan terhadap kitab hadis yang telah ada. Pada masa yang lebih kemudian dalam periode ini, kegiatan di bidang hadis juga berpindah ke Arab Saudi.

Kedudukan Hadis

Kedudukan hadis, terutama sebagai sumber hukum Islam, sejak zaman yang masih dini sudah dipersoalkan. Imam Syafi‘i, yang digelari Nasir al-Hadits (Pembela Hadis), pernah menyebutkan adanya pendapat yang menolak hadis.

Dengan kata lain, paling sedikit, ada pendapat yang menerima hadis yang hanya semakna dengan Al-Qur’an, yaitu hadis mutawatir. Selain hadis mutawatir, mereka enggan mengamalkannya atau bahkan menolak dengan dalih bahwa Al-Qur’an sudah cukup sebagai sumber yang bersifat universal dan umum.

Karena itu, pernyataan bahwa umat Islam sejak zaman dahulu sampai sekarang telah sepakat menerima hadis sebagai salah satu sumber hukum Islam sesudah Al-Qur’an, harus diberi catatan karena di kalangan ulama Islam juga ada yang tidak sependirian dengan kesepakatan tersebut.

Mereka yang tidak termasuk dalam kesepakatan tersebut, yang biasanya disebut ulama Ahlurra’yi (penganut pendapat), tidak menerima suatu hadis sebelum mengemukakan keterangan Al-Qur’an yang muhkam (tidak memerlukan lagi penjelasan apa-apa). Tentu saja pendirian serupa ini tidak dapat dinilai sebagai tidak berharga karena ia lahir dari ulama kalangan Islam sendiri, bukan di luarnya.

Ulama yang menempatkan kedudukan hadis pada tingkat kedua setelah Al-Qur’an mendasarkan pendiriannya atas dalil Al-Qur’an yang berarti: “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” (QS.59:7); “Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat” (QS.3:132); “…maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan dan ditimpa azab yang pedih”  (QS.24:63); dan “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang­siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS.33:36).

Selain itu, para ulama juga mengemukakan alasan berikut.

(1) Al-Qur’an diterima dengan jalan yang yakin atau maqÅØ‘ bih, sedangkan hadis dengan jalan zan (syak atau curiga) atau maznun bih.

(2) Hadis adakalanya menerangkan yang diijmalkan (diringkas) oleh Al-Qur’an, mensyarah Al-Qur’an, dan adakalanya mendatangkan apa yang belum didatangkan oleh Al-Qur’an.

(3) Hadis sendiri menunjuk pada fungsinya yang demikian itu. Dalam hal ini biasanya dikemukakan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmizi mengenai Mu‘az bin Jabal yang diutus oleh Nabi SAW ke Yaman. Nabi SAW bertanya kepada Mu‘az dengan apa ia memutuskan perkara. Oleh Mu‘az dijawab, “Dengan kitab Allah.”

Jika dalam Al-Qur’an hukum tersebut tidak ditemukan, maka oleh Mu‘az dijawab, “Dengan sunah Rasul.” Di samping itu, argumen logika digunakan pula oleh ulama untuk menetapkan kewajiban menaati hadis Nabi SAW serta mendudukkannya pada tingkat kedua sebagai sumber hukum sesudah Al-Qur’an.

Unsur Hadis.

Suatu hadis mengandung tiga unsur, yakni rawi (yang meriwayatkan), sanad (sandaran), dan matan (teks).

Rawi (jamaknya ruwat) adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan hadis dalam suatu kitab yang pernah didengarnya atau diterima dari seseorang (gurunya). Menyampaikan hadis disebut merawikan hadis.

Sering kali sebuah hadis diriwayatkan oleh bukan hanya satu rawi, akan tetapi oleh banyak rawi. Untuk itu biasanya para penyusun kitab hadis tidak menyebutkan seluruh nama rawi, melainkan hanya merumuskan dengan bilangan rawi pada akhir matan hadis dengan ungkapan akhrajahu atau rawahu… (diriwayatkan), misalnya:

(1) akhrajahu as-sab‘ah, maksudnya hadis tersebut diriwayatkan tujuh orang rawi, yaitu Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah;
(2) akhrajahu as-sittah, maksudnya hadis tersebut diriwayatkan enam rawi, yaitu tujuh orang di atas dikurangi Ahmad;
(3) akhrajahu al-khamsah, maksudnya hadis tersebut diriwayatkan lima orang rawi, yakni tujuh orang di atas dikurangi Bukhari dan Muslim;
(4) akhrajahu al-arba‘ah, maksudnya hadis tersebut diriwayatkan empat rawi, yaitu Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah;
(5) akhrajahu ats-tsalatsah, maksudnya hadis tersebut diriwayatkan tiga orang rawi, yakni Abu Dawud, at-Tirmizi, dan an-Nasa’i;
(6) akhrajahu asy-syaikhan, maksudnya hadis tersebut diriwayatkan kedua imam hadis, yakni Bukhari dan Muslim. Untuk ini dipakai juga istilah muttafaq ‘alaih;
(7) akhrajahu al-jama‘ah, maksudnya hadis tersebut diriwayatkan rawi yang banyak sekali jumlahnya; dan
(8) rawahu ashab as-Sunan, maksudnya hadis tersebut diriwayatkan pemilik kitab Sunan, yaitu Abu Dawud, at-Tirmizi, dan an-Nasa’i.

Sanad adalah jalan yang menyampaikan kita pada matan hadis atau rentetan para rawi yang menyampaikan matan hadis. Dalam hubungan ini dikenal istilah musnid, musnad, dan isnad. Musnid adalah orang yang menerangkan hadis dengan menyebutkan sanadnya.

Musnad adalah hadis yang seluruh sanadnya disebutkan sampai kepada Nabi SAW (pengertian ini berbeda dengan kitab Musnad). Adapun isnad adalah keterangan atau penjelasan mengenai sanad hadis atau keterangan mengenai jalan sandaran suatu hadis.

Selain itu juga terdapat istilah sigat al-isnad atau sigat at-tahammul, yaitu lafal yang terdapat dalam sanad yang digunakan oleh rawi yang menunjukkan tingkat penerimaan dan penyampaian hadis dari rawi tersebut. Ada delapan sigat isnad dan tingkatan yang disebutkan lebih dulu lebih tinggi dari yang disebut kemudian, yaitu:
(1) as-sima‘ min lafz asy-syaikh (mendengar dari lafal syekh), contohnya: sami‘tun(“aku mendengar”);
(2) qira’at ‘ala asy-syaikh (“membaca tulisan syekh”), contohnya: qara’tu ‘ala (“aku membaca”);
(3) al-ijazah, contohnya: ajaztu laka Sahih al-Bukhai (“aku bolehkan/ izinkan untukmu kitab Sahih al-Bukhari”);
(4) al-munawalah, contohnya: “hadis ini saya terima dari si Anu, maka riwayatkanlah atas namaku”; (5) al-mukatabah (tulisan), contohnya: “si Anu telah menceritakan padaku secara tertulis”;
(6) al-i‘lam (pemberitahuan), contohnya: “Saya telah meriwayatkan hadis ini dari si Anu, maka riwayatkanlah daripadaku”;
(7) al-wasiyyah, yakni guru mewasiatkan suatu hadis menjelang ia pergi jauh atau merasa ajalnya sudah dekat; dan
(8) al-wijadah, yakni rawi memperoleh hadis yang ditulis oleh seorang guru, tetapi tidak dengan jalan sima‘i atau ijazah, baik semasa atau tidak, baik berjumpa atau tidak. Penulisan sigat isnad itu dalam kitab hadis biasanya disingkat.

Adapun matan adalah materi atau teks hadis, berupa ucapan, perbuatan, dan takrir, yang terletak setelah sanad. Matan disebut juga sabda Nabi SAW yang dinyatakan setelah menyebutkan sanad.

Terdapat banyak riwayat yang melukiskan betapa besar minat para sahabat dalam menghadiri majelis (pengajian) Nabi SAW. Hal itu tercermin, misalnya, pada kesepakatan antara Umar bin Khattab dan Ibnu Zaid, tetangganya, untuk saling bergantian hadir dalam majelis Nabi SAW tersebut.

Namun, karena terkadang ada faktor yang menyebabkan di antara mereka tidak bisa hadir dan perbedaan tingkat kemampuan mereka dalam menangkap dan memahami ucapan, perbuatan, dan takrir Nabi SAW, para sahabat kemudian menggunakan beragam cara dalam menyampaikan hadis. Karena itu, terdapat beberapa matan hadis, yaitu:

(1) lafal atau setiap katanya persis sama dengan lafal pada matan hadis yang lain;
(2) antara satu matan hadis dan lainnya hanya terdapat persamaan makna, isi atau tema, sedangkan lafalnya berbeda; dan
(3) antara satu matan hadis dan lainnya saling bertentangan (berbeda), baik lafal maupun maknanya. Keadaan inilah, antara lain, yang menjadi objek penelitian para ahli guna memperoleh hadis yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan untuk dinisbahkan kepada Nabi SAW.

Pembagian dan Macam Hadis.

Ulama hadis meninjau hadis dari dua segi, yaitu segi jumlah rawi dan segi nilai sanad. Dari segi jumlah rawi, ada dua bentuk pembagian hadis. Bentuk pertama terbagi atas hadis mutawatir dan ahad. Bentuk kedua terbagi atas mutawatir, masyhur, dan ahad. Pembagian yang lebih praktis adalah bentuk pertama karena pada dasarnya hadis masyhur tercakup dalam hadis ahad, yang terbagi atas masyhur, ‘aziz, dan garib.

Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang pada setiap tingkat sanadnya, yang menurut tradisi mustahil mereka bersepakat untuk berdusta dan karena itu diyakini kebenarannya.

Hadis mutawatir betul-betul bersumber dari Nabi SAW. Hadis mutawatir sama dengan Al-Qur’an dalam hal keautentikannya karena keduanya qath‘I al-wurud (sesuatu yang pasti datangnya). Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir wajib diamalkan dalam seluruh aspek, termasuk dalam bidang akidah.

Hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi (mencapai) syarat mutawatir, sedangkan hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan tiga rawi atau lebih, tetapi belum mencapai derajat mutawatir. Hadis ‘aziz adalah hadis yang diriwayatkan dua orang rawi pada satu thabaqatnya, sekalipun setelah itu diriwayatkan pula oleh sejumlah rawi. Hadis garib adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat hanya satu orang rawi, di mana pun sanad itu terjadi.

Para ulama bersepakat bahwa kedudukan hadis mutawatir adalah sumber hukum kedua sesudah Al-Qur’an. Hadis ahad, menurut Abu Hanifah (Imam Hanafi), kalau rawinya orang adil, dapat dijadikan hujah hanya pada bidang amaliah, bukan pada bidang akidah dan ilmiah. Menurut Imam Malik, hadis ahad dapat digunakan untuk menetapkan hukum yang tidak dijumpai dalam Al-Qur’an dan harus didahulukan dari kias zanni (tidak pasti).

Menurut Imam Syafi‘i, hadis ahad berfungsi sebagai hujah apabila rawinya memiliki empat syarat, yakni berakal, dabit (memiliki hafalan yang sempurna serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendaki), mendengar langsung dari Nabi SAW, dan tidak menyalahi pendapat ulama hadis.

Dari segi nilai sanad, hadis ada tiga macam, yaitu sahih, hasan, dan daif. Hadis sahih adalah hadis yang memenuhi persyaratan: (1) sanadnya bersambung; (2) diriwayatkan oleh rawi yang adil, memiliki sifat istiqamah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah (kehormatan diri)-nya, dan dabit; dan matannya tidak syadzdz  (tidak mengandung kejanggalan) serta tidak ber‘illat (sebab yang tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadis). Hadis yang memiliki syarat tersebut juga disebut Sahih li dzatih. Apabila kurang salah satu syarat tersebut, namun bisa ditutupi dengan sesuatu cara lain, ia dinamakan Shahih li gairih.

Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil, tetapi tidak sempurna dabitnya, serta matannya tidak syadzdz dan ber‘illat. Hadis hasan dengan syarat demikian juga disebut hasan li dzatih. Apabila dalam sanadnya terdapat rawi yang tidak dikenal/ diketahui, namun ia bukan orang yang terlalu banyak membuat kesalahan, maka ia dinamakan hasan li gairih.

Adapun hadis daif (lemah) adalah hadis yang tidak memenuhi syarat sahih dan hasan. Pembagian hadis daif tidak sesederhana pembagian hadis sahih atau hadis hasan karena kemungkinan kekurangan persyaratan sahih dan hasan itu sangat bervariasi.

Karena itu, Ibnu Hibban (ahli hadis; w. 342 H/954 M) menyebutkan bahwa hadis daif ada 49 macam. Meskipun ini bukanlah pendapat mayoritas ulama hadis, hal tersebut dapat menggambarkan banyaknya macam hadis daif. Kebanyakan kepustakaan menyebutkan jumlahnya secara terbatas.

Dari segi keterputusan sanad, hadis daif ada beberapa macam, yaitu:
(1) hadis mursal, yaitu hadis yang diriwayatkan tabiin langsung dari Nabi SAW;
(2) hadis munqathi‘, yaitu hadis yang salah seorang rawinya gugur tidak pada sahabat, tetapi bisa terjadi pada rawi yang di tengah atau di akhir;
(3) hadis al-mu‘dal, yaitu hadis yang dua orang rawinya atau lebih hilang secara berurutan dalam rangkaian sanad;
(4) hadis mudallas, yaitu hadis yang rawinya meriwayatkan hadis tersebut dari orang yang sezaman dengannya, tetapi tidak menerimanya secara langsung dari orang tersebut; dan
(5) hadis mu‘allal, yaitu hadis yang kelihatannya selamat, namun sebenarnya memiliki cacat yang tersembunyi, baik pada sanad maupun matannya.

Dari segi lain, hadis daif terbagi atas enam macam:

(1) hadis mudtarib, yaitu hadis yang kemampuan­ ingatan dan pemahaman periwayatnya kurang;
(2) hadis maqlub, yaitu hadis yang terjadi pembalikan di dalamnya, baik pada sanad, nama periwayat, maupun matannya;
(3) hadis muda ‘af, yaitu hadis yang diperselisihkan oleh ulama mengenai lemah atau kuatnya sanad atau matannya;
(4) hadis syadzdz, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqqah, tetapi riwayatnya ini menyalahi riwayat orang banyak yang tsiqqah pula;
(5) hadis munkar, yaitu hadis yang diriwayat kan oleh seorang yang lemah dan berbeda pula riwayatnya dengan riwayat yang siqah; dan
(6) hadis matruk, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang dituduh suka berdusta, nyata kefasikannya, pelupa atau ragu dalam periwayatan.

Di samping hadis yang tergolong secara jelas ke dalam berbagai kelompok di atas, ada pula hadis yang tidak jelas kelompoknya dan mempunyai kemungkinan termasuk ke salah satu dari kelompok hadis sahih, hadis hasan, dan hadis daif. Hadis yang termasuk ke dalam kelompok terakhir itu adalah sebagai berikut:

(1) Hadis marfu‘, yaitu hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW secara khusus, baik sanadnya bersambung maupun tidak.
(2) Hadis muttaœil, yaitu hadis yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi SAW atau sahabat. (3) Hadis musnad, yaitu hadis yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. Ada perbedaan antara hadis musnad dan hadis muttaœil. Dalam hadis muttaœil, ada kemungkinan persambungan sanadnya sampai kepada Nabi SAW yang disebut marfu‘ atau kepada sahabat saja yang disebut mauquf. Adapun dalam hadis musnad, persambungan sanadnya harus sampai kepada Nabi SAW. Dengan demikian, hadis musnad dengan sendirinya adalah muttaœil dan marfu‘.
(4) Hadis mu‘an‘an, yaitu hadis yang di dalam sanadnya terdapat kata ‘an (dari), seperti ‘an fulan (dari si anu).
(5) Hadis mu’annan, yaitu hadis yang di dalam sanadnya terdapat kata anna (bahwa), seperti anna fulanan (bahwa si anu).
(6) Hadis mu‘allaq, yaitu hadis yang satu atau lebih (secara berurutan) periwayatnya dibuang pada permulaan sanadnya dan hadis tersebut disandarkan kepada orang selanjutnya.
(7) Hadis fard, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat saja meskipun banyak jalan periwayatan melaluinya.
(8) Hadis garib, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat secara sendirian di mana saja ia berada. Hadis garib berbeda dari hadis fard. Kesendirian dalam hadis garib bisa saja berada di tengah sanad, sedangkan kesendirian dalam hadis fard harus di pangkal sanad, yaitu pada generasi sahabat sebagai penerima pertama hadis Nabi SAW.

Selain itu ada pula yang disebut hadis maudhu ‘. Hadis maudhu‘ (hadis palsu) adalah sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi SAW, tetapi sesungguhnya itu bukan merupakan perkataan, perbuatan, atau takrir Nabi SAW. Meskipun ada yang berpendapat bahwa hadis maudhu‘ sudah ada sejak masa Nabi SAW, namun jumhur (mayoritas) ahli hadis berpendapat bahwa hadis maudhu‘ mulai terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, baik karena ketegasan dan kehati-hatian periwayatan hadis di masa kekhalifahan sebelumnya maupun situasi politik di masa Ali, di mana perbenturan berbagai kepentingan semakin meningkat.

Di antara ciri-ciri hadis maudhu‘ adalah: (1) matan hadis tidak sesuai dengan fasahah (kefasihan bahasa, kebaikan, kelayakan, dan kesopanan) bahasa Nabi SAW; (2) bertentangan dengan Al-Qur’an, akal, dan kenyataan; (3) rawinya dikenal sebagai pendusta; (4) pengakuan sendiri dari pembuat hadis palsu tersebut; (5) ada petunjuk bahwa di antara rawinya terdapat pendusta; dan rawi menyangkal bahwa ia pernah memberikan riwayat kepada orang yang membuat hadis palsu tersebut.

Dilihat dari segi rawi, peringkat pertama adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Peringkat kedua adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari saja. Peringkat ketiga adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim saja.

Peringkat keempat adalah hadis yang diriwayatkan oleh ulama lain yang memiliki persyaratan yang sama dengan persyaratan Bukhari dan Muslim. Peringkat kelima adalah yang diriwayatkan ulama lain yang sama persyaratannya dengan persyaratan Bukhari saja. Adapun peringkat keenam adalah hadis yang diriwayatkan oleh ulama lain yang persyaratannya sama dengan persyaratan Muslim saja.

Peringkat dan Macam Kitab Hadis.

Apabila dikatakan bahwa kitab hadis itu berada pada peringkat pertama, tidak berarti setiap atau semua hadis yang dikandung oleh kitab itu otomatis menduduki peringkat pertama pula. Karena, bisa saja sebuah kitab hadis dikatakan berada pada peringkat kedua, tetapi nilai hadis yang dikandungnya justru di peringkat pertama.

Karena itu, pembicaraan mengenai peringkat suatu buku hadis, yang berarti melakukan penilaian menyeluruh terhadapnya, bukan hanya menilai satu per satu hadis yang dikandungnya, tetapi menilai seluruh aspek yang bisa dan patut dinilai dari kitab tersebut. Misalnya, nilai hadis, sistematika, syarat yang diterapkan, dan ketelitian dari kitab tersebut.

Oleh karenanya, wajar apabila dalam hal ini masih dijumpai perbedaan ulama dalam menetapkan peringkat kitab hadis. Walaupun demikian, ulama umumnya dapat menerima enam kitab hadis sebagai kitab standar. Keenam kitab tersebut dinamakan al-Kutub as-Sittah (Enam Kitab) atau al-Kutub as-sihhah.

Secara berturut-turut peringkat al-Kutub as-Sittah adalah:

(1) Sahih al-Bukhari,
(2) Sahih Muslim,
(3) Sunan Abu Dawud,
(4) Sunan at-Tirmidzi,
(5) Sunan an-Nasa’i, dan
(6) Sunan Ibn Majah.

Sebagian ulama memasukkan al-Muwaththa’ karya Imam Malik ke dalam al-Kutub as-Sittah menggantikan Sunan Ibn Majah. Sebagian lainnya memasukkan kitab Sunan ad-Darimi. Bahkan ada pula yang menempatkan kitab al-Muntaqa sebagai kitab keenam dari al-Kutub as-Sittah.

Ulama wilayah Magribi menilai peringkat kitab shahih Muslim lebih tinggi dari kitab shahih al-Bukhari, karena meskipun persyaratan yang digunakan Muslim sedikit lebih longgar, namun kitab ini dipandang telah memenuhi syarat minimal dibandingkan dengan persyaratan yang digunakan Bukhari yang lebih ketat namun mereka nilai berlebih-lebihan.

Syarat yang dimaksud, misalnya, Bukhari menetapkan syarat liqa’ (bertemu antara rawi yang menyam paikan dan rawi yang menerima riwayat), sedangkan bagi Muslim syarat itu cukup mu‘asarah (satu masa hidupnya).

Keempat kitab Sunan dalam al-Kutub as-Sittah disebut juga as-Sunan al-Arba‘ah (Empat Sunan) atau al-Kutub al-Arba‘ah (Empat Kitab). Penyisihan al-Kutub as-Sittah, atau juga biasa disebut al-A’immah as-Sittah (Para Imam Enam), oleh para ulama, lahir dari keinginan untuk menjadikan hadis sebagai dasar dan sebagai usaha mencari rujukan yang representatif sesudah Al-Qur’an.

Selain itu, keenam kitab hadis tersebut dipilih karena cakupan informasinya dinilai cukup. Dengan pertimbangan tersebut, kitab al-Muwaththa’ tidak dimasukkan ke dalam al-Kutub as-Sittah. Sekalipun al-Muwaththa’ memuat hadis sahih, tetapi kitab ini tidak memberi informasi tambahan pada hadis yang termuat dalam al-Kutub as-Sittah.

Ini berbeda dengan Sunan Ibn Majah, yang sekalipun hadis di dalamnya tidak seluruhnya sahih, tetapi memberikan informasi tambahan.

Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa dalam al-Kutub as-Sittah sudah termuat informasi secara umum mengenai hadis. Dengan al-Kutub as-Sittah lahir kemudahan dalam mencari sumber primer tentang hadis dan seseorang tidak harus membaca atau melihat semua kitab hadis.

Kitab shahih al-Bukhari disebut juga al-Jami‘ as-sahih, memuat 7.275 hadis, 4.000 di antaranya tidak diulang, merupakan hasil saringan dari 600.000 hadis. Di dalamnya terdapat fatwa sahabat dan tabiin yang dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap hadis yang dikemukakan.

Kitab ini menerapkan prinsip ilmu jarh dan ta‘dil. Salah satu kritik yang diarahkan pada kitab Bukhari tersebut adalah dimuatnya hadis mu‘allaq atau tergantung (hadis yang terputus sanadnya).

Menjelaskan kritik tersebut, ulama lainnya menerangkan bahwa Bukhari dalam hal itu menggunakan lafal mabni li al-majhul (kalimat pasif). Karenanya, bisa diduga bahwa Bukhari sesungguhnya menyadari bahwa dirinya memuat hadis daif, tetapi sekadar sebagai pendukung.

Kitab Sahih Muslim disebut juga al-Jami‘ as-Sahih Muslim, yang menurut sebagian ulama memuat 3.030 hadis, dengan pengulangan dan penggunaan berbagai macam sanad sebanyak 10.000 hadis, sedangkan menurut ulama lainnya, memuat 4.000 hadis, dengan pengulangan sejumlah 7.275 hadis.

Hadis dalam kitab ini merupakan hasil penyaringan dari 300.000 hadis. Kitab ini tidak memuat fatwa sahabat dan tabiin, menerapkan prinsip ilmu jarh dan ta‘dil, dan ditulis menurut sistematika kitab fikih. Kitab Muslim ini pun tidak luput dari kritik, yang meliputi segi sanad dan matan.

Jumhur ulama menerima pendapat bahwa Sahih al-Bukhari lebih tinggi nilainya dari sahih Muslim karena syarat yang ditetapkan Bukhari lebih ketat daripada syarat Muslim.

Kelebihan Muslim dari Bukhari terletak pada sistem atika kitabnya dan pada redaksi hadisnya, yang lebih banyak diriwayatkan secara bi al-lafz (dengan lafal sama dengan yang disampaikan Nabi SAW), sedangkan redaksi Bukhari lebih banyak secara bi al-ma‘na (menyampaikan isi atau makna dari yang disabdakan Nabi SAW).

Dengan demikian, apabila terjadi perbedaan redaksi antara hadis Bukhari dan Muslim, umumnya ulama lebih condong memilih redaksi yang digunakan oleh Muslim.

Sunan Abi Dawud memuat 4.800 hadis dari penyaringan sekitar 500.000 hadis yang dihafal Abu Dawud atau 5.274 hadis dengan pengulangannya. Kitab ini memuat hadis yang sahih, menyerupai sahih, dan mendekati sahih.

Karena memuat penjelasan ketidaksahihan hadis, yang menurut pengarangnya tidak sahih, kitab ini dinamakan kitab Sunan. Meskipun demikian, salah satu kritik yang ditujukan pada kitab ini adalah masih terdapatnya hadis daif di dalamnya yang tidak dijelaskan kedaifannya. Ciri khas kitab karya Abu Dawud ini adalah kaya dengan hadis tentang hukum.

Sunan at-Tirmidzi atau Jami‘ at-Tirmidzi, seperti kitab lainnya yang diberi nama Jami‘, mencakup pokok pembahasan yang populer, antara lain Bab al-‘Aqidah (Keimanan), al-Ahkam (Hukum), ar-Razzaq (Pemberi Rezeki), Adab at-Ta‘am wa asy-Syurb (Sopan Santun Makan/Minum), at-Tafsir wa at-Tarikh wa as-Sair (Tafsir, Sejarah, dan Biografi), as-Safar wa al-Qiyam wa al-Qu‘ud (Bepergian, Berdiri, dan Duduk), al-Fitan (Malapetaka), dan al-Manaqib wa al-Masalib (Metode-Metode atau Jalan).

Kitab ini disebut juga kitab Sunan karena ia menjelaskan tentang rawi dan nilai hadisnya. Kitab ini menggunakan istilah yang juga menjadi ciri khas kitab ini yang sebelumnya tidak dikenal, bahkan sampai sekarang, misalnya, garib, hasan, dan hasan sahih. Kitab ini memuat penjelasan yang terperinci mengenai ‘ulum al-hadits (ilmu-ilmu hadis), yang menjadi keistimewaan lainnya dari karya Imam at-Tirmizi ini.

Dengan segala kelebihannya ini maka banyak ulama yang membuat syarah (keterangan) terhadap kitab ini. Namun banyak juga ulama yang meragukan hasil pentashihan dan pentahsinan (upaya penyeleksian hadis) dari at-Tirmizi karena dipandang kurang ketat dalam menentukan kualitas hadis.

Sunan an-Nasa’i dikenal juga dengan nama Sunan al-Mujtaba atau Sunan as-sugra, merupakan hasil seleksi, baik kuantitas maupun kualitas, dari hadis yang terdapat dalam kitab as-Sunan al-Kubra karya Imam an-Nasa’i sebelumnya, yang masih bercampur di dalamnya hadis sahih, hasan, dan daif. Kitab ini memuat 5.761 hadis.

Salah satu keistimewaannya adalah kitab ini ketat dalam pentashihan. Kritik terhadap kitab ini adalah beberapa hadis di dalamnya sering kali diulangi. Misalnya, hadis tentang niat terulang sampai 16 kali.

Sunan Ibn Majah adalah kitab hadis yang di dalamnya terdapat bukan saja hadis sahih dan hasan, tetapi juga hadis daif dan bahkan hadis munkar (hadis yang sangat lemah). Itulah yang menjadi sasaran kritik dan yang mengeluarkannya dari al-Kutub as-Sittah, yang kemudian digantikan dengan kitab al-Muwaththa’.

Tetapi, karena kitab ini memuat dan memberi informasi mengenai hadis yang tidak terdapat dalam lima kitab lainnya dalam al-Kutub as-Sittah, jumhur ulama menetapkannya dalam kelompok al-Kutub as-Sittah dan mengeluarkan al-Muwaththa’ karya Imam Malik, yang dinilai sebagai bukan kitab hadis dan juga karena hadis yang dimuatnya sudah dicakup oleh keenam kitab lainnya.

Walaupun demikian, dari segi kesahihan hadis, ada ulama yang menempatkan al-Muwaththa’ pada urutan sesudah Sahih Al-Bukhari dan Sahih Muslim, bahkan pada urutan di atas kedua kitab tersebut. Sehingga, dari segi ini, kitab Bukhari, Muslim, dan Malik tersebut merupakan kitab hadis peringkat pertama, sedangkan empat kitab Sunan lainnya pada peringkat kedua.

Selain itu ada beberapa macam lagi kitab hadis. Dari segi kronologi penyusunannya adalah (1) al-Musannaf, (2) al-Musnad, (3) Sahih, (4) al-Mu‘jam, (5) al-Mustadrak, dan (6) al-Mustakhraj.

Al-Musannaf adalah kitab hadis yang ditulis jauh sebelum Sunan al-Bukhari dan hadis di dalamnya disusun berdasarkan bab tertentu. Di Mekah, Madinah, Kufah, dan Khurasan bermunculan kitab hadis yang tergolong al-Musannaf. Kitab al-Muwaththa’ tergolong ke dalam kitab yang bercorak al-Musannaf.

Al-Musnad adalah kitab hadis yang muncul setelah al-Musannaf. Kitab ini disusun secara bagian per bagian berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkannya. Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dikelompokkan menjadi satu dan demikian pula untuk sahabat yang lain.

Kitab ini sudah tidak memuat fatwa sahabat dan tabiin, walaupun metode isnad (misalnya, menjelaskan tentang hadis sahih, hasan, dan daif ) belum tampak diterapkan di dalamnya. Musnad Abu Dawud Sulaiman at-Tayalisi (133 H/751 M–203 H/819 M) disebut sebagai kitab al-Musnad yang pertama ditulis. Di masa ini pula Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) menulis Musnadnya, yang oleh banyak ahli dipandang yang paling komprehensif.

Kitab sahih adalah kitab hadis yang menurut pengarangnya hanya memuat hadis yang nilainya sahih. Contohnya, kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.

Al-Mu‘jam (semacam indeks) adalah kitab hadis yang memuat hadis menurut nama sahabat, guru, kabilah atau tempat hadis itu diperoleh, yang disusun secara mu‘jam (alfabetis). Contohnya yang termasyhur adalah al-Kabir, al-Mutawassith, dan as-Sagir, semuanya karya at-Tabrani.

Al-Mustadrak adalah kitab hadis yang memuat hadis yang tidak diriwayatkan oleh kitab lainnya, padahal hadis itu sahih menurut pengarang al-Mustadrak. Contohnya, al-Mustadrak karya al-Hakim an-Naisaburi.

Al-Mustakhraj adalah kitab hadis yang memuat hadis yang diambil dari suatu kitab tertentu dengan tidak mengikuti cara dan sanad dari kitab tersebut. Penulis al-Mustakhraj menyusun dan membuat sanadnya sendiri, yang pada akhirnya bertemu juga dengan sanad hadis yang diambil dari kitab tersebut. Contohnya, al-Mustakhraj Abu Bakr al-Isma‘ili yang hadisnya diambil dari kitab Bukhari.

Kajian Ilmu Hadis.

Kajian tetang hadis disebut ‘Ulum al-hadits. Berbagai karya menyangkut kajian tersebut meliputi bermacam aspek dan telah ditulis oleh banyak ahli dari berbagai kalangan. Orang pertama yang mencoba menyusun sebuah karya yang menyeluruh adalah Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (265 H/879 M–360 H/971 M), yang menulis sebuah karya panjang terdiri atas tujuh bagian yang berjudul al-Muhaddits al-Fasil bain ar-Rawi wa al-Wa‘iz (Ahli Hadis yang Memisahkan Antara Rawi dan Pemberi Nasihat).

Al-Hakim an-Naisaburi telah menulis sebuah karya yang lebih sistematis dengan judul Ma‘rifah ‘Ulum al-Hadits (Makrifat Ilmu Hadis), yang dibagi ke dalam 52 kategori, yang merupakan model tulisan yang diikuti oleh banyak penulis sesudahnya. Karya Ibnu Salah, ‘Ulum al-Hadits (Ilmu Hadis), yang dipandang sebagai karya klasik dalam hal ini, mengandung 65 kategori.

Kajian tersebut mencakup secara terperinci berbagai pokok persoalan yang menyangkut peringkat hadis dan para rawi, cara mempelajari dan meriwayatkan hadis, aturan tentang detail tulisan tangan hadis, cara membuat koreksi yang diperlukan terhadap sebuah manuskrip, dan bahkan menyangkut periwayatan mulai berlangsung dan berhenti.

Ilmu hadis terbagi atas dua bagian besar, yaitu ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah. Ilmu Hadis Riwayah. Bagian dari ilmu hadis yang mempelajari cara-cara penukilan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadis (segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW berupa perkataan, perbuatan, dan ikrar). Tujuannya adalah menjadikan Nabi SAW sebagai suri teladan dan terutama untuk memahami hadis Nabi SAW sebagai penjelas wahyu Al-Qur’an.

Ulama pelopor dalam bidang ilmu ini adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidullah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri (51 H/671 M–124 H/742 M), seorang imam dan ulama besar di Hijaz dan Syam (Suriah). Ia adalah orang pertama yang menghimpun hadis Nabi SAW atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Umar II, memerintah 99 H/717 M–102 H/720 M).

Yang menjadi objek kajian ilmu hadis riwayah adalah (1) cara periwayatan hadis, yang meliputi bagaimana cara penerimaan hadis dan penyampaiannya kepada orang lain dan penulisan atau pembukuan hadis. Dengan demikian ilmu ini tidak berkompeten membicarakan ke-Tsiqqahan (Tsiqqah = terpercaya) rawi dan kejanggalan/kesalahan matan hadis karena hal tersebut bukan merupakan objek kajian ilmu hadis riwayah.

Sebelum Al-Qur’an selesai ditulis, para sahabat secara resmi dilarang menulis hadis, sehingga hadis tersebut disimpan melalui hafalan para sahabat. Pada sisi lain, Nabi SAW dalam berbagai perkataan, perbuatan, dan takrirnya, tidak selalu dalam kondisi yang sama. Maka dalam transmisi (periwayatan) hadis ini terdapat beberapa faktor yang menjamin terpeliharanya keaslian hadis sejak penerimaan pertama dari Rasulullah SAW sampai masa hadis dibukukan, yaitu:

(1) cara Nabi SAW berbicara perlahan­lahan, tegas, dan jelas, bahkan sering mengulangnya sampai tiga kali;
(2) Nabi Muhammad SAW menyampaikannya dengan fasih (Nabi SAW dikenal sebagai seorang yang fasih dan balig [menggunakan bahasa yang baik dan benar] atau ana afsahu min nuthqi fi ad-dad);
(3) Nabi SAW sering menyesuaikan dialeknya dengan dialek lawan bicaranya;
(4) para sahabat yang menerima hadis sangat hormat kepada Nabi SAW dan memandangnya sebagai idola mereka;
(5) sahabat yakin betul bahwa apa yang diucapkan Nabi SAW mengandung makna yang dalam sehingga mereka mendengarkannya dengan tekun;
(6) orang Arab memiliki kemampuan menghafal yang luar biasa; dan
(7) pada tingkat tabiin, transmisi hadis dan keasliannya juga dijamin oleh anggapan para tabiin bahwa apa yang diterimanya itu semuanya adalah sesuatu yang berharga.

Adapun periwayatan (transmisi) hadis oleh para sahabat, tabiin, dan tabi‘ at-tabi‘in (setelah generasi tabiin) dilakuka dengan dua cara, yaitu (1) periwayatan dengan lafal (riwayah bi al-lafzi) dan (2) periwayatan dengan makna (riwayah bi al-ma‘na).

Periwayatan dengan lafal adalah periwayatan yang dis­ampaikan sesuai dengan lafal yang di­kata­kan oleh Nabi SAW secara persis. Akan tetapi­ dalam­ kenyataannya jumlah periwayatan dengan lafal­ ini sangat­ sedikit. Ciri-ciri hadis yang diriwayatkan­ dengan lafal ini antara lain: (1) hadis tentang doa; (2) dalam bentuk muta‘abbad (sanadnya memperkuat hadis lain yang sama sanadnya), antara lain tentang azan dan syahadat;­ dan (3) tentang jawami‘ al-kalimah (kata-kata yang padat dan dalam­ pengertiannya).

Adapun periwayatan hadis dengan makna adalah hadis yang diriwayatkan sesuai dengan makna yang dimaksud­ kan oleh Nabi SAW, meskipun­ dari segi redaksi terdapat perubahan. Ke­ba­nyakan hadis Nabi SAW diriwayatkan dalam bentuk ini karena Rasulullah SAW memberikan isyarat bahwa meriwayatkan hadis dengan riwayah bi al-ma‘na dibolehkan. Namun dalam hal ini dituntut syarat yang sangat ketat, yaitu:

(1) yang meriwayatkan­ hadis tersebut paham betul isi dan kandungan hadis yang dimaksud;
(2) rawi tersebut ha­rus memahami secara luas perbedaan-perbedaan lafal muradif (sinonim) dalam bahasa Arab;
(3) rawi tersebut hanya lupa lafal hadis yang disampaikan­ Rasulullah SAW, sementara maknanya diingat­ secara persis;
(4) muslim;
(5) balig;
(6) adil; dan
(7) dabit (cermat dan kuat).

Dalam hal periwayatan hadis, masalah lain yang menjadi bahasan adalah at-tahammul (Sigat at-tahammul atau Sigat al-isnad) dan al-‘ada’. At-Tah­ammul adalah cara atau praktek seseorang dalam menerima hadis dari guru (syekh)-nya. Adapun al-‘ada’ adalah cara atau praktek yang ditempuh­ oleh seorang rawi dalam meriwayatkan hadis kepa­da pihak yang menerimanya.

Ilmu Hadis Dirayah.

Ilmu yang mempelajari kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan ha­dis, sifat rawi, dan lain-lain. Sasaran kaji­annya adalah keadaan matan, sanad, dan rawi hadis­. Adapun kegunaannya adalah untuk me­ngetahui dan menetapkan maqbul (diterima) dan mardud (ditolak)-nya suatu hadis. Dirayah secara bahasa berarti pengetahuan dan pengenalan­.

Penelitian terhadap rawi –untuk mengetahui diterima­ atau ditolak riwayatnya– meliputi penelitian tentang ke­ adaannya pada waktu menerima dan menyampaikan­ hadis kepada orang lain, dan sifat tercela atau adil yang dimilikinya serta pengetahuan­ tentang negeri, keluarga, kelahiran, dan wafatnya.

Penelitian tentang hal ihwal yang diri­wayatkan (sanad dan matan hadis) menyangkut­ syarat periwayatan ketika menerima dan menyampaikan hadis kepada orang lain, bersambung atau terputus sanadnya, pengetahuan ten­tang cacat-cacatnya, dan hal-hal lain yang berkaitan­ dengan diterima atau ditolaknya hadis tersebut.

Ilmu dirayah menjadi alat bagi ilmu riwayah. Sekalipun ilmu dirayah telah menjadi pembahasan­ ulama sejak abad ke-2 H, namun ilmu ini belum dibahas secara khusus dalam­ sebuah kitab tertentu. Baru pada masa Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi pembahasan mengenai ilmu ini dituangkan dalam sebuah karya tulis.

Ilmu hadis dirayah bertujuan untuk menetapkan di­ terima atau ditolaknya sebuah hadis dan selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk diamalkan­ atau ditinggalkan. Ilmu ini disebut juga ‘ulum al-hadits (ilmu hadis), musthalah al-hadits (ilmu­ mustalah hadis)­ atau ‘ulm Usul al-hadits (ilmu dasar hadis). Berdasarkan keterangan di atas, seseorang­ yang mendalami hadis tidak dapat melepaskan­ diri dari ilmu hadis dirayah sebagaimana juga ilmu hadis riwayah­ karena dengan ilmu itu­lah ia dapat membeda­kan antara hadis yang diterima­ dan yang ditolak.

Kajian ilmu hadis dirayah sangat luas, sehingga banyak cabang-cabangnya. Imam as-Suyuti mengatakan­ bahwa cabang-cabang ilmu itu banyak sekali sehingga tak terhitung. Ibnu Salah (ahli ha­dis; w. 642 H/1246 M) menye­butkan enam ma­cam dan setiap macam bisa berkembang menjadi tak terbatas. Namun al-Hafiz bin Kasir (ahli hadis; w. 774 H/1373) mengomentari bahwa pembagian Ibnu Salah tersebut dapat ditinjau kembali.

Ilmu hadis dirayah memiliki cabang-cabang yang berkaitan dengan sanad dan rawi, dan matan hadis. Cabang-cabang yang berkaitan dengan sanad­ dan rawi yang terpent­ ing di antaranya adalah ‘ilm al-jarh wa at-ta‘dil, ‘ilm rijal al-hadits, dan ‘ilm Tabaqat ar-ruwat.

Adapun yang berkaitan dengan­ matan hadis adalah ‘ilm garib al-hadits, ‘ilm asbab wurud al-hadits, ‘ilm tawarikh al-mutun, ‘ilm talfiq al-hadits, ‘ilm at-tahif wa at-tahrif, dan ‘ilm an-nasikh wa al-mansukh.

‘Ilm al-jarh wa at-ta‘dil adalah ilmu yang membahas hal ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan (‘adalah) dan kejelekannya, sehingga dengan de­mikian periwayatannya dapat diterima atau dito­lak­.

Untuk menunjukkan kekuatan periwayatan se­seorang digunakan ungkapan-ungkapan tertentu, seperti “orang yang paling tepercaya”, “orang yang teguh lagi teguh”, dan “orang yang tidak ca­cat”. Untuk menun­ jukkan kelemahan periwayatannya­ digunakan ungkapan, seperti “orang yang paling dusta”, “orang yang perlu diteliti”, dan “orang yang tak dikenal”.

Berkaitan dengan ‘ilm al-jarh wa at-ta‘dil, para ahli hadis menggunakan istilah yang meliputi­ jarh, tajrih, ‘adl, dan ta‘dil. Jarh adalah penolakan­ seorang ahli hadis terhadap riwayat seorang­ rawi karena adanya indikasi tentang­ cela perangai atau riwayatnya. Para ulama merumuskan­ sebab jarh sebagai berikut.

(1) Al-bid‘ah­ atau bid’ah (menam­bah-nambah urusan agama). Bid’ah ada dua macam, yakni yang berat dan yang ringan. Pada bid’ah yang berat, pelaku­ nya dipandang ke­luar dari agama. Pada bid’ah yang ringan, pelakunya tidak keluar dari agama. Rawi yang terbukti mela­­ kukan bid’ah yang berat, riwayatnya­ langsung ditolak­. Rawi yang melakukan bid’ah yang ri­ngan, riwayat­nya­ yang se­suai atau sejalan dengan perbuat­an bid’ahnya tersebut ditolak dan yang tidak sejalan boleh diterima­.

(2) Al-jahalah atau tidak dikenal/asing­. Al-jahalah juga ada dua macam, yakni jahalah al-‘ain atau tidak dikenal siapa rawi tersebut dan jahalah al-hal atau tidak dikenal siapa rawi itu secara lebih jauh (kepri­ badian, keadaan, dan lain-lain). Riwayat kedua macam rawi tersebut ditolak.

(3) Al-galath atau tidak kuat/kacau/salah ha­falan. Semakin banyak riwayat dari seorang rawi yang tidak selaras, apalagi berlawanan, dengan riwayat-riwayat lainnya, maka semakin galat rawi tersebut; demikian pula sebaliknya. Bagian ini, menurut para ulama, mencakup pula syadzdz (mengandung kejanggalan) dan da‘wah al-inqitha’ (seorang rawi menyebut rawi di atasnya yang ia sendiri diduga kuat tidak pernah bertemu dengannya).

Tajrih adalah identifikasi terhadap seorang rawi dengan berbagai karakter yang melemahkannya atau menyebabkan riwayatnya ditolak. Di antara pengertian ‘adl yang diberikan oleh ulama adalah seorang yang muslim, balig/dewasa, berakal, dan tidak fasik. Adapun pengertian ta‘dil adalah identifikasi terhadap seorang rawi dengan mencari-cari sifat baiknya, sehingga periwayatannya dapat diterima.

Disyaratkan bagi orang yang melakukan tajrih (jarih) dan ta‘dil (mu‘addil) untuk memiliki ilmu, takwa, warak, jauh dari sifat ta‘assub (mencintai sesuatu secara berlebihan, fanatik), dan mengetahui sebab jarh dan ta‘dil. Selain itu disebutkan pula bahwa mu‘addil dan jarih harus terlebih dahulu seorang yang adil, sadar akan pekerjaan/kajiannya, jujur, dan tidak ta‘assub, tidak berbangga diri, dan menguasai sebab jarh dan ta‘dil.

Ada beberapa prinsip yang dibuat oleh ulama hadis guna menyelesaikan masalah pertentangan antara jarh dan ta‘dil. Mendahulukan jarh dan ta‘dil, sekalipun mu‘addilnya lebih banyak daripada jarih-nya. (2) Mendahulukan ta‘dil atas jarh apabila ternyata mu‘addil lebih banyak dari jarih.

Tidak melakukan tarjih (menguatkan salah satu) antara keduanya, kecuali apabila ada suatu penguat atau tetap mengamalkan keduanya sampai muncul suatu penguat atas salah satunya. Prinsip yang paling banyak dianut dan dipakai, baik oleh ulama mutakadimin maupun muta’akhkhirin (ulama setelah abad ke-3 H), adalah yang pertama.

‘Ilm rijal al-hadits adalah ilmu yang mengkaji keadaan para rawi dan peri kehidupan mereka, baik dari kalangan sahabat, tabiin, maupun tabi‘ at-tabi‘in. Bagian dari ‘ilm rijal al-hadits adalah ‘ilm tarikh rijal al-hadits. Ilmu ini mengkaji keadaan rawi dengan penekanan pada aspek tanggal kelahiran, garis keturunan, guru sumber hadis, jumlah hadis yang diriwayatkan, dan murid-muridnya.

‘Ilm tsabaqat ar-ruwat adalah ilmu yang membahas keadaan rawi berdasarkan pengelompokan tertentu. ‘Ilm garib al-hadits adalah ilmu yang membahas masalah kata atau lafal yang terdapat pada matan hadis yang sulit dipahami, baik karena kata atau lafal tersebut jarang sekali dipakai, nilai sastranya yang tinggi, maupun karena sebab yang lain. Ulama yang dipandang sebagai perintis di bidang ini adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Musanna at-Taimi (w. 210 H/826 M).

‘Ilm asbab wurud al-hadits adalah ilmu yang membahas sebab atau latar belakang lahirnya suatu hadis. Perintis di bidang ini antara lain Abu Hamid bin Kaznah al-Jubari dan Abu Hafs Umar bin Muhammad bin Raja al-Ukbari.

‘Ilm tawarikh al-mutun adalah ilmu yang mengkaji waktu terjadinya suatu hadis; berguna untuk pembahasan masalah nasikh mansukh suatu hadis. Al-Imam Sirajuddin Abu Hafs Amr al-Bukqini dianggap sebagai perintis ilmu di bidang ini.

‘Ilm talfiq al-hadits adalah ilmu yang membahas cara menyelesaikan atau memadukan masalah dua hadis yang secara lahir tampak saling bertentangan. Imam Syafi‘i dipandang sebagai ulama yang mula-mula menyusun buku di bidang ini dengan karyanya yang berjudul Mukhtalif al-hadits.

‘Ilm at-tahif wa at-tahrif adalah ilmu yang mengkaji hadis yang telah mengalami perubahan tanda baca titik dan bentuknya. Ulama yang dipandang sebagai perintis di bidang ini adalah Daruqutni (w. 385 H/995 M) dan Abu Ahmad al-Askari (w. 283 H/896 M).

‘Ilm an-nasikh wa al-mansuh adalah ilmu yang membahas penyelesaian hadis yang bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Penyelesaiannya dilakukan melalui sejarah munculnya hadis itu. Setelah ditemukan sejarahnya, mana yang lebih dulu muncul dan mana yang kemudian, maka hadis yang terdahulu dinasakhkan dengan hadis yang kemudian.

Misalnya, hadis yang berarti: “Berbukalah orang yang membekam dan yang dibekam” (HR. Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali) dan hadis: “Ia (Nabi) berbekam sedang dalam keadaan berpuasa dan ihram” (HR. Ahmad bin Hanbal).

Hadis pertama adalah penjelasan Nabi SAW tentang hukum perbuatan Ja‘far bin Abi Thalib (sahabat dan saudara Ali bin Abi Thalib) sebelum penaklukan Mekah dan hadis kedua adalah keterangan Ibnu Abbas (Abdullah bin Abbas) tentang perbuatan Nabi SAW. Ibnu Abbas masuk Islam bersama bapaknya pada masa penaklukan Mekah. Karena itu, hadis yang pertama dinasakhkan dengan hadis kedua.

Di samping yang telah disebutkan di atas, masih terdapat cabang-cabang ilmu yang menyangkut sanad dan matan sekaligus, yaitu ‘ilm ‘ilal al-hadits dan ‘ilm al-fann al-mubhamat. ‘Ilm ‘ilal al-hadits adalah kajian mengenai sebab yang samar atau tersembunyi yang dapat mengakibatkan suatu hadis dinilai cacat. Adapun ‘ilm al-fann al-mubhamat adalah kajian mengenai nama orang yang tidak disebutkan dalam matan dan sanad.

Kajian dalam lapangan ilmu hadis sangat berkembang sehingga memberi peluang bagi kritik yang ditujukan pada hadis, baik sanad maupun matannya. Di kalangan ahli ketimuran (orientalis) pernah muncul pandangan bahwa terhadap hadis hanya dilakukan kritik sanad, sedangkan kritik matan tidak dilakukan.

Pandangan tersebut sesungguhnya tidak tepat karena kajian terhadap sanad dan matan pada hakikatnya adalah kajian kritis dan telah muncul sejak masa yang dini dari perkembangan hadis, baik itu dilakukan oleh para sahabat, penulis hadis, maupun ulama hadis yang datang kemudian. Kritik hadis tidak ada di masa Nabi SAW karena persoalan yang muncul dapat ditanyakan langsung kepada Nabi SAW. Kritik hadis dimulai setelah wafatnya Nabi SAW.

Kritik sanad meliputi empat hal.

(1) Ittishal as-sanad (bersambungnya sanad). Karenanya tidak dibenarkan adanya sanad yang gugur, tersembunyi, tidak dikenal atau samar.

(2) Siqqah as-sanad, yaitu rawi harus seorang yang ‘adl, dabit (cermat dan kuat), dan tepercaya.

(3) Syadzdz (kejanggalan). Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh seorang tsiqqah secara menyendiri dan bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi tsiqqah lainnya. Syadzdz juga berlaku terhadap matan hadis.

(4) ‘Illat, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadis yang kelihatannya baik atau sempurna.

Adapun kritik matan meliputi lima hal. (1) Rakakah al-lafz, yakni kejelekan dan kejanggalan pada susunan redaksi hadis. (2) Fasad al-ma‘na, yakni terdapat cacat pada makna hadis karena bertentangan dengan al-Hiss (indra) dan akal. (3) Bertentangan dengan nas Al-Qur’an. (4) Bertentangan dengan fakta sejarah yang terjadi di masa Nabi SAW. (5) Hadis tersebut mencerminkan fanatisme golongan.

Pembicaraan tentang hadis dirayah sudah dimulai sejak zaman sahabat. Kemudian berkembang pada zaman tabiin dan menjadi sebuah ilmu yang berdiri sendiri pada abad ke-3 H.

Di antara kitab pertama yang menyangkut hadis dirayah adalah tabaqat Ibn Sa‘d (generasi periwayat hadis) oleh Ibnu Sa‘d (w. 230 H/844 M), ‘Ilal al-hadits wa Ma‘rifah ar-Rijal (meneliti kecacatan hadis dan mengetahui periwayat hadis) oleh al-Madini (w. 234 H/849 M), Garib al-Hadits (kitab yang memuat hadis garib/aneh) oleh Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H/839 M), Ta’wil Mukhtalif al-hadits (mengambil jalan keluar dari hadis yang maknanya bertentangan) oleh Ibnu Qutaibah (w. 276 H/890 M), dan kemudian al-Jarh wa at-Ta‘dil oleh Abdur Rahman bin Abi Hatim ar-Razi (w. 326 H/938 M) dan al-Muhaddits al-Fashil (periwayat hadis pilihan) oleh al-Qadi Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (w. 360 H/971 M).

Masalah yang menjadi bahasan ilmu hadis dirayah antara lain adalah yang menyangkut pembagian hadis dari segi nilainya, yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan hadis daif. Demikian juga masalah usia periwayat ketika menerima hadis, cara menerima dan menyampaikan hadis yang diriwayatkannya kepada orang lain serta jarh dan ta‘dil.

Daftar Pustaka

Abu Rayyah, Mahmud. Adwa’ ‘ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah. Cairo: Dar al-Maarif, t.t.
Abu Syahbah, Muhammad. Fi Rihab as-Sunnah. Cairo: Majma’ al-Buhus al-IslÎmÓyah, 1969.
al-Adami, Muhammad Mustafa. Dirasah fi al-Hadits an-Nabawi wa Tarikh Tadrisih. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1980.
al-Baghdadi, Ahmad bin ‘Ali al-Khatib. al-Kiayah fi ‘Ilm ar-Riwayah. Hyderabad: Da’irah al-Ma‘arif al-’Utsmaniyyah, 1357 H/1938 M.
Hassan, Ali Abdul Fattah Ali. ath-Tariq ila as-Sunnah fi ‘Ulum Hadits. Cairo: Dar at-Tiba’ah al-Muhammadiyah, 1976.
Husain, Abu Lubabat. Mauqif al-Mu‘tazilah min as-Sunnah an-Nabawiyyah. Riyadh: Dar al-Liwa, 1979.
al-Husaini, Ibrahim bin Muhammad bin Hamzah. al-Bayan wa at-Ta‘rif fi Asbab Wurud al-Hadits. Cairo: Dar at-Turas al-‘Arabi, t.t.
Ibnu Hisyam. Sirah an-Nabawi. Cairo: Matba’at Hijazi, t.t.
Ibnu as-Salah, Abu Amr Usman bin Abdurrahman. ‘Ulum al-Hadits. Madinah Munawarah: al-Maktabah al-Ilmiyyat, 1972.
al-Idlibi, Salah ad-Din bin Ahmad. Manhaj Naqd al-Matn ‘ind ‘Ulama’ al-Hadits an-Nabawi. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadida, 1983.
al-Khatib, Muhammad Ajaj. Ushul al-Hadits ‘Ulumih wa Musthalahih. Beirut: Dar al-Fikr, 1975.
al-Qadi, Nu’man Abdul Muta’al. al-Hadits asy-Syarif: Riwayah wa Dirayah. Cairo: al-Majlis A’la li asy-Syu’un al-Islamiyah, 1975.
Salih, Muhammad Adib. Lamhah fi Ushul al-æadits. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1399  H/1979 M.
as-Salih, Subhi. ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malay­ iyin, 1977.
ash-Shabbagh, Muhammad. al-Hadits an-Nabawi. Riyadh: al-Maktabat al-Islamiyyah, 1972.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Siddiqi, Muhammad Zubair. Hadith Literature: Its Origin, Development & Special Features. Cambridge: The Islamic Texts Society, 1993.
as-Suyuti, Jalaluddin. Tadrib ar-Rawi fi Syarh at-Taqrib an-Nawawi. Madinah: Maktabah al-Ilmiyah, 1972.
at-Tahawi, Abu Ja‘far Ahmad. Syarh Ma‘ani al-Atsar, ed. Muhammad S. Jad al-Haqq. Cairo: al-Anwar al-Muhammadiyah, 1968.
at-Tazi, Mustafa Amin Ibrahim. Muhadhaarah fi ‘Ulum al-Hadits. Cairo: Jami‘ah al-Azhar, 1971.
Yusuf bin Abdul Barr, Abu Umar. Jami‘ Bayan al-‘llm wa Hadits. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, t.t.
az-Zafzaf, Muhammad. at-Ta‘rif bi Al-Qur’an wa al-hadits. Kuwait: Maktabah al-Falah, 1979.

Moch. Qasim Mathar