Secara bahasa, daf‘ as-sha’il berasal dari kata daf‘ yang berarti “menghindari”, “menolak” dan “membela diri”; dan as-sha’il yang berarti “kesewenang-wenangan” dan “penyerangan”. Dalam fikih Islam, daf‘ as-shail berarti upaya seseorang untuk menghindari serta membela diri dari segala bentuk penyerangan terhadap diri, keluarga, atau hartanya, sesuai dengan kemampuannya.
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan istilah daf‘ as-shail tidak banyak berbeda dengan pengertian etimologisnya. Islam memberikan hak dharuri (pokok/utama) bagi seseorang untuk mempertahankan diri dari kesewenang-wenangan orang lain terhadap diri, keluarga, harta, dan kehormatannya.
Dalam usul fikih, memelihara dan memper-tahankan hal yang disebutkan di atas disebut adhaririyyat al-khamsah (lima kebutuhan pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta).
Dasar hukum dari pembelaan diri tersebut ditemui dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 194 yang berarti,
“…Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahui lah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
Ayat ini secara tegas menunjukkan bahwa kesewenang-wenangan harus dihindari dengan pembelaan, sesuai dengan kualitas kesewenang-wenangan yang dilan-carkan.
Dalam hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan at-Tirmizi dari Sa‘id bin Zaid dikatakan,
“Siapa yang terbunuh (karena membela) agamanya, maka ia mati syahid, dan siapa yang terbunuh (karena membela) jiwanya, maka ia mati syahid, siapa yang terbunuh (karena membela) hartanya, maka ia mati syahid, dan siapa yang terbunuh (karena membela) keluarganya, maka ia mati syahid.”
Hadis ini juga menunjukkan secara tegas pembelaan terhadap agama, diri, keluarga, harta, dan kehormatan sebagai sesuatu yang bernilai dalam Islam.
Hukum daf‘ as-ha’il, menurut ulama, adalah boleh. Dalam mempertahankan hal-hal yang vital bagi kehidupan manusia, seseorang harus membela diri sekalipun harus berbuat sesuatu yang sangat merugikan orang yang melakukan kesewenangan tersebut.
Menurut ulama, secara perdata dan pidana orang yang membela diri tidak bisa dituntut kecuali pembelaan itu dilakukan secara berlebihan. Dalam kaitannya dengan hal ini, ulama mengatakan bahwa pembelaan itu dilakukan secara berjen-jang dan harus dimulai dengan upaya yang paling ringan.
Pembelaan diri merupakan masalah yang sulit untuk diukur kualitasnya sehingga pembelaan itu dapat dikatakan tidak sewenang-wenang. Ulama mengemukakan beberapa persyaratan dalam pembelaan diri.
1) Ada perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan secara sengaja oleh seseorang. Kesewenang-wenangan yang dimaksud ialah tindakan dari orang lain yang tidak mempunyai hak sama sekali.
2) Kesewenang-wenangan tersebut nyata, bukan bersifat ancaman.
3) Tidak ada cara lain untuk menghindari kesewenang-wenangan tersebut.
4) Pembelaan diri yang dilakukan sebanding dengan kualitas kesewenang-wenan-gan yang dilakukan orang tersebut.
Ulama juga membahas apakah upaya pembelaan diri tersebut hanya merupakan kebolehan atau suatu kewajiban yang harus dilakukan. Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat sesuai dengan pemahaman mereka terhadap nas yang ter-kait dengan masalah ini.
Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) serta ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa pembelaan diri dari kesewenang-wenangan orang lain hukumnya wajib. Alasan yang mereka kemukakan adalah surah al-Baqarah (2) ayat 194 di atas yang secara tegas menunjukkan kewajiban membela diri tersebut.
Di samping itu Allah SWT mengatakan bahwa tidak dibenarkan menjerumuskan diri ke dalam bencana (QS.2:195) dan perbuatan jahat itu harus dibalas dengan yang sebanding (QS.42:40).
Sehubungan dengan hal ini, ulama Mazhab Syafi‘i menambahkan sebuah syarat, yaitu yang melakuka kesewenang-wenangan atau penyerangan tersebut adalah orang kafir atau hewan. Menurutnya, tidak membela diri terhadap serangan atau kesewenang-wenangan orang kafir merupakan penghinaan terhadap agama.
Adapun pembelaan diri terhadap serangan hewan dilakukan karena derajat hewan lebih rendah daripada manusia dan hewan itu sendiri merupakan sarana untuk mendukung kehidupan manusia.
Ulama Mazhab Maliki juga mengemukakan satu syarat, yaitu setelah orang yang melakukan kesewenangan atau penyerangan itu diberi peringatan. Menurut mereka, pemberian peringatan ini dihukumkan sunah.
Adapun ulama Mazhab Hanbali berpendapat bahwa pembelaan diri tersebut hukumnya boleh. Hal ini didasarkan pada sebuah hadis Rasulullah SAW tatkala terjadi fitnah di antara para sahabat. Ketika itu Nabi Muhammad SAW bersabda,
“Diam saja di rumahmu, jika engkau khawatir sinar matahari akan merusak wajahmu, maka tutuplah wajahmu itu” (HR. ad-Daruqutni dari Abdullah bin Khabbab).
Lebih lanjut ulama membahas apakah orang yang mem-bela diri dikenakan hukum kisas jika dalam pembelaan diri tersebut orang yang melakukan kesewenang-wenangan atau penyerangan itu terbunuh olehnya. Mengenai hal ini, ulama sepakat bahwa pembunuhan yang dilakukan dalam rangka pembelaan diri tersebut apabila telah memenuhi syaratnya tidak dikenakan hukuman kisas dan diat. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW,
“Siapa yang menghunuskan pedangnya kemudian memukulkannya (secara sewenangwenang), maka darahnya halal” (HR. an-Nasa’i dan at-Tabrani dari Abdullah bin Zubair).
Dengan kata lain, seseorang boleh membela diri dengan membunuh orang yang menyerangnya dan dia tidak dikena-kan tuntutan secara perdata maupun pidana Sehubungan dengan hal ini, ulama Mazhab Hanafi mengemukakan satu pengecualian, yaitu yang melakukan kesewenang-wenangan atau penyerangan itu anak kecil atau orang gila.
Apabila dalam pembelaan diri anak kecil atau orang gila tersebut terbunuh, orang yang membela diri ini dikenakan tuntutan perdata, yaitu denda. Menurut ulama mazhab ini, perbuatan anak kecil dan orang gila tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Hal ini sejalan dengan hadis Rasululah SAW yang berarti:
“Pembebanan hukuman tidak dapat dikenakan kepada anak kecil sampai ia balig, dan orang gila sampai ia sembuh…” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Dalam kasus serangan anak kecil, orang gila atau hewan, jumhur ulama, termasuk Imam Abu Yusuf (sahabat Abu Hanifah/Imam Hanafi), berpendapat bahwa perbuatan mereka telah memenuhi kriteria dan syarat yang dikemukakan di atas. Oleh sebab itu, orang yang membela diri tidak dapat dituntut secara perdata atau pidana, karena ia dalam keadaan membela dirinya sendiri dari kesewenang-wenangan dan serangan orang lain.
Persoalan lain adalah bagaimana jika kesewenangwenangan itu bersifat merenggut kehormatan seorang wanita? Mengenai hal ini, ulama fikih sepakat bahwa seorang wanita wajib mempertahankan diri sekalipun dengan membunuh pemerkosa tersebut dan dia tidak akan dikenakan tuntutan pidana dan/atau perdata atas pembelaannya tersebut.
Demikian juga halnya bagi seorang laki-laki. Jika ia melihat seorang perempuan akan diperkosa orang lain, wajib baginya untuk mencegah usaha perkosaan tersebut sekalipun dengan cara membunuh pemerkosanya. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan at-Tirmizi dari Sa‘id bin Zaid di atas.
Di samping itu ulama menyatakan bahwa kehormatan wanita termasuk sesuatu yang sangat dilindungi agama dan satu-satunya cara untuk menghalalkannya hanya melalui perkawinan.
Dalam kasus yang sama, seorang suami juga tidak dikenakan tuntutan pidana dan atau perdata apabila dalam pembelaan diri terhadap istrinya membunuh pemerkosa tersebut. Hal ini sejalan dengan ijtihad Umar bin Khattab terhadap kisah yang dikemukakan Haisam dari Mugirah dan Ibrahim ketiganya dari kalangan tabiin.
Menurut ulama Mazhab Hanbali, dalam kasus ini seorang suami harus dapat mengemukakan empat orang saksi. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW diceritakan bahwa Sa‘d bin Ubadah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Bagaimana pendapat engkau jika saya dapati istri saya dengan lelaki lain, apakah saya harus mendatangkan empat orang saksi?” Rasulullah SAW menjawab, “Benar!” (HR. at-Tabrani dari Uba-dah bin Samit). Sebagian ulama Mazhab Hanbali mengatakan bahwa saksinya cukup dua orang.
Dalam pembelaan terhadap harta dari serangan orang lain, ulama sepakat bahwa mempertahankan harta itu hukumnya boleh dan dilakukan dengan cara yang seringan-ringannya. Jika orang yang berbuat sewenang-wenang terhadap harta itu melakukan perlawanan dengan senjata tajam, pemilik harta boleh membela dirinya sekalipun harus membunuh orang tersebut.
Pendapat ini didasarkan pada hadis berikut. Rasulullah SAW ditanya, “Bagaimana jika seseorang mengambil harta saya, lalu saya cegah dan ia berusaha membunuh saya kemudian saya membunuh dia?” Rasulullah SAW menjawab, “Jika kamu yang terbunuh, kamu mati syahid, dan jika ia yang terbunuh, ia masuk neraka” (HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah).
Masalah daf‘ as-sha’il juga mencakup tindakan sewenang-wenang terhadap kehormatan aurat wanita. Misalnya, seseorang dengan sengaja mengintip wanita yang sedang mandi. Kemudian wanita ini melempar orang yang mengintip tersebut dan mengenai matanya sehingga ia buta. Menurut ulama Mazhab Syafi‘i dan Hanbali, wanita tersebut tidak dapat dituntut secara pidana atau perdata. Pendapat mereka didasarkan pada sebuah hadis Rasulullah SAW,
“Siapa yang mengintip ke rumah orang lain tanpa izin, lalu pemilik rumah melemparnya dengan batu, dan mengenai mata sehingga luka/buta, maka tidak ada dosa baginya” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hanbal dari Abu Hurairah).
Adapun ulama Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa orang yang melempar tersebut dituntut membayar separuh diat (denda). Ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW, “Terhadap mata (yang dirusak) dikenakan separuh diat (denda)” (HR. Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban).
Lebih lanjut mereka mengatakan,jika yang mengintip itu sampai melongokkan kepala ke dalam rumah, lalu dilempar matanya oleh pemilik rumah, pemilik rumah tidak dituntut secara pidana dan atau perdata.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islami. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
Amir, Abdul ‘Aziz. at-Ta’zir fi Syari‘ah al-Islamiyyah. t.tp.: Dar al-Fikr al-Araby, t.t.
Ibnu Abdussalam, al-‘Izz. Qawa‘id al-Ahkam fi Masalah al-Anam. Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyah, t.t.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. I‘lam al-Muwaqqi‘in ‘an Rabb al-‘Ïlamin. Beirut: Dar al-Jail, 1973.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
as-San‘ani, Muhammad bin Ismail al-Kahlani. Subul as-SalÎm. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1968.
Nasrun Haroen