Bank Islam

Bank Islam adalah lembaga keuangan yang mempunyai usaha pokok memberikan kredit dan jasa pembayaran serta peredaran uang sesuai dengan prinsip syariat Islam. Tata kerja bank Islam senantiasa mengacu kepada ketentuan dalam Al-Qur’an dan hadis.

Kegiatan dan usaha bank selalu dikaitkan dengan masalah uang yang merupakan barang dagangan utamanya, yang antara lain terkait dengan (1) pemindahan uang; (2) penerimaan dan pembayaran kembali uang dalam rekening koran; (3) diskonto surat wesel, surat order maupun surat berharga lainnya; (4) pembelian dan penjualan surat berharga; (5) pembelian dan penjualan cek, surat wesel, kertas dagang; (6) pemberian kredit; dan (7) pemberian jaminan bank.

Dalam melaksanakan fungsinya, bank “membeli uang” dari masyarakat pemilik dana dengan suatu harga tertentu yang lazim disebut “bunga kredit”. Sebaliknya, bank akan “menjual uang” dalam bentuk pemberian pinjaman dengan suatu harga tertentu yang lazim disebut “bunga debet”.

Dengan demikian, bank atau pemilik bank akan mendapatkan sebagian keuntungan yang merupakan selisih antara harga jual dan harga beli uang tersebut. Padahal para ulama berpendapat bahwa dalam syariat Islam bunga tersebut dinilai sebagai riba berdasarkan firman Allah SWT yang berarti: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS.2:275).

Untuk menghindari pengoperasian bank dengan sistem bunga, para ulama dan ahli ekonomi Islam memperkenalkan prinsip muamalat sebagai alternatif perbankan dalam bentuk kegiatan usaha, seperti:

(1) kegiatan perbankan (banking operations) dalam bentuk: (a) rekening giro/current account (al-wadi‘ah); (b) buku tabungan/saving account (al-wadi‘ah); (c) tabungan berjangka/deposit (al-mudarabah);

(2) pembiayaan proyek (project financing) dalam bentuk: (a) usaha komandi ter/trustee (al-mudarabah); (b) penyertaan modal atau saham/ equity participation (al-musyarakah); (c) usaha patungan/ joint venture (al-musyarakah), dan profit sharing placement (al-murabahah); (d) pembelian dengan penyerahan kemudian/sale on future delivery (al-bay‘ bi as-salam); (e) penjualan dengan pembayaran kemudian atau dengan cicilan/deferred sale and installment sale (al-bay‘ al-ajil); (f) sewa-menyewa/leasing (al-ijarah); dan (g) sewa beli/hire-purchase (al-ijarah); dan

(3) pembiayaan perdagangan/modal kerja/trade and working capital financing dalam bentuk: (a) letter of credit (L/C): 100% deposito (al-wakalah), 50% deposito (al-musyarakah), 0% deposito (al-murabahah); (b) bank garansi/letter of guarantee (al-kafalah); dan (c) pembiayaan modal kerja/ working capital financing (al-murabahah).

Perincian mekanisme operasional bank Islam baik dari segi pemupukan maupun penyaluran dana yang bebas bunga dan sesuai dengan prinsip syariat Islam adalah sebagai berikut.

(1) Al-Wadi‘ah, yaitu perjanjian simpan-menyimpan atau penitipan barang berharga antara pihak yang mempunyai barang dan pihak yang diberi kepercayaan. Tujuan perjanjian barang ini adalah untuk menjaga keselamatan, keamanan, dan keutuhan barang tersebut dari kecurian, kemusnahan, dan kehilangan. Barang yang dititipkan sewaktu-waktu dapat diambil kembali, sebagian atau seluruhnya.

Uang biasanya dititipkan di bank. Bank sebagai pemegang amanat diberi izin untuk mengelola uang tersebut ke dalam operasi bank. Apabila ada, maka keuntungan tersebut sepenuhnya menjadi milik bank. Tetapi tidak ada halangan apabila pihak bank memberikan sebagian keuntungannya itu sebagai imbalan kepada pemilik uang. Namun, apabila terdapat kerugian, bank wajib menggantinya. Perjanjian yang sama dengan wadi‘ah adalah giro, deposito, dan tabungan.

(2) Al-Mudarabah atau al-Qirad, yaitu perjanjian kesepakatan bersama antara pemilik modal dan pengusaha. Pihak pemilik modal menyediakan dana dan pihak pengusaha mengelola modal dengan dasar bagi hasil (keuntungan). Jadi, di sini kedua belah pihak sama-sama menanggung risiko jika timbul kerugian, dan sama-sama mendapat untung jika memperoleh keuntungan.

Pada bank Islam, biasanya persyaratan pelaksanaan al-mudarabah adalah:

(a) bank akan membiayai proyek yang disetujui sepenuhnya (100%) dalam bentuk pengadaan barang modal;

(b) proyek akan dikelola sepenuhnya oleh pengusaha selaku pemegang amanat tanpa campur tangan bank Islam;

(c) bank dan pengusaha sama-sama menghitung porsi pembagian laba atau risiko untung masing-masing sebelum pelaksanaan proyek melalui musyawarah; porsi untuk bank Islam biasanya 40%, dan untuk pengusaha 60%;

(d) apabila terjadi kerugian, maka bank Islam menanggung seluruh kerugian dengan cara menarik kembali barang modal yang dibiayai pengadaannya.

(3) Al-Musyarakah, yaitu perjanjian kesepakatan bersama antara beberapa pemilik modal untuk menyertakan modal sahamnya pada suatu proyek, yang biasanya berjangka waktu panjang. Adapun persyaratan al-musyarakah pada bank Islam ialah:

(a) pembiayaan suatu proyek investasi yang telah disetujui dilakukan bersama-sama dengan mitra usaha lain, sesuai dengan bagian masing-masing yang telah ditetapkan;

(b) semua pihak, termasuk bank Islam, berhak ikut serta dalam manajemen proyek tersebut;

(c) semua pihak secara bersama-sama menentukan porsi keuntungan yang akan diperoleh; pembagian keuntungan ini tidak harus sebanding dengan penyertaan modal masing-masing;

(d) apabila proyek mengalami kerugian, maka semua pihak ikut menanggung kerugian sebanding dengan penyertaan modal.

(4) Al-Murabahah, yaitu menjual suatu barang dengan harga pokok ditambah keuntungan yang disetujui bersama untuk dibayar pada waktu yang ditentukan atau dibayar secara cicilan. Dengan cara ini pembeli dapat mengetahui harga sebenarnya dari barang yang dibeli dan dikehendaki penjual.

Perjanjian murabahah bermanfaat bagi seseorang yang membutuhkan suatu barang, tetapi belum mempunyai uang yang diperlukan. Syarat Murabahah meliputi:

(a) harga jual pada nasabah adalah harga pokok ditambah keuntungan yang disetujui penerima kredit;

(b) selama utang berupa harga barang ditambah keuntungan belum lunas, maka barang tersebut masih menjadi milik bank walaupun pembeli bisa langsung menggunakan barang tersebut; surat tanda bukti pemilikan dipegang bank sebelum semua angsuran lunas;

(c) cicilan utang dimulai pada saat jatuh tempo dan usaha atau proyek sudah menunjukkan hasil.

Dengan mekanisme operasional bank Islam seperti tersebut di atas, maka dapat dihindarkan sistem bunga yang mengandung riba. Pada hakikatnya bank Islam merupakan lembaga kerjasama melalui sistem bagi hasil, dengan masing-masing menanggung risiko jika terjadi kerugian.

Muhammad Nejatullah Siddiqi, seorang ahli ekonomi Islam, menyebutkan peranan utama bank adalah perantara keuangan antara para penabung dan para investor (perusahaan). Pembentukan bank Islam semula memang banyak diragukan. Pertama, banyak orang beranggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga (interest-free) adalah sesuatu yang tak lazim.

Kedua, adanya pertanyaan tentang bagaimana bank akan membiayai operasinya. Tetapi di lain pihak, bank Islam adalah satu alternatif sistem ekonomi Islam. Walaupun pada 1940-an telah muncul konsep teoretis tentang bank Islam, namun belum bisa direalisasi karena selain kondisi pada waktu itu belum memungkinkan, belum terlihat pemikiran yang meyakinkan.

Tahun 1963 lahir bank Islam Myt-Ghamr di Mesir, permodalannya dibantu Raja Faisal dari Arab Saudi. Dalam pelaksanaannya, Myt-Ghamr menerima rekening tabungan, investasi, dan zakat. Bank ini tidak memberikan bunga kepada penabung, tetapi nasabah dapat mengambil kembali tabungan jika diperlukan. Empat tahun kemudian, bank Myt-Ghamr dapat membuka sembilan cabang dengan nasabah sekitar satu juta orang. Namun pada 1967, karena persoalan politik, bank ini ditutup.

Pada 1971 didirikan bank Islam di Cairo (Mesir), yakni Bank Sosial Nasser, yang mulai beroperasi pada 1972. Bank ini merupakan lembaga swasta yang memiliki otonomi sendiri.

Pada 1975 berdiri Bank Islam Dubai, sebuah usaha swasta terbatas dengan modal sebesar 50 juta dirham. Negara Kuwait memberikan sumbangan saham sebesar 20% modal. Sejak itu didirikan banyak bank Islam di berbagai penjuru dunia dan beroperasi sesuai dengan fungsinya, antara lain Islamic Development Bank (IDB) yang didirikan pada 20 Oktober 1975 dengan dukungan lebih dari 40 negara muslim di dunia.

Pada 1984 terdapat sekitar 38 bank Islam di dunia dan sekitar 20 lembaga keuangan dan investasi Islam yang menyelenggarakan kegiatannya berdasarkan syariat Islam. Dari 38 bank Islam tadi, 28 buah berada di dunia Islam.

Dunia Arab memiliki sekitar 20 bank Islam, 8 bank Islam lainnya di negeri muslim non-Arab. Sudan memiliki 5 buah, Mesir, Bahrein, dan Yordania masing-masing 3 buah, Turki 2 buah.

Sementara negara lainnya, seperti Bangladesh, Kuwait, Guinea, Mauritania, Nigeria, Qatar, Senegal, Uni Emirat Arab, Malaysia, Iran, dan Arab Saudi, masing-masing memiliki 1 buah. Adapun 8 bank Islam lain berada di negara non-Islam, yakni di Swiss, Luxemburg, Denmark, Inggris, Afrika Selatan, Bahama, dan Filipina.

Bank Muamalat Indonesia (BMI). Di Indonesia, sejak 1992 telah beroperasi bank Islam dengan nama Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang didirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pelaksanaan kegiatannya berpedoman pada syariat Islam yang tata kerjanya mengacu pada ketentuan Al-Qur’an dan hadis. Akta pendiriannya ditandatangani pada 1 November 1991.

Pembentukan. Ide pendirian BMI tercetus dalam loka­karya “Bunga Bank dan Perbankan” yang diselenggarakan MUI pada 18–20 Agustus 1990 di Cisarua, Bogor. Ide ini kemudian dipertegas lagi dalam Munas MUI ke-4 di Jakarta pada 22–25 Agustus 1990. Munas ini mengamanatkan agar dimulai langkah untuk mendirikan BMI.

Untuk merealisasi amanat tersebut, dibentuklah sebuah tim untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pendirian BMI. Tim yang kemudian dikenal dengan nama Tim Perbankan MUI ini diketuai oleh Dr. H M. Amin Aziz.

Pada 27 Agustus 1991 tim pengurus BMI diterima Presiden Soeharto yang menyatakan dukungannya terhadap pendirian BMI. Saat itu Presiden memberikan dana awal sebesar 3 miliar rupiah yang berasal dari kas Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila. Secara pribadi Presiden Soeharto membeli saham BMI senilai 50 juta rupiah.

BMI tidak mendapat kesulitan berarti dalam mengumpulkan modal. Dalam acara menghimpun dana di Jakarta pada pertengahan Oktober 1991, terkumpul dana sekitar 55 miliar rupiah. Ketika akta pendiriannya ditandatangani awal November 1991, terkumpul dana 84 miliar rupiah.

Acara penghimpunan dana selanjutnya dilakukan di Istana Bogor pada 3 November 1991 dengan sponsor Presiden Soeharto sendiri. Selepas acara di Bogor, modal awal bank Islam ini mencapai sekitar 116 miliar rupiah. Pemegang sahamnya, selain presiden dan wakil presiden, juga sepuluh menteri Kabinet Pembangunan V dan para pengusaha nasional serta masyarakat umum.

Selain perseorangan, banyak kelompok berpartisipasi dalam pengumpulan modal awal ini, antara lain Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab, Supersemar, Dharmais, Purna Bhakti Pertiwi, PT PAL, dan PT Pindad. Selanjutnya Yayasan Dana Dakwah Pembangunan ditetapkan sebagai yayasan penopang bank Islam itu.

Bank Islam yang baru terbentuk ini disepakati bernama PT Bank Muamalat Indonesia (BMI). “Muamalat” dalam istilah fikih berarti hukum yang mengatur hubungan antarmanusia. Semula ada dua alternatif nama, yakni Bank Syariah Islam dan Bank Muamalat Islam Indonesia. Presiden Soeharto menyetujui nama terakhir ini dengan menghilangkan kata “Islam”.

BMI mulai beroperasi pada 1 Mei 1992. Pembukaan diresmikan Wakil Presiden Sudharmono di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 15 Mei 1992. BMI beroperasi di Gedung Arthaloka, Jl. Sudirman, Jakarta.

Tujuan. Tujuan yang hendak dicapai dalam pendirian BMI disesuaikan dengan prinsip syariat Islam yang dipadukan dengan situasi dan kondisi riil Indonesia. Tujuan tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat muslim Indonesia, sehingga kesenjangan sosial ekonomi semakin berkurang dan dengan demikian pembangunan nasional akan lestari. Tujuan ini antara lain dilakukan dengan: (a) meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan usaha, (b) meningkatkan kesempatan kerja, dan (c) meningkatkan penghasilan masyarakat banyak.

(2) Meningkatkan partisipasi rakyat banyak dalam proses pembangunan, terutama di bidang ekonomi keuangan. Selama ini masih cukup banyak masyarakat yang enggan berhubungan dengan bank, karena berpendapat bahwa bunga bank itu riba.

(3) Mengembangkan lembaga dan sistem perbankan yang sehat berdasarkan efisiensi dan keadilan, serta meningkatkan partisipasi rakyat banyak sehingga usaha ekonomi rakyat dapat digalakkan, dengan antara lain memperluas jaringan ke daerah terpencil.

(4) Mendidik dan membimbing masyarakat untuk berpikir secara ekonomi serta berperilaku bisnis, dan meningkatkan kualitas hidup mereka.

Strategi Usaha. Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, BMI mendasarkan strategi usahanya dengan kegiatan berikut:

(1) Menentukan sasaran pembinaan. BMI membina dan mempercepat berkembangnya masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah untuk menjembatani kesenjangan sosial ekonomi. Sasaran tersebut antara lain adalah pengrajin, pengusaha industri kecil, nelayan, peternak, petani, pedagang kecil, dan pengusaha transportasi.

(2) Menentukan strategi pengembangan, berupa kegiatan sebagai berikut:

(a) bekerjasama dengan bank perkreditan rakyat (BPR) untuk memperkenalkan dan membina pengembangan produk dan sistem perbankan berdasarkan syariat Islam, serta memperkenalkan sistem pengembangan usaha berdasarkan kebersamaan dan peran serta dalam permodalan dan risiko; selain itu merintis serta mengembangkan kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam mendukung peningkatan kemampuan manajerial dan teknologi serta peningkatan nilai dan pengembangan usaha kecil dan menengah;

(b) mendorong pengembangan BPR baru di daerah potensial dan usaha kecil serta menengah, antara lain dengan menyediakan modal perangsang prakarsa, menyediakan staf serta melakukan pelatihan, dan menyediakan manual kerja;

(c) bekerjasama dengan BAZIS dalam mengintensifkan pengelolaan dana zakat, infak, dan sedekah untuk proyek pengembangan usaha kecil dan menengah;

(d) merangsang pertumbuhan dan perkembangan lembaga penyediaan bantuan teknik manajemen untuk pengusaha kecil dan menengah, lembaga penyediaan teknologi peningkatan produktivitas, dan lembaga penyediaan bantuan pembinaan keterampilan akuntansi;

(e) mengembangkan peranan kelembagaan dan melancarkan jaringan penyediaan bahan baku; dan

(f) mengembangkan peranan kelembagaan penyediaan teknologi pascapanen dan pemasaran hasil produksi.

Kepengurusan. Pada waktu pembentukannya, pengurus BMI terdiri dari orang-orang yang telah lama berkecimpung di bidang perbankan. Jabatan direktur utama dipegang Zainul Bahar Noor. Direktur lain yang membantunya adalah Maman W. Natapermadi. Presiden komisaris dijabat oleh Rachmat Saleh. Dalam jajaran komisaris terdapat Sukamdani Sahid Gitosardjono, Amir Rajab Batubara, dan Dr. H M. Amin Aziz.

Struktur kepengurusan yang membedakan BMI dari bank konvensional lain adalah adanya Dewan Pengawas Syariah yang beranggotakan para ulama. Tugas dewan ini adalah mengawasi bank agar tetap berjalan sesuai tuntunan Al-Qur’an dan hadis. Dewan ini diketuai KH Hasan Basri dengan anggota Dr. H M. Quraish Shihab, Prof. KH Ali Ya’fie, Prof. KH Ibrahim Hosen, dan KH Ahmad Azhar Basyir, M.A.

Untuk menjembatani konsep syariat dan pengetahuan praktis perbankan, BMI membentuk biro Direksi Riset dan Syariah. Biro ini diketuai H Muhammad Syafi‘i Antonio (sarjana syariat University of Jordan, Yordania, dan sarjana ekonomi International Islamic University Cairo, Mesir). Selain melaksanakan riset dan pengembangan produk, biro ini juga berfungsi untuk menerjemahkan konsep syariat dalam produk yang dikeluarkan BMI.

Prinsip Operasional. Dalam menjalankan usaha komersialnya, BMI mempunyai tiga prinsip operasional:

(1) Sistem bagi hasil, yaitu suatu sistem yang meliputi tata kerja pembagian hasil usaha antara penyedia dan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dan penyimpan dana serta antara bank dan nasabah penerima dana.

(2) Sistem jual beli dengan margin keuntungan, yaitu suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli. Di sini bank mengangkat nasabah sebagai agen bank. Dalam kapasitas sebagai agen bank, nasabah melakukan pembelian barang atas nama bank. Kemudian bank akan menjual barang tersebut kepada nasabah lain dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan bagi bank.

(3) Sistem fee (jasa), yaitu sistem yang meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank.

Jenis Produk. BMI mengeluarkan produk perbankan antara lain sebagai berikut:

(1) Giro wadi‘ah, berupa dana nasabah yang dititipkan di bank. Setiap saat nasabah berhak mengambil dan mendapatkan bonus dari keuntungan pemanfaatan dana giro oleh bank. Besarnya bonus tidak ditentukan di awal akad, tetapi berasal dari perhitungan bank. Besar pembagian keuntungan ditentukan oleh jenis, besar, dan jangka waktu uang yang disimpan.

(2) Tabungan mudarabah, yaitu dana simpanan nasabah yang akan dikelola bank untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan akan diberikan kepada nasabah dengan sistem bagi hasil sesuai dengan kesepakatan bersama. Tabungan tersebut terdiri dari tabungan mudarabah hajji dan tabungan Murabahah mu‘amalah. Tabungan ini bisa dijadikan jaminan kredit bank dengan bagian laba yang diperhitungkan sesuai dengan saldo rata-rata jangka waktu tertentu.

(3) Deposito investasi Murabahah, yaitu simpanan nasabah yang hanya bisa ditarik berdasarkan jangka waktu yang telah ditentukan, dengan bagi hasil keuntungan berdasarkan kesepakatan bersama. Pembagian hasil disesuaikan dengan proporsi laba bank yang perhitungannya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu untuk sementara dan kembali disesuaikan pada akhir tahun. Apabila bank menghasilkan keuntungan besar, bagian yang diterima deposan akan besar pula, bahkan bisa lebih tinggi dari bunga bank biasa.

(4) Tabungan kurban, yaitu simpanan pihak ketiga yang dihimpun untuk ibadah kurban (penyembelihan hewan ternak di hari raya Idul Adha). Penarikan dilakukan pada saat nasabah akan melaksanakan ibadah kurban atau atas kesepakatan antara pihak bank dan nasabah. Simpanan ini juga merupakan simpanan yang akan memperoleh imbalan bagi hasil (Murabahah).

Produk BMI yang bersifat penyaluran dana kepada masyarakat adalah sebagai berikut:

(1) Kredit Murabahah atau kredit bagi hasil. Pada jenis kredit ini BMI menyediakan modal investasi sementara pengusaha mengelola manajemen dan usahanya dengan perjanjian proporsi laba. Saat perusahaan telah menghasilkan laba, nasabah wajib membayar cicilan kredit.

(2) Kredit Murabahah, berupa pembiayaan untuk pembelian barang. Pembiayaan ini mirip dengan kredit modal kerja dari bank konvensional. BMI mendapatkan keuntungan dari harga barang yang dinaikkan (harga jual terdiri dari harga beli ditambah margin keuntungan).

(3) Pembiayaan bai‘ bi saman ajil, berupa pembelian barang dengan cicilan. Pembiayaan ini mirip dengan kredit investasi dari bank konvensional, karena itu jangka waktu pembiayaan bisa lebih dari satu tahun. BMI mendapat keuntungan dari harga barang yang dinaikkan.

(4) Pembiayaan al-qard al-hasan, berupa pinjaman lunak bagi pengusaha kecil yang benar-benar kekurangan modal. Pengusaha tersebut tidak perlu membagi keuntungan kepada pihak bank, tetapi hanya membayar biaya-biaya administrasi yang merupakan biaya riil yang tidak dapat dihindari untuk pembuatan suatu kontrak (misalnya biaya penelitian proyek, notaris, dan upah karyawan).

Bentuk pelayanan lain yang juga diberikan BMI adalah pemberian jasa, seperti jual beli valuta asing (as-sarf), jasa pemberian jaminan (al-kalalah, ad-damanah), jasa transfer, pembukaan letter of credit atau L/C (al-wakalah), dan juga jasa penitipan barang.

Di samping kegiatan di atas, BMI juga mempunyai kegiatan sosial dalam rangka ikut membantu masyarakat yang kurang mampu atau ditimpa musibah, misalnya bantuan dana bagi korban bencana alam, Inpres Desa Tertinggal (IDT), dan muslim Bosnia. Selain itu BMI juga membantu biaya penelitian mahasiswa yang dianggap layak untuk dibantu.

Ketika perbankan nasional mengalami krisis pada 1997/1998, sistem “bagi hasil” yang diterapkan BMI relatif dapat mempertahankan kinerjanya. Pada saat Bank Indone-sia (BI) menetapkan syarat rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) yang harus dimiliki sebuah bank minimum sebesar 4%, BMI pada saat itu sudah memiliki CAR 12%. Karena itu, BMI menjadi simbol kebangkitan sistem ekonomi syariah di Indonesia. BMI dianggap sebagai pelopor bank syariah di Indonesia.

Eksistensi BMI dalam perbankan nasional terus berkembang. Secara aktif BMI memberikan masukan dalam merumuskan Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998 tentang prinsip syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional. Melalui UU inilah lahir sejumlah bank syariah di Indonesia.

Konversi sistem perbankan dari konvensional ke sistem syariah (menurut UU No. 10/1998), pertama kali dimanfaatkan sepenuhnya oleh Bank Susila Bhakti (BSB) pada 1 November 1999, resmi menerapkan sistem syariah dan mengubah nama menjadi PT Bank Syariah Mandiri (BSM).

Salah satu bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mendirikan bank syariah pertama di Indonesia adalah Bank BNI. Didirikan pertama kali pada 29 April 2000, Bank BNI Syariah membuka lima kantor cabang di Yogyakarta, Malang, Pekalongan, Jepara, dan Banjarmasin. Kehadiran bank syariah yang didirikan Bank BNI di lima kota ini mendapat sambutan positif masyarakat. Maka pada 2001 Bank BNI kembali membuka lima kantor cabang di Jakarta (dua cabang), Bandung, Makassar, dan Padang.

Seiring dengan perkembangan bisnis yang terus tumbuh, maka pada 2002 Bank BNI menambah lagi dua cabang bank syariah di Palembang dan Medan. Hingga 2003 Bank BNI Syariah telah memiliki 10 kantor cabang pembantu (capem) di beberapa kota besar di Indonesia.

Pada 20 Mei 2000, juga didirikan PT Bank Jabar Syariah (BJS) di Bandung, yang merupakan salah satu unit dari PT Bank Jabar.

Berdasarkan izin Bank Indonesia (BI), pada 10 Januari 2003 Bank BRI membentuk perbankan syariah, PT Bank Rakyat Indonesia Syariah (BRI Syariah) Bandung. Hingga sekarang BRI Syariah telah memiliki kantor cabangnya di Jakarta, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Semarang, Malang, dan Surabaya.

Lembaga keuangan lain, yakni PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) juga berperan dalam memajukan konsep bank syariah di Indonesia. Pada 29 Juni 1999, Bank IFI mendirikan PT Bank IFI Syariah di Jakarta. Pada awal 2000 di Jawa Barat didirikan PT BPR Syariah Al-Ikhsan. Hingga akhir 2003, jaringan perbankan syariah di seluruh Indonesia sekitar 116 cabang dan 87 BPR Syariah (BPRS) yang tersebar di 20 propinsi.

BPRS sekarang ini sudah mulai memperluas jaringan usahanya melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) dan Baitul Mal wa at-Tamwil (BMT), atau semacam koperasi yang menerapkan prinsip usaha syariah. Lembaga keuangan syariah mikro ini didirikan di pusat kegiatan usaha finansial di kecamatan, pedesaan, dan di pesantren. Hingga kini jumlah jaringan BMT di seluruh Indonesia mencapai lebih dari 1.000 unit.

Islamic Development Bank (IDB). Lembaga keuangan IDB didirikan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) sesuai prinsip syariat Islam dan dalam pengoperasiannya mengacu kepada ketentuan Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW, khususnya dalam tata cara bermuamalah.

Latar Belakang. Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam sidangnya pada Desember 1970 menyadari bahwa dalam percaturan ekonomi internasional mayoritas negara Islam merupakan negara miskin dan berkembang yang memerlukan bantuan dana agar pembangunan negara masing-masing dapat berjalan dan masyarakat hidup sejahtera.

Bantuan dana yang diharapkan dari negara Eropa dan Amerika Serikat sering kali memberi persyaratan yang sulit dipenuhi negara anggota OKI, baik persyaratan yang menyangkut ekonomi, sosial, maupun yang dikaitkan dengan masalah politik dalam negeri.

Di samping itu, mayoritas negara Islam menganggap bahwa bunga bank merupakan riba yang diharamkan syarak yang tidak seyogianya berlaku dan beroperasi di dunia Islam. Oleh sebab itu, dalam rangka saling membantu antara sesama negara Islam yang kaya dan yang miskin, sidang OKI ke-2 pada Desember 1970 di Karachi, Pakistan, bersepakat untuk mendirikan Bank Pembangunan Islam.

Upaya untuk mendirikan Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank) ini ditindaklanjuti dengan penyusunan anggaran dasar yang kemudian disahkan dalam sidang para menteri Keuangan negara Islam di Jiddah, Arab Saudi, pada 18 Desember 1973. Kemudian, tekad untuk mendirikan Bank Pembangunan Islam di­perkuat lagi dengan keluarnya keputusan sidang ke-2 menteri Keuangan negara Islam yang berlangsung di Jiddah pada 10–12 Agustus 1974.

Dalam sidang ini juga diputuskan bahwa Bank Pembangunan Islam dinyatakan berdiri secara efektif pada 23 April 1975. Sidang pembukaan pertama (inauguration meeting) Bank Pembangunan Islam dilangsungkan di Riyadh, Arab Saudi, pada 26–28 Juli 1975. Sejak saat itu pengoperasian Bank Pembangunan Islam berjalan lancar dan berkembang.

Tujuan didirikannya Bank Pembangunan Islam, seperti terlihat dalam latar belakang pendiriannya, adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan sosial bagi negara anggota dan masyarakat muslim pada umumnya, berdasarkan syariat Islam.

Modal. Bank Pembangunan Islam memiliki dua bentuk modal: (1) modal dasar (authorized capital stock) sebesar 2 miliar islamic dinar (ID), yang terbagi dalam 200.000 saham, masing-masing bernilai ID10.000; dan (2) modal yang ditempatkan (subscribed capital) sebesar ID1.960,86 juta dan modal yang disetor berjumlah ID1.662,31 juta pada akhir Desember 1990.

Modal Bank Pembangunan Islam pada awal pendiriannya­ merupakan sumbangan wajib anggota, antara lain dari Indonesia sebagai salah satu negara pendiri, yakni kontribusi keanggotaan sebesar ID63,1 juta dan kontribusi pada longer term trade financing sebesar US$3 juta. Kewajiban Indonesia ini telah dibayar lunas.

Anggota. Anggota Bank Pembangunan Islam sampai pada awal 2003 berjumlah 54 negara: Afghanistan, Albania, Aljazair, Arab Saudi, Azerbaijan, Bahrein, Bangladesh, Malaysia, Maladewa, Mali, Mauritania, Maroko, Mozambik, Benin, Brunei Darussalam, Burkina Faso, Cameroun, Chad, Comoros, Djibouti, Mesir, Gabon, Gambia, Guinea, Guinea Bissau, Indonesia, Iran, Irak, Yordania, Niger, Oman, Pakistan, Palestina, Pantai Gading, Qatar, Senegal, Sierra Leone, Somalia, Sudan, Suriname, Suriah, Tajikistan, Togo, Tunisia, Turki, Kazakhstan, Kuwait, Kirghistan, Libanon, Libya, Turkmenistan, Uganda, Uni Emirat Arab, dan Yaman.

Struktur. Secara organisatoris, Bank Pembangunan Islam terdiri atas: (1) Dewan Gubernur (kekuasaan tertinggi), yang berasal dari seluruh anggota serta dipimpin seorang ketua dan seorang atau lebih wakil ketua; (2) Dewan Direktur Eksekutif, yang terdiri atas 5 anggota pemberi iuran terbesar ditambah dengan 6 anggota dari 6 kelompok negara; (3) Presiden dan Wakil Presiden; Presiden diangkat oleh Dewan Gubernur untuk masa jabatan 5 tahun dan Wakil Presiden (3 orang) oleh Sidang Dewan Direktur Eksekutif berdasarkan usulan Presiden untuk masa jabatan 3 tahun; dan (4) Manajemen, merupakan pelaksana harian Bank Pembangunan Islam yang dipimpin oleh presiden dan wakil presiden. Di bawah presiden dan wakil presiden ada para direktur dan staf profesional.

Fasilitas. Dalam operasinya, Bank Pembangunan Islam memiliki beberapa fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh anggota:

(1) Equity Participation (musyarakah/perseroan), berupa penyertaan modal dalam perusahaan, baik perusahaan pemerintah maupun swasta. Jumlah penyertaan modal ini paling tinggi 1/3 dari jumlah kebutuhan modal suatu proyek.

(2) Line of Equity, berupa penyertaan modal melalui bank/lembaga keuangan nasional di negara anggota, yang disebut National Development Financial Institution (NDFI). Untuk NDFI di Indonesia, pemerintah RI telah menunjuk Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia)-sekarang merger dalam PT Bank Mandiri sebagai penyalur line of equity Bank Pembangunan Islam. Jumlah maksimum modal yang dapat disalurkan NDFI ini pada satu proyek adalah US$2 juta dan minimum US$1 juta.

(3) Profit Sharing (Murabahah), berupa penyertaan modal dalam suatu perusahaan pemerintah atau swasta dalam bentuk pembagian laba. Proyek yang bisa diberikan profit sharing ini adalah yang cepat menguntungkan dan tidak mengandung risiko rugi.

(4) Loan (al-qard al-hasan), berupa pinjaman yang tidak mengikat, tanpa bunga dan tanpa commitment fee. Jumlah pinjaman yang diberikan, sesuai dengan hasil Sidang Dewan Direktur Eksekutif Bank Pembangunan Islam ke-108, adalah US$5 juta untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dengan kewajiban membayar service fee paling tinggi 2,5% per tahun. Biasanya loan ini diberikan kepada negara anggota yang kurang berkembang, terutama untuk membiayai proyek prasarana.

(5) Leasing (ijarah/sewa-menyewa), berupa sewa guna usaha atas peralatan milik modal Bank Pembangunan Islam yang dibeli atas petunjuk penyewa. Untuk permintaan leasing ini harus ada jaminan bank. Sewa tersebut dibayar setiap 6 (enam) bulan untuk jangka waktu 10 tahun setelah selesai masa tenggang waktu 24 bulan dan dikenakan mark-up sebesar 8% per tahun tanpa service fee.

(6) Line of Leasing, berupa sewa guna usaha yang disalurkan melalui NDFI. Nilai maksimum per proyek/perusahaan sebesar US$2 juta.

(7) Installment Sale (al-bai‘ bi saman ajil), yaitu pembelian peralatan modal oleh Bank Pembangunan Islam sesuai dengan petunjuk pembeli dengan cara cicilan. Cicilan ini ha­rus dibayar setiap 6 bulan dalam jangka waktu 10 tahun setelah melewati masa tenggang waktu maksimum 2 tahun, dan dikenai mark-up sebesar 8% per tahun terhadap sisa utang, tanpa service fee. Untuk mendapatkan fasilitas ini harus ada jaminan bank.

(8) Line of Installment Sale, yaitu membeli peralatan modal yang dibelikan Bank Pembangunan Islam melalui NDFI dan membayar cicilannya kepada NDFI tersebut. Nilai maksimum modal yang dapat dibeli melalui NDFI ini adalah US$2 juta per proyek/perusahaan.

(9) Import Trade Financing Operation/ITFO (al-murabahah), yaitu bantuan yang diberikan Bank Pembangunan Islam kepada importir di negara anggota untuk membiayai kegiatan impor barang yang diperlukan untuk pembangunan. Apabila barang yang diimpor ini berasal dari salah satu negara anggota Bank Pembangunan Islam, maka jangka waktu pelunasan utang yang diberikan ke­pada importir tersebut adalah 24 bulan. Tetapi, apabila impor itu dilakukan dari negara non-anggota, maka jangka waktu pelunasan ditetapkan selama 12 bulan.

Terhadap barang yang diimpor dikenakan mark-up 8%, dengan ketentuan apabila pelunasan dilakukan sebelum atau pada waktu yang ditetapkan, maka dilakukan pemotongan sebesar 15%. Kemudian, batas bantuan yang diberikan kepada importir disesuaikan dengan kemampuan ekonomi negara dan kinerja negara tersebut. Untuk mendapatkan fasilitas ini, importir yang bersangkutan juga harus mendapat jaminan bank.

(10) Longer Term Trade Financing Scheme (LTTFS), yaitu suatu fasilitas untuk mendorong ekspor negara anggota dengan cara memberi bantuan kepada importir di negara anggota OKI berupa kelonggaran waktu untuk membayar barang yang diimpor lebih lama dari ITFO, yaitu maksimum 5 tahun.

Terhadap barang yang diimpor dikenakan mark-up 8% dengan jangka waktu pem­bayaran maksimum 24 bulan untuk barang konsumsi, maksimum 36 bulan untuk barang setengah jadi, dan maksimum 60 bulan untuk barang modal, tanpa commitment fee. Untuk mendapatkan fasilitas ini, negara pengimpor yang meminta LTTFS harus menyertakan jaminan bank.

(11) Technical Assistance, yaitu bantuan teknik yang diberikan Bank Pembangunan Islam kepada negara anggotanya, antara lain untuk membiayai studi kelayakan suatu proyek dan dokumen tender. Bantuan ini terutama diberikan kepada negara anggota yang kurang maju dan berpendapatan rendah. Untuk negara seperti ini dapat diberikan hibah dengan nilai sampai US$150 ribu, sedangkan selebihnya dalam bentuk pinjaman tanpa bunga dengan masa pengembalian maksimum 15 tahun.

Untuk negara yang dianggap lebih maju dengan pendapatan menengah dan tinggi dapat diberikan bantuan teknis dalam bentuk pinjaman, dengan kewajiban membayar service fee maksimum 1,5% setahun­.

(12) Assistance from Special Account, yaitu bantuan berupa beasiswa kepada penduduk nonanggota Bank Pembangunan Islam, proyek pendidikan Islam di negara non-anggota, dan proyek pembinaan agama Islam di negara anggota. Untuk mendapatkan fasilitas ini, lembaga pendidikan Islam harus mengajukan permohonan ke Bank Pembangunan Islam dengan persetujuan gubernur Bank Pembangunan Islam di negara masing-masing.

Bantuan bagi Indonesia. Indonesia pernah menerima bantuan Bank Pembangunan Islam dalam bentuk pinjaman, penyertaan modal (line of equity), installment sale, leasing, dan fasilitas impor (ITFO). Demi kelancaran bantuan Bank Pembangunan Islam, Indonesia pernah menempatkan wakilnya, yakni Sidharta S.P. Soerjadi, di bank tersebut sebagai wakil presiden bidang administrasi dan hukum (April 1989–1994).

Sidang tahunan Bank Pembangunan Islam ke-20 (November 1995) dilaksanakan di Jakarta, Indonesia. Pada saat itu Indonesia menerima bantuan pinjaman sebesar US$52,22 juta untuk keperluan: (1) pembangkit listrik tenaga diesel di pedesaan sebesar US$21,08 juta, (2) pembangunan madrasah aliyah dan proyek pelatihan US$21,95 juta, dan (3) peralatan rumah sakit di Jawa Tengah sebesar US$9,19 juta.

Peran Bank Pembangunan Islam (IDB) di Indonesia terutama penambahan modal untuk Bank Muamalat Indonesia (BMI) hingga sekarang mencapai sekitar US$10 miliar. Partisipasi penambahan modal bagi BMI ini menjadikan IDB memiliki saham hingga sekitar 30%.

Hingga 2003, IDB telah menandatangani perjanjian (loan agreement)-yang diwakili BMI dan Bank Syariah Mandiri sebagai steering committee untuk membantu 26 proyek di Indonesia. Proyek bantuan IDB ini antara lain meliputi proyek pengembangan sektor agrobisnis, pendidikan, dan pendanaan sektor perdagangan, yang nilainya mencapai sekitar US$600 juta.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrasul, Ali. al-Mababadi’ al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa al-Bina’ al-Iqtishadiyyah li ad-Daulah al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.
Ahmad, Mahmud. Economics of Islam. Lahore: Muhammad Ashraf, 1952.
Anwar, M. Syafi’i. “Alternatif terhadap Sistem Bunga,” Ulumul Qur’an, No. 9, Vol. II, 1412 H/1991 M.
Awad, Muhammad Hasyim. Dalil al-‘Amal fi al-Bunuk al-Islamiyyah. t.tp.: Khurtum Bank at-Tanmiyah at-Ta‘awuni al-Islami, 1985.
Hasan, Salihin. “Mobilisasi Dana Umat melalui Usaha-Usaha Perbankan Islam untuk Menunjang Pembangunan,” Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontemporer. Jakarta: Hikmat Syahid Indah, t.t.
al-Himsyari, Mustafa Abdullah. al-A‘mal al-Masrafiyyah wa al-Islam. Cairo: Majma‘ Buhus al-Islamiyah, 1985.
al-Hudari, Muhsin Ahmad. al-Bunuk al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Hurriyah, 1990.
Mannan, Muhammad Abdul. Islamic Economics: Theory and Practice, atau Ekonomi dalam Islam: Teori dan Praktek, terj. Potan Arif Harahap. Jakarta: Intermasa, 1992.
Perwataatmadja, Karnaen, dan Muhammad Syafi’i Antonio. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992.
Qureshi, Anwar Iqbal. Islam dan Teori Pembungaan Uang, terj. M. Chalil. Jakarta: Tintamas, 1973.
Siddiqi, M. Nejatullah. Issues in Islamic Banking. London: The Islamic Foundation, 1403 H/1983 M.
Swasono, Sri Edi. “Bank dan Suku Bunga,” Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontemporer. Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1988.

Nasrun Haroen Dan Ahmad Rofiq