Lembaga yang menghimpun susu murni dari para ibu untuk memenuhi kebutuhan air susu ibu bagi bayi yang tidak memperoleh ASI dari ibunya sendiri disebut Bank Air Susu Ibu. Lembaga ini pertama kali muncul di dunia Barat dan berkembang sampai ke Asia, antara lain Singapura. Di Indonesia lembaga seperti ini belum ada.
Makin banyaknya wanita yang memiliki aktivitas di luar rumah menyebabkan anak mereka, termasuk yang masih bayi, harus ditinggalkan. Di sisi lain, para ibu ini menyadari manfaat dan keunggulan ASI bagi bayi mereka. Kondisi inilah yang melatarbelakangi pendirian Bank ASI.
Bagi nonmuslim, permasalahan ASI bukanlah persoalan yang menyangkut hukum agama. Oleh sebab itu, kehadiran Bank ASI dapat mereka terima, bahkan keberadaannya sangat membantu dalam memperlancar aktivitas mereka.
Dalam Islam, persoalan menyusukan anak kepada wanita lain juga merupakan sesuatu yang dibolehkan, seperti yang dilakukan oleh Aminah binti Wahhab, ibunda Nabi Muhammad SAW, ketika ia meminta Halimah as-Sa‘diyah untuk menyusui Muhammad kecil.
Banyak lagi contoh di kalangan sahabat yang menunjukkan bahwa tradisi menyusukan anak kepada wanita lain memasyarakat dalam Islam. Akan tetapi, ada akibat hukum dari menyusukan anak kepada wanita lain, seperti yang dinyatakan Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 23, yakni anak yang disusui tidak boleh kawin dengan ibu-susu, dengan keturunan ibu-susu, dengan orangtua ibu-susu, dengan saudara sesusuan serta keturunan dan orangtua mereka.
Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah SAW yang menyatakan: “Diharamkan (seseorang) mengawini wanita yang menyusukannya dengan semua keturunannya, sebagaimana diharamkan menikahi ibu dengan seluruh keturunannya” (HR. Abu Dawud dan Ahmad bin Hanbal).
Berdasarkan ayat dan hadis di atas, permasalahan susu ibu dalam Islam mempunyai akibat hukum yang luas. Misalnya, apabila pria menikahi wanita, dan kemudian diketahui bahwa mereka saudara sepersusuan, maka pernikahan tersebut langsung fasakh (batal), tanpa memerlukan lafal talak maupun keputusan peradilan.
Hukum Bank ASI. Menyusukan anak kepada wanita lain yang dibolehkan dalam ayat atau hadis di atas adalah apabila penyusuan dilakukan secara langsung. Adapun hukum menyusukan anak pada seorang wanita yang air susunya telah dikeluarkan dan ditempatkan dalam suatu wadah tidak disepakati oleh para ulama. Dari mereka muncul sejumlah pendapat.
Pendapat pertama dikemukakan oleh jumhur ahli fikih yang terdiri dari ulama Mazhab Syafi‘i, az-Zahiri, Maliki, dan Zaidiyah. Menurut mereka, wanita pemilik air susu itu boleh menjual susunya yang telah dikeluarkan dan ditempatkan pada suatu wadah.
Alasan yang dikemukakan antara lain adalah firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 275 yang berarti: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….” Air susu yang diperjualbelikan oleh seorang wanita adalah air susunya sendiri, miliknya sendiri, dan sesuatu yang halal untuk diperjualbelikan. Karenanya, tidak ada alasan untuk menyatakan tidak boleh memperjualbelikan air susu seseorang.
Jumhur ulama mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara susu manusia (wanita) dan susu hewan yang dagingnya dimakan. Apabila susu hewan boleh dikonsumsi, maka susu manusia pun demikian; sama-sama bermanfaat bagi bayi. Oleh sebab itu, apabila susu hewan boleh dijual, maka air susu seorang wanita yang telah ditempatkan dalam sebuah wadah pun boleh dijual untuk dimanfaatkan bagi bayi, karena susu manusia itu termasuk harta yang bernilai. Dengan demikian, mengambil upah dari menyusukan anak dibenarkan oleh syarak.
Pendapat kedua dikemukakan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali). Ia menyatakan bahwa memperjualbelikan susu seorang wanita hukumnya makruh. Namun tidak jelas apa alasan yang dikemukakannya. Ibnu Qudamah (ahli fikih Mazhab Hanbali) menyatakan bahwa alasan tersebut adalah sebuah hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang persoalan memperjualbelikan susu wanita. Rasulullah SAW ketika itu menjawab, “Saya membencinya” (HR. Ahmad bin Hanbal).
Pendapat ketiga dikemukakan Imam Abu Yusuf (113 H/731 M–182 H/798 M, tokoh fikih Mazhab Hanafi). Ia menyatakan bahwa kebolehan memperjualbelikan susu tersebut hanya berlaku bagi susu hamba sahaya, tidak boleh bagi wanita merdeka. Ia mendasari pendapatnya dengan kias (analogi). Menurutnya, karena status hamba sahaya adalah harta yang boleh diperjualbelikan, maka seluruh milik hamba sahaya juga boleh diperjualbelikan, termasuk air susunya.
Akan tetapi, menurut Abdus Salam Abdur Rahim as-Sakari (ahli fikih Mesir), pendapat Abu Yusuf ini mendapat tentangan dari para ulama lain dengan mengatakan bahwa nilai harta dalam budak tersebut adalah kehidupan budak itu sendiri, sehingga ia dapat melayani tuannya. Adapun susunya tidak termasuk dalam perbudakan. Oleh sebab itu, menurutnya, tidak ada perbedaan antara wanita yang berstatus budak dan wanita yang merdeka.
Pendapat keempat dianut oleh Imam Hanafi (tokoh puncak Mazhab Hanafi), Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (sahabat Imam Hanafi), Imam al-Mawardi (ahli fikih Mazhab Syafi‘i), sebagian ulama Mazhab Hanbali, dan sebagian ulama Mazhab Maliki. Menurut mereka, tidak boleh memperjualbelikan susu manusia dan juga tidak boleh mengkonsumsinya, karena susu yang telah terpisah dari tubuh sudah merupakan bangkai. Mereka menyatakan hal-hal berikut.
(1) Susu manusia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari manusia itu sendiri, dan Allah SWT telah memelihara manusia dengan seluruh bagiannya. Memperjualbelikan susu manusia merupakan tindakan yang melecehkan kehormatan yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Tindakan seperti ini tidak dibenarkan dalam Islam.
(2) Susu manusia bukanlah harta yang bisa dikenakan ganti rugi apabila dirusak atau dikurangi, karena susu manusia merupakan sesuatu yang tidak bisa kurang dari asalnya. Ini berbeda dengan anggota badan lainnya, yang jika dirusak dikenakan ganti rugi kepada perusaknya. Oleh sebab itu, tidaklah tepat menganalogikan susu kepada bagian tubuh lainnya.
(3) Jika dikatakan susu itu merupakan minuman yang amat bermanfaat bagi bayi, bukanlah berarti hal tersebut menunjukkan bolehnya susu itu diperjualbelikan.
(4) Status susu manusia sama dengan status manfaat dari suatu benda. Karenanya dibolehkan untuk menyewakan atau mengambil upah dari kerja menyusukan anak orang lain. Ini berbeda dengan susu sapi yang keberadaannya bukan sebagai manfaat, tetapi bernilai materi. Sebab itu, susu sapi tidak boleh disewakan seperti susu manusia, tetapi boleh diperjualbelikan.
Jika pendapat-pendapat di atas dikaitkan dengan persoalan Bank ASI yang berkembang saat ini, menurut Abdus Salam, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa susu yang boleh diperjualbelikan oleh ulama yang membolehkannya jelas asalnya dan tidak tercampur dengan susu orang lain ketika diperjualbelikan.
Oleh sebab itu, penentuan haram saling menikahi antara ibu susuan serta keturunannya dan laki-laki yang disusukannya dapat dilacak dengan jelas, sehingga larangan Allah SWT terhadap orang sepersusuan untuk saling mengawini bisa ditentukan. Apabila Bank ASI yang berkembang saat ini melakukan pengontrolan yang ketat terhadap identitas susu yang dikumpulkan (tanpa mencampurkan susu yang berasal dari berbagai wanita), maka upaya itu bisa sejalan dengan pendapat jumhur ulama di atas.
Akan tetapi, menurut Abdus Salam, kenyataan menunjukkan bahwa Bank ASI yang berkembang saat ini tidak membedakan asal susu, bahkan mencampurkan seluruh susu yang berhasil diminta atau dibeli dari donor. Oleh sebab itu, jika Bank ASI seperti ini dibolehkan, maka akan banyak muncul pelanggaran terhadap ketentuan Allah SWT tentang hubungan perkawinan, berupa munculnya pasangan-pasangan sesusuan yang diharamkan menikah.
Dengan demikian, jika ditinjau dari aspek manfaat dan mudarat, maka tampak bahwa aspek mudarat Bank ASI lebih besar. Dalam keadaan seperti ini, kaidah fikih menyatakan “dar’ al-mafasid muqaddamun ‘ala jalb al-masalih” (menolak kerusakan [bahaya] lebih didahulukan dari mengambil manfaat [kemaslahatan]).
Di samping itu, menurut Abdus Salam, dalam Bank ASI sulit untuk menjamin susu terbebas dari berbagai penyakit yang terbawa dari wanita donor. Oleh sebab itu, aspek bahaya dalam Bank ASI lebih besar dibanding aspek manfaatnya. Hal ini mengakibatkan Bank ASI yang berkembang di dunia saat ini tidak dapat dilegalisasi syariat Islam sadd adz-dzari‘ah (menghindari jalan yang akan membawa pada kerusakan).
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Abidin. Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1966.
Ibnu Hazm. al-Muhalla. Juz IX. Beirut: Dar al-Fikr, 1967.
Ibnu Qudamah. al-Mugni. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, 1981.
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
as-Sakari, Abdussalam Abdurrahim. A‘da’ al-Insan fi Manzur al-Islam. Cairo: Dar al-Misriyah li at-Tiba‘ah wa at-Tauzi‘, 1409 H/1989 M.
as-San‘ani, Muhammad bin Ismail al-Kahlani. Subul as-Salam. Bandung: Pustaka Dahlan, t.t.
Nasrun Haroen