Banjar, Kesultanan

Kesultanan Banjar adalah sebuah kerajaan Islam di Kalimantan Selatan yang berdiri sejak akhir abad ke-16 hingga abad ke-19. Kesultanan ini merupakan lanjutan dari Kerajaan Banjar/Kerajaan Daha. Wilayahnya meliputi seluruh Kalimantan Selatan, Kotawaringin, dan Pulau Laut.

Kata banjarmasin merupakan paduan dari dua kata, bandar dan masih. Nama Bandar Masih diambil dari nama Patih Masih, perdana menteri Kerajaan Banjar yang cakap dan berwibawa serta mempunyai pandangan yang jauh ke depan untuk menjadikan Kerajaan Banjar sebuah kerajaan besar seperti Kerajaan Demak (Kesultanan Demak) di Jawa. Ia berjasa pada masa Pangeran Samudera (1595–1620). Pada masa ini, Banjarmasin merupakan daerah bandar, yang menjadi ibukota Kerajaan Banjar.

Sebelum menjadi kesultanan, selama kurun waktu kurang lebih 157 tahun (1438–1595), Kerajaan Banjar telah diperintah tujuh orang raja; raja pertama adalah Pangeran Surianata (memerintah 1438–1460) dan raja terakhir adalah Pangeran Tumenggung (memerintah 1588–1595). Satu di antara raja itu adalah wanita yang bernama Putri Kalungsu (memerintah 1505–1530).

Pada masa kekuasaannya, urusan pemerintahan diserahkan kepada Mangkubumi Lambung Mangkurat. Selain itu pemerintahan yang berpusat di Negara Dipa pada masa kekuasaan Pangeran Surianata dipindahkan ke Daha (sekarang Negara) dengan kota pelabuhannya bernama Kota Aria Taranggana (sekarang Marabahan). Keadaan ini berlangsung hingga masa pemerintahan Pangeran Sukarama (memerintah 1555–1585).

Situasi politik pada masa pemerintahan Pangeran Surianata, Pangeran Suriagangga, Putri Kalungsu, Pangeran Sekar Sungsang, dan Pangeran Sukarama berjalan normal. Tetapi pada masa pemerintahan Pangeran Mangkubumi yang memerintah hanya selama 3 tahun (1585–1588) timbul kekacauan politik yang disebabkan kematian pangeran yang tidak wajar.

Pangeran Mangkubumi mati terbunuh oleh pengawal istana atas anjuran dari saudaranya sendiri, Pangeran Tumenggung. Kemelut itu menimbulkan kekacauan di istana sehingga Pangeran Samudera yang pada waktu itu masih kecil diungsikan dan dilarikan ke luar istana dan bersembunyi di Kuin (suatu kota dekat Banjarmasin sekarang).

Selama Pangeran Tumenggung memerintah (1588–1598), situasi politik di Kerajaan Banjar berada dalam keadaan rawan dan roda pemerintahan tidak dapat berjalan dengan baik. Pusat pemerintahan lalu dipindahkan dari Daha ke Danau Pagang, dekat Amuntai. Pangeran Samudera yang berada di pengasingan diam-diam menyusun kekuatan untuk menaklukkan Pangeran Tumenggung, sehingga pada 1595 terjadi perang saudara yang berakhir dengan kemenangan di pihak Pangeran Samudera.

Dalam sejarah disebutkan bahwa Kalimantan dalam waktu yang lama pernah berada dalam pengaruh dan kekuasaan Majapahit, termasuk wilayah Kerajaan Banjar yang diperintah Pangeran Surianata. Hubungan antara Majapahit dan Kalimantan serta lalu lintas laut antara Gresik-Tuban dan pelabuhan Banjar ketika itu sudah lama terjalin.

Sejak zaman Majapahit, Gresik dan Tuban yang merupakan bandar-bandar di pantai utara Pulau Jawa banyak disinggahi, bahkan didiami pendatang dari luar negeri. Ketika Islam masuk di Jawa, kedua kota ini telah dijadikan tempat penyiaran Islam oleh para mubalig Islam yang terdiri dari para pedagang, tidak hanya berasal dari Nusantara (seperti Aceh dan Melayu/Malaka), tetapi juga dari tanah Arab. Hubungan antara Majapahit dan Kalimantan tersebut dimanfaatkan pula oleh orang Islam untuk menyiarkan dakwah Islam ke Kalimantan.

Sementara itu, orang Kalimantan yang melakukan perniagaan di Gresik dan Tuban menyaksikan kegiatan penyiaran agama Islam di kedua daerah tersebut dan kemudian menyatakan diri masuk Islam. Berita tentang penyiaran agama Islam ini, terutama kisah-kisah tentang Wali Songo yang dibawa para pedagang Kalimantan itu, menarik perhatian orang Kalimantan sehingga banyak di antara mereka menyatakan masuk Islam. Mereka kemudian datang ke Gresik dan Tuban untuk memperdalam agama Islam di samping untuk berdagang.

Dalam Sejarah Kebangkitan Islam dan Berkembangnya di Indonesia karya KH Saifuddin Zuhri, disimpulkan bahwa Islam masuk ke Kalimantan sekitar 1470, ketika Majapahit mendekati masa keruntuhannya. Islam masuk dan berkembang di Kalimantan ini tidak hanya melalui para mubalig dari Kalimantan, tetapi juga melalui para mubalig Jawa yang melakukan perniagaan, dan bahkan tinggal di Kalimantan. Perkembangan ini membawa pengaruh dan perubahan yang besar pula terhadap Kerajaan Banjar.

Umat Islam di wilayah Banjar berperan serta dalam kemenangan yang diperoleh Pangeran Samudera terhadap Pangeran Tumenggung. Di samping itu, ia mendapat bantuan dan dukungan dari Patih Masih dan para prajurit veteran Demak yang berdatangan dari Tuban, Gresik, Jepara, dan Demak sendiri. Pangeran Tumenggung yang menderita kekalahan pada waktu itu tidak dibunuh dan tidak dipaksa mengganti agamanya.

Pangeran Samudera, yang namanya berubah menjadi Pangeran Suriansyah setelah masuk Islam, memindahkan Kerajaan Banjar ke suatu tempat dan diberi nama Bandar Masih. Peristiwa ini tercatat sebagai tahun berdirinya Kesultanan Banjar dan kebangkitan Islam di Kalimantan.

Sultan Suriansyah merupakan tokoh amat penting dalam sejarah Islam di Kalimantan. Ia merupakan sultan pertama dari dua belas sultan yang memerintah Kesultanan Banjar dan mempunyai banyak gelar, di antaranya Panembahan Batu Putih, Panembahan Batu Hirang, dan Panembahan Marhum. Pusat pemerintahannya yang semula berpusat di Banjarmasin dipindahkannya ke Kayu Tangi Teluk Selong, Martapura, pada 1612. Masa pemerintahan Sultan Suriansyah merupakan babak baru bagi penyiaran dan perkembangan Islam di Kalimantan.

Perpindahan pusat pemerintahan Kesultanan Banjar juga terjadi pada masa pemerintahan sultan-sultan berikutnya. Pada akhir masa pemerintahan Sultan Hidayatullah (1650), pusat pemerintahan dipindahkan ke Batang Mangapan, yang sekarang bernama Muara Tambangan, dekat Martapura.

Pada masa pemerintahan Sultan Tamjidillah (1745–1778) pusat pemerintahan dipindahkan ke Martapura pada 1766, pada pemerintahan Sultan Sulaiman (1808–1825) dipindahkan ke Karang Intan, dan pada pemerintahan Sultan Adam al-Wasi’ Billah (1825–1857) dipindahkan kembali ke Martapura.

Islam yang telah dianut tokoh dan pembesar-pembesar kesultanan ini berkembang terus di Kalimantan. Hal ini dimungkinkan karena mereka memberi perhatian dan dukungan yang besar terhadap perkembangannya, antara lain adanya usaha Sultan Tahlilullah (memerintah 1700–1745) untuk mengembangkan dakwah Islam di sana.

Di antara usaha Sultan Tahlilullah yang paling menonjol ialah memberangkatkan Muhammad Arsyad (Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari) ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu atas biaya dari kerajaan. Muhammad Arsyad tinggal di istana dan dibesarkan sebagai putra angkat Sultan Tahlilullah sejak ia berusia tujuh tahun.

Selama menuntut ilmu di Mekah dan Madinah (sekitar 30 tahun) ia menimba banyak ilmu. Bahkan ia dipromosikan sebagai maha guru dalam bidang hukum yang beraliran Mazhab Syafi‘i oleh salah seorang gurunya yang terkenal, Syekh Ataillah. Pada tahun 1772 Muhammad Arsyad kembali ke Kalimantan.

Ia kemudian bergelar Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Ia hidup dalam masa pemerintahan tiga sultan, yaitu Sultan Tamjidillah, Sultan Tahmidillah (memerintah 1778–1808), dan Sultan Sulaiman.

Kehadiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini membawa sinar yang lebih terang dalam syiar Islam di Kalimantan dengan mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat di wilayah ini. Pada pemerintahan Sultan Tahmidillah, ia diangkat se­bagai Musytasyar Kerajaan (Mufti Besar Negara Kalimantan) untuk mendampingi sultan dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Untuk mendidik dan membina masyarakat Islam, ia mendirikan pondok pesantren untuk menampung para santri yang datang menuntut ilmu dari berbagai pelosok Kalimantan.

Dari sini lahirlah ulama yang akan melanjutkan syiar dan dakwah Islam di Kalimantan, di antaranya Syekh Syihabuddin, Syekh Abu Zu’ud (keduanya putra al-Banjari), dan Syekh Muhammad As’ad (cucu al-Banjari). Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah orang pertama yang menyusun organisasi Mahkamah Syari’ah dan kadi pengadilan seluruh kesultanan.

Sultan terakhir yang memerintah Kesultanan Banjar adalah Pangeran Tamjidillah (1857–1859). Pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai sultan oleh Belanda mendapat tantangan dari masyarakat, sehingga menimbulkan pergolakan. Karena tidak dapat memenuhi keinginan Belanda, ia diturunkan dari takhta. Pada 11 Juni 1860 Belanda menghapuskan kesultanan. Meskipun demikian peperangan terus berkobar.

Pangeran Antasari (sewaktu muda bernama Gusti Inu) yang bergelar Sultan Amiruddin Khalifatul Mukminin (1809–1862) merupakan salah seorang pahlawan Kalimantan. Ia cucu Pangeran Amir bin Sultan Tahmidillah I, seorang pejuang yang menentang VOC karena politik devide et empera (politik adu domba) yang dilakukan Belanda.

Pangeran Antasari termasyhur dalam sejarah Perang Banjar (1859–1905). Perjuangannya menentang penjajahan Belanda diteruskan putranya, Sultan Muhammad Seman (w. 1905), yang merupakan pangeran Banjar terakhir.

DAFTAR PUSTAKA

Aziddin, Yustan. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme di Kalimantan Selatan. Jakarta: IDKD, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983/1984.
Halidi, Yusuf. Ulama Besar Kalimantan: Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Banjarmasin: Aulia, 1980.
Saleh, M. Idwar. “Paper Trade and the Class of Banjarmasin the Seventeenth Century,” Dutch-Indonesia Historical Conference. Leiden: t.p., 1979.
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Syamsuddin, Helius. Pangeran Antasari. Jakarta: Balai Pustaka, 1970.
________________. Pangeran Antasari dan Perang Banjarmasin. Bandung: Sangga Buana, 1975.
Tjandrasasmita, Uka, ed. Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975.
Zuhri, KH Saifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung: al‑Ma’arif, 1981.

Ilhamuddin