Secara kebahasaan, bai‘ berarti “jual beli” dan al-wafa’ “pelunasan utang”. Secara terminologis, bai‘ al-wafa’ berarti “jual beli bersyarat: barang yang dijual dapat ditebus kembali jika tenggang waktunya tiba”. Jual beli dalam bai‘ al-wafa’ biasanya mengenai barang tak bergerak, seperti tanah dan rumah. Bentuk jual beli ini muncul pada abad ke-5 H di Bukhara dan Balkh.
Akad bai‘ al-wafa’ sebenarnya berawal dari utang-piutang atau pinjam-meminjam, yang ketika itu amat sulit kalau tanpa ada imbalan dari yang berutang atau yang meminjam. Dalam menghindari riba, masyarakat Bukhara dan Balkh (selatan Rusia) menciptakan semacam akad, yang secara sepintas berbentuk jual beli, tetapi hakikatnya adalah pinjammeminjam dengan imbalan jasa.
Bai‘ al-wafa’ tidak sama dengan rahn (gadai), karena gadai hanya merupakan jaminan utang, sementara barang yang tergadai tidak dapat dimanfaatkan oleh yang memegang gadai (pemberi utang). Ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW dari Abu Hurairah yang diriwayatkan al-Hakim, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi: “Orang yang memegang gadai pada prinsipnya tidak boleh memanfaatkan barang gadai tersebut kecuali jika yang digadaikan adalah binatang ternak.”
Hadis yang sama diriwayatkan Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu Dawud dari Abu Hurairah. Apabila pemegang gadai memanfaatkan barang gadaian tersebut, hasil yang dimanfaatkan itu termasuk riba. Hal ini sejalan pula dengan sebuah hadis Rasulullah SAW: “Setiap utang yang dibarengi dengan pemanfaatan (untuk pemberi utang) adalah riba” (HR. al-Baihaqi).
Perbedaan mendasar antara bai‘ al-wafa’ dan rahn (gadai) adalah:
(1) pembeli tidak sepenuhnya memiliki barang yang ia beli (karena harus dikembalikan kepada penjual);
(2) selama di tangan pembeli menjadi tanggung jawab pembeli;
(3) segala biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan barang tersebut menjadi tanggung jawab penjual;
(4) kedua belah pihak tidak boleh memindahtangankan barang tersebut ke pihak ketiga; dan
(5) ketika uang sejumlah pembelian semula dikembalikan penjual kepada pembeli setelah tenggang waktu jatuh tempo, pembeli wajib memberikan barang itu kepada penjual.
Dalam bai‘ al-wafa’, karena akadnya sejak semula telah ditegaskan sebagai jual beli, pembeli dengan bebas memanfaatkan barang tersebut. Hanya saja pembeli tidak boleh menjual barang itu kepada orang lain selain kepada penjual semula (dari sisi jual beli, syarat ini tidak dibenarkan) karena barang yang di tangan pemberi utang tersebut merupakan jaminan utang selama tenggang waktu yang disepakati tersebut.
Apabila pihak yang berutang telah mempunyai uang untuk melunasi utangnya sebesar harga jual semula pada saat tenggang waktu jatuh tempo, barang tersebut harus diserahkan kembali kepada penjual. Dengan cara bai‘ al-wafa’, kemungkinan terjadinya riba dapat dihindarkan.
Dari gambaran bai‘ al-wafa’ tersebut, terlihat bahwa akadnya terdiri atas tiga bentuk, yaitu:
(1) pada saat akad terjadi ia merupakan jual beli;
(2) ketika harta itu telah berada di tangan pembeli, akad ini berbentuk ijarah (pinjam-meminjam/ sewa-menyewa), karena barang tersebut harus dikembalikan sekalipun pemegang harta itu berhak memanfaatkan dan menikmati hasil barang tersebut selama waktu yang disepakati; dan
(3) di akhir akad, bai‘ al-wafa’ ini seperti gadai (rahn), karena dengan jatuhnya tempo yang disepakati kedua belah pihak, penjual harus mengembalikan uang pembeli sejumlah harga yang diserahkan pada awal akad, dan pembeli harus mengembalikan barang yang dibelinya itu kepada penjual secara utuh.
Dari sini terlihat bahwa bai‘ al-wafa’ diciptakan dalam rangka menghindari riba, sekaligus sarana tolong-menolong antara pemilik modal dan orang yang membutuhkan uang dalam jangka waktu tertentu.
Dalam bai‘ al-wafa’, apabila terjadi keengganan salah satu pihak untuk membayar utangnya atau menyerahkan barang setelah utang dilunasi, penyelesaiannya akan dilakukan melalui pengadilan. Jika yang berutang tidak mampu membayar utangnya ketika jatuh tempo, melalui putusan pengadilan barang yang dijadikan jaminan tersebut bisa dijual, dan utang pemilik barang dapat dilunasi.
Jika pihak yang memegang barang enggan untuk menyerahkan barangnya ketika utang pemilik barang telah dilunasi, pengadilan berhak memaksanya untuk mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya. Dengan demikian, transaksi yang berlaku dalam bai‘ al-wafa’ cukup jelas dan terperinci serta mendapatkan jaminan yang cukup, sehingga tujuan yang dikehendaki melalui bai‘ al-wafa’ ini dapat dicapai.
Dalam sejarahnya, bai‘ al-wafa’ baru mendapatkan justifikasi ulama setelah berjalan beberapa lama. Dalam kaitan ini Imam Najmuddin an-Nasafi (461 H/1069 M–573 H/1178 M), seorang ulama terkemuka Mazhab Hanafi di Bukhara, mengatakan, “Para syekh kami (Hanafi) menghalalkan bai‘ al-wafa’ sebagai jalan keluar dari riba.”
Ulama dari Mazhab Hanafi dapat memberikan justifikasi terhadap bai‘ al-wafa’ ini melalui prinsip hilah syar‘iyyah (berusaha mencarikan jalan keluar dari sesuatu yang dilarang syariat) serta didasarkan pada istihsan‘urf (menjustifikasi suatu permasalahan yang telah berlaku umum dan berjalan dengan baik di tengah masyarakat).
Ulama lainnya tidak bisa melegalisasi bentuk jual beli ini. Alasan ulama yang tidak dapat melegalisasi bentuk jual beli ini adalah: (1) dalam jual beli tidak boleh ada tenggang waktu, karena jual beli adalah akad untuk selama-lamanya; (2) dalam jual beli tidak boleh ada syarat bahwa barang yang dijual itu harus dikembalikan lagi oleh pembeli kepada penjual, apabila ia telah siap mengembalikan uang sebesar harga jual semula; dan (3) bentuk jual beli ini tidak pernah ada di zaman awal Islam.
Akan tetapi, ulama yang datang belakangan (muta’akhkhirin) menerima baik bentuk jual beli ini, dan menganggapnya sebagai akad yang sah, karena tujuannya untuk menghindarkan diri dari riba. Pada 1287 H/1870 M bai‘ al-wafa’ yang sudah menjadi ‘urf (kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat dan berjalan dengan baik) menjadi bagian dari Majalah al-Ahkam al-‘Adliyyah (Kodifikasi Hukum Perdata Turki Usmani menurut fikih Hanafi), yang mencakup 9 pasal, yaitu pasal 118–119 dan pasal 396–403. Kodifikasi ini berlaku 23 Syakban 1293 untuk seluruh wilayah kekuasaan imperium Turki Usmani.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Mesir menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada 1948, bai‘ al-wafa’ juga diakui sah dan dicantumkan dalam pasal 430 undang-undang tersebut. Tetapi ketika Mesir menyusun kembali Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 1971, bai‘ al-wafa’ tidak dicantumkan lagi.
Menurut Ahmad Mustafa az-Zarqa (ahli hukum Islam), pembuangan pasal tentang bai‘ al-wafa’ dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Mesir bukan karena akad itu tidak diakui sah, tetapi lebih disebabkan perubahan situasi dan kondisi ketika undang-undang tersebut dibuat. Oleh sebab itu, Ahmad Mustafa az-Zarqa melihat bahwa akad ini tetap relevan untuk zaman sekarang, dalam rangka menghindari kemungkinan terjadinya transaksi yang nyata-nyata mengandung unsur riba.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Suriah (al-Qanun al-Madani as-Suri), bai‘ al-wafa’ juga pernah dicantumkan. Namun, ketika Mesir membuang bai‘ al-wafa’ dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdatanya pada 1971, Suriah juga ikut menghapusnya.
Di Indonesia, bentuk jual beli yang mirip dengan bai‘ al-wafa’ adalah apa yang dinamakan pagang gadai di Minangkabau. Persamaannya terlihat ketika barang yang digadaikan pemiliknya harus ditebus kembali oleh pemilik barang pada waktu pagang gadai tersebut jatuh tempo, seharga yang ia terima ketika akad dilaksanakan (biasanya harga yang dijadikan ukuran nilai adalah emas, sehingga ketika jatuh tempo gadai tersebut, harga yang harus diserahkan pemilik barang adalah nilai emas juga).
Di samping itu, pihak pemegang gadai tersebut dengan bebas memanfaatkan barang gadaian, sampai utang dilunasi pihak penggadai. Akan tetapi, dalam praktek pagang gadai di Minangkabau, banyaknya barang yang digadaikan tersebut tidak ditebus kembali oleh pemilik barang ketika jatuh tempo, sehingga persetujuan yang ditetapkan bersama ketika transaksi dilaksanakan tidak berjalan dengan baik.
Untuk menyelesaikan kasus ini belum terlihat adanya penyelesaian yang tuntas, sehingga pagang gadai yang sejak semula dimaksudkan sebagai sarana tolong-menolong, sering tidak mencapai sasaran.
Daftar Pustaka
Abu Sunnah, Muhammad Fahmi. al-‘Urf wa al-adah fi Ra’y al-Fuqaha’. Cairo: Matba‘ah Kulliyah al-Azhar, 1949.
Mahmasani, Subhi. Falsafah at-Tasyri‘ fi al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr, 1974.
an-Narsyakhi, Abu Bakar Muhammad bin Ja‘far. Tarikh Bukhara. Cairo: Dar al-Ma‘arif, t.t.
az-Zarqa, Ahmad Mustafa. ‘Aqd al-Bai‘. Beirut: Dar al-Fikr, 1967.
____________________. ‘Madkhal ila al-Fiqh al-Amm: al-Fiqh al-Islami fi taubih al-Jadid. Beirut: Dar al Fikr, 1967.
____________________. Syarh al-Qanun al-Madani as-Suri al-‘Uqud al-Musammah (‘Aqd al-Bai‘ wa al-Muqayadah). Damascus: Matba‘ah Fata al-‘Arab, 1384 H/1965 M.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1984
Nasrun Haroen