Secara kebahasaan, azan berarti “memanggil atau memberitahu”. Adapun azan dalam terminologi Islam berarti “pemberitahuan masuknya waktu salat fardu dengan lafal tersendiri”. Azan mulai disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriah. Muazin (juru azan) pertama dalam sejarah Islam adalah Bilal bin Rabah (581–664 M), seorang sahabat dan kesayangan Nabi SAW.
Lafal azan terdiri atas ucapan Alllahu Akbar Allahu Akbar (Allah Mahabesar Allah Mahabesar, 2x), asyhadu an-laa ilaaha illallah (saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, 2x), asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (saya bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah, 2x), hayya ‘ala sholaa (marilah salat, 2x), Hayya ‘alal Falah (marilah pada kemenangan, 2x), Allahu Akbar Allahu Akbar (Allah Mahabesar Allah Mahabesar, 1x), laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah, 1x).
Pada azan subuh sesudah kalimat hayya ‘alal falah yang kedua atau menjelang kalimat takbir terakhir ditambahkan kalimat ashholatu khoiru minna naum (salat itu lebih baik daripada tidur, 2x).
Pada suatu hari Nabi SAW mengumpulkan para sahabat untuk memusyawarahkan bagaimana cara memberitahu masuknya waktu salat dan mengajak orang ramai agar berkumpul ke masjid untuk melakukan salat berjemaah. Dalam musyawarah itu ada beberapa usulan. Ada yang mengusulkan supaya dikibarkan bendera sebagai tanda waktu salat telah masuk.
Apabila bendera telah berkibar, hendaklah orang yang melihatnya memberitahu kepada umum. Ada juga yang mengusulkan supaya ditiup terompet seperti yang biasa dilakukan pemeluk agama Yahudi. Ada lagi yang mengusulkan supaya dibunyikan lonceng seperti yang biasa dilakukan orang Nasrani.
Usul lainnya adalah nyala api di atas bukit. Yang melihat api itu dinyalakan hendaklah datang menghadiri salat berjemaah. Semua usulan yang diajukan itu ditolak Nabi SAW. Kemudian Umar bin Khattab mengusulkan agar diteriakkan ucapan: “Telah datang waktu salat.” Usul Umar ini diterima Nabi SAW, tetapi beliau menukar lafal itu dengan assholaatu Jamiah (marilah salat berjemaah).
Sementara itu, pada suatu malam Abdullah bin Zaid bermimpi tentang seorang laki-laki yang datang kepadanya membawa lonceng. Abdullah memohon agar lonceng itu dijual kepadanya. Pembawa lonceng bertanya, “Untuk apakah tuan gunakan lonceng ini?” Abdullah menjawab, “Kami akan memukulnya untuk memberitahukan telah masuknya waktu salat kepada umum.”
Mendengar jawaban tersebut pembawa lonceng berkata, “Maukah anda saya tunjukkan cara yang lebih baik untuk memberitahukan salat?” Abdullah menjawab, “Itu baik sekali.” Lalu pembawa lonceng berkata, “Kumandangkanlah Allahu Akbar (dan seterusnya lafal-lafal azan).” Pada pagi harinya Abdullah bin Zaid pergi menemui Nabi SAW untuk menceritakan mimpinya itu.
Nabi SAW bersabda, “Mimpimu itu mimpi yang benar.” Nabi SAW memerintahkan Bilal bin Rabah mengumandangkan azan tersebut. Ketika Bilal hendak menyerukan azan, datang pula Umar kepada Nabi Muhammad SAW memberitakan bahwa ia juga bermimpi seperti mimpi Abdullah bin Zaid.
Di sini kelihatan bahwa lafal azan yang diajarkan Nabi SAW sama dengan lafal azan yang didengar Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khattab dalam mimpinya masing-masing. Meskipun demikian, bukanlah mimpi itu yang dijadikan dasar pensyariatan azan, karena lafal azan yang disyariatkan adalah lafal yang diajarkan Nabi SAW sendiri yang kebetulan sama dengan mimpi kedua sahabat tadi. Yang ditunjuk sebagai muazin (juru azan) Rasulullah SAW adalah sahabat Bilal bin Rabah.
Adapun adab melaksanakan azan menurut jumhur ulama ialah:
(1) muazin hendaknya tidak menerima upah dalam melakukan tugasnya;
(2) muazin harus suci dari hadas besar, hadas kecil, dan najis;
(3) muazin menghadap ke arah kiblat ketika mengumandangkan azan;
(4) ketika membaca hayya ‘ala sholaat muazin menghadapkan muka dan dadanya ke sebelah kanan dan ketika membaca hayya ‘alal falah menghadapkan muka dan dadanya ke sebelah kiri;
(5) muazin memasukkan dua anak jarinya ke dalam kedua telinganya;
(6) suara muazin hendaknya nyaring;
(7) muazin tidak boleh berbicara ketika mengumandangkan azan;
(8) orang yang mendengar azan hendaklah menyahutnya secara perlahan dengan lafal yang diucapkan muazin, kecuali pada kalimat hayya ‘ala sholat dan hayya ‘alal falah yang keduanya disahut dengan laa haula wa la quwata illa billah (tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah); dan
(9) setelah selesai azan, muazin dan yang mendengar azan hendaklah berdoa: Allâhumma Rabba hâdzihid-da’wati at-tâmmati, wash-shalâtil-qâimati, âti sayyidanâ Muhammad al-washilah wal fadlîlah, wad-darajatar rafî’ah wab’atshu maqâman mahmûdan alladzî wa’adtah, innaka lâ tukhliful-mî’âd (Wahai Allah, Tuhan yang menguasai seruan yang sempurna ini, dan salat yang sedang didirikan, berikanlah kepada Muhammad kurnia dan keutamaan serta kedudukan yang terpuji, yang telah Engkau janjikan untuknya [HR. Bukhari]).
Daftar Pustaka
Sabiq, as-Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
as-San’ani, Muhammad bin Ismail. Subul as-Salam. Mekah: Jami’ah Imam Ibnu Su’ud al-Islamiyah, 1408 H/1987 M.
ash-Shidieqy, T.M. Hasbi. Pedoman Salat. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali. Nail al-Autar. Cairo: Dar al-Fikr, 1983.
Yunasril Ali