Mazhab ini dinamai Mazhab az-Zahiri karena berpegang pada prinsip semata-mata mengambil arti zahir nas Al-Qur’an dan sunah, suatu mazhab fikih yang secara ekstrem hanya berpegang pada arti zahir nas dan menolak takwil.
Salah satu mazhab fikih yang pernah hidup dan berkembang di dunia Islam adalah Mazhab az-Zahiri. Mazhab ini didirikan sekitar abad ke-3 H di Irak oleh ahli hukum (fakih) yang bernama Dawud bin Khalaf al-Isfahani (Kufah, 200 H/815 M–Baghdad, 270 H/883 M).
Dawud bin Khalaf al-Isfahani adalah putra seorang sekretaris (katib) hakim di Isfahan pada masa Khalifah al-Ma’mun. Dia mempelajari fikih dari para tokoh Mazhab Syafi‘i, seperti Abu Saur Ibrahim bin Khalid Yamani al-Kalbi dan Ishaq bin Rahawaih.
Bahkan seperti dikemukakan Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M; ahli fikih Universitas al-Azhar), pemikiran hukum Dawud mungkin disebabkan oleh pengaruh yang “berlebihan” dari kegigihan Imam Syafi‘i dalam membela kedudukan sunah sebagai sumber hukum Islam di zamannya, di saat sejumlah fakih (ahli hukum Islam) mengabaikan sunah, bahkan ada kelompok yang disinyalir sebagai inkarsunah.
Dengan latar belakang pendidikan yang demikian, ia berpaling dari Mazhab Hanafi yang dianut ayahnya. Akan tetapi, Dawud sendiri bukan penganut Mazhab Syafi‘i, melainkan mendirikan mazhab atas namanya sendiri, Mazhab ad-Dawudi, yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Mazhab az-Zahiri.
Inti pokok paham Mazhab az-Zahiri ini berkisar pada masalah sumber hukum dan cara memahaminya. Menurut mazhab ini, sumber hukum fikih hanya nas dalam arti Al-Qur’an dan sunah. Dalam hal tertentu, mazhab ini menerima ijmak para sahabat.
Penganut Mazhab az-Zahiri menolak rakyu (akal) dengan segala bentuknya. Mereka tidak mau menggunakan kias, istihsan, al-maslahah al-mursalah, dan sejenisnya. Mereka juga menentang taklid. Mazhab ini menganggap hanya Al-Qur’an dan sunah Rasul sebagai sumber hukum, sedangkan untuk masalah yang tidak disinggung oleh nas akan hukumnya dikembalikan ke hukum istishab. Pandangan ini diambil berdasarkan firman Allah SWT, “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…” (QS.2:29).
Selanjutnya, dalam memahami nas Al-Qur’an dan sunah, mazhab ini hanya mengambil arti zahir (lahir) lafal nas dan tidak melakukan takwil terhadap nas tersebut. Menurut analisis sebagian ahli, mazhab ini muncul sebagai reaksi terhadap beberapa pemikiran, terutama di bidang fikih, yang berkembang di abad ke-2 H.
Pada abad itu terjadi pertentangan antara ahlulhadis (golongan yang dalam menetapkan hukum berpegang pada Al-Qur’an dan hadis, tidak mau menggunakan ijtihad) dan ahlurra’yi (golongan yang dalam menetapkan hukum selain berpegang pada Al-Qur’an dan hadis juga menggunakan akal atau ijtihad).
Pada waktu yang sama, telah lahir pula gerakan Batiniah di kalangan kaum Syiah, suatu aliran yang hanya mengambil arti batin dari nas. Selain itu, telah lahir pula aliran Muktazilah yang memandang akal lebih utama dan lebih menentukan daripada wahyu dalam menetapkan segala persoalan agama. Mazhab az-Zahiri lahir sebagai reaksi terhadap aliran yang berkembang di masa itu, terutama aliran Batiniah kaum Syiah.
Dalam sejarah perkembangannya, Mazhab az-Zahiri ini pernah berkembang pesat dan tersebar luas serta mempunyai pengikut yang tidak sedikit jumlahnya. Pada abad ke-2 dan ke-4 H, az-Zahiri merupakan mazhab fikih keempat di dunia Islam, setelah Mazhab Syafi‘i, Mazhab Hanafi, dan Mazhab Maliki.
Mazhab az-Zahiri pernah tersebar lebih luas dan mempunyai pengikut yang lebih banyak daripada Mazhab Hanbali. Akan tetapi, pada abad berikutnya, yakni abad ke-5 H, Mazhab az-Zahiri mulai mengalami kemunduran dan kehilangan pengaruh serta pengikut di dunia Timur.
Hadirnya seorang tokoh Mazhab Hanbali kenamaan, Muhammad bin Husain bin Muhammad Abu Ya’la al-Farra‘ al-Hanbali (ulama usul fikih yang juga memiliki pengetahuan luas tentang Al-Qur’an dan hadis, w. 458 H/1065 M), telah mengangkat kedudukan Mazhab Hanbali dan menggeser posisi Mazhab az-Zahiri. Sejak saat itu, Mazhab ini perlahan lenyap dari dunia Islam.
Akan tetapi, ketika popularitas dan pengaruh Mazhab az-Zahiri memudar di dunia Timur, justru az-Zahiri memancarkan sinar terang di ufuk Barat, yakni di Andalusia. Hidup dan berkembangnya mazhab ini di Andalusia bukan karena dianut banyak pengikut, melainkan karena tampilnya seorang tokoh yang bermata pena tajam, fasih, berargumen kuat, dan gigih membela mazhabnya. Tokoh tersebut adalah Ibnu Hazm al-Andalusi.
Proses penyebaran dan perpindahan Mazhab az-Zahiri ke Andalusia telah terjadi ketika Dawud bin Khalaf masih hidup. Menurut suatu keterangan, pada abad ke-3 H banyak ulama Andalusia merantau ke Timur untuk menimba ilmu.
Di antara mereka itu ada yang bertemu langsung dengan tokoh pendiri mazhab, seperti Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) dan Dawud bin Khalaf al-Isfahani. Setelah kembali ke Andalusia, mereka menyebarkan paham mazhab fikih yang mereka pelajari di Timur, termasuk paham Mazhab az-Zahiri. Di antara mereka yang menyebarkan paham mazhab yang disebut terakhir adalah Munzir bin Sa‘id al-Balluti (273 H/887 M–355 H/966 M).
Mazhab ini mencapai masa gemilangnya pada masa Ibnu Hazm. Melalui tokoh ini Mazhab az-Zahiri tumbuh kuat di Andalusia. Namun karena kematiannya pula, mazhab ini dalam waktu relatif singkat menjadi lemah.
Kini Mazhab az-Zahiri tidak mempunyai pengikut sbanyak pengikut mazhab fikih yang empat, tapi paham dan idenya masih terpelihara baik dan dapat dikaji dalam berbagai karya tulis yang ditinggalkan para tokohnya, baik karya Dawud bin Khalaf al-Isfahani sendiri maupun karya Ibnu Hazm al-Andalusi, di samping sejumlah kitab fikih lain yang di sana-sini juga mengetengahkan sebagian paham az-Zahiri.
Daftar Pustaka:
Abu Zahrah, Muhammad. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah as-Siwa al-‘Aqa’id wa Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
al-Baghdadi, Abu Mansur Abdul Qahir bin Tahir at-Tamimi. Tarikh Bagdad‘au Madinah as-Salam. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Suryan A Jamrah